#e39608 Masjid Rahmatullah, satu-satunya yang utuh di Lampuuk - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

Masjid Rahmatullah, satu-satunya yang utuh di Lampuuk

Masih ingat dengan foto disebelah? Tentang sebuah masjid yang masih kokoh ketika tsunami menerjang 2004 silam. 
Dulunya, aku nggak begitu ngeh dengan masjid Rahmatullah yang berlokasi di Lampuuk ini, jauh sebelumnya tsunami menerjang. Seingatku jika aku berkunjung ke Lampuuk, sebuah pantai pasir putih di Aceh Besar, ketika waktu shalat tiba aku cenderung menggunakan mushalla di sekitaran pantai.

Dan ketika musibah tsunami menerjang menghamuk segala yang ada, aku baru terperangah. Oh, ternyata ada masjid ya di sekitar Lampuuk.

Beberapa waktu lalu, seorang temanku dari Medan tiba di Banda Aceh. Ia mengajak menghabiskan sore di sekitaran antai. Berhubung ia tinggal di daerah Nusa, aku pun mengajaknya ke Lampuuk. 
Sore itu cerah. Setelah berputar kesana kemari, kami akhirnya berteduh ke halaman masjid Rahmatullah.

Ini kali kesekianku tiba di masjid yang dibangun sekitar tahun 1990an ini. Lingkungannya lebih tertata, dengan pagar memagari halaman yang luas ini.
Berdiri menengadah menghadap mesjid berkubah hitam ini membuat bergidik seketika. Soalnya ketika tsunami Aceh, mesjid inilah SATU-SATUnya bangunan yang utuh di kawasan Lampuuk. Jaraknya hanya berbilang 300 meter dari bibir pantai. Padahal bangunan yang jaraknya beberapa kilometer kedepan rata tak berbekas. Hanya tinggal ubin. Tercerabut dari tanah.

ketika tsunami


Ketika masa tsunami dulu, masjid ini salah satu keajaiban Allah yang ditunjukkan dengan mata telanjang bagi siapa yang bertandang kemari. Sangking ajaibnya, banyak fotografer dunia mengabadikan bidikannya tempat ini. Beberapa tokoh dunia juga datang berkunjung kemari.




Dan kini kondisinya jauh lebih baik, berbanding lurus dengan bergeliat kembalinya Lampuuk setelah bencana.

Sore itu aku dan teman sempat naik ke tangga masjid yang bersisian dengan menara. Ingin melihat pantai Lampuuk dari dekat. Ternyata pandangan terhalangi. Rimbunnya pohon memadati area di sekitar masjid. Pantai pun tak kelihatan dari atas tangga.

kondisi sekarang





Turun, aku dan teman memilih masuk ke dalam masjid. Rupanya di dalamnya terdapat semacam museum kecil. Di sudut mesjid yang bersebelahan shaf wanita, sebuah ruangan dibingkai kaca. Di dalamnya aku masih bisa melihat tiang-tiang masjid yang roboh diterjang tsunami, lantai yang tercerabut, dan besi-besi bergelantungan.
Rupanya inilah saksi bisu keganasan tsunami yang masih tetap dipertahankan.

Salut sekaligus bergidik.

Di sepanjang kaca juga dipajang beberapa foto-foto warga ketika musibah usai. Misalnya foto ketika masyarakat melaksanakan shalat dalam reruntuhan bangunan. Gundukan pasir yang memenuhi lantai masjid. Masyarakat yang bahu membahu mendirikan barak pengungsian. Semuanya terekam baik.
Rupanya kesemua ini hasil rehabilitasi dari pemerintah Turki.

Masyarakat yang melaksanakan shalat maghrib 4 bulan setelah musibah










Seorang Ibu yang membuka gerai di depan masjid memanggil aku, ketika kami berfoto-foto di luar masjid. Ia mengira aku dan rombongan berasal dari luar Aceh. Ngalor ngidul sebentar, ia mengajak ke ruangan lain gerai swalayannya. Disana ia menunjuk sebuah foto bocah kecil yang bergaun ulangtahun.

"umurnya masih 3 tahun sewaktu tsunami. Sampai sekarang ia belum ketemu," ujar si Ibu yang ternyata tantenya si bocah.

Dari cerita ia juga aku tahu kalo masjid Rahmatullah ini diperkirakan tenggelam ketika tsunami. Padahal bangunannya menjulang tinggi hingga beberapa meter keatas. 
"itu lihat, lambang bulan bintang di atas kubahnya aja miring," ujarnya sambil menunjuk kearah kubah. Di atas sana, lambang besi khas masjid "bulan bintang" doyong hampir terjerembab.

Jadi bisa diprediksikan air tsunami mencapai belasan bahkan puluhan meter di lokasi ini.

* * *













About Ferhat Muchtar

Ferhat Muchtar
Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker. Teller Sampai Teler.
Suka makan kuaci. Tukang koleksi buku.
email: ferhattferhat@gmail.com
Tulisan yang mungkin kamu suka × +

0 komentar:

Posting Komentar