Desa Bitai cukup membuat saya penasaran sejak lama. Nama desa ini makin akrab di telinga saya pasca tsunami. Terlebih banyak situs atau gambar yang berseliweran menggambarkan tentang kondisi desa ini. Penasaran, saya coba mencari di google maps jalur mana untuk menuju kesana.
Belum
cukup di google maps, semalaman saya
tweet di twitter. Tanyain kira-kira
ke Bitai itu darimana, atau lebih tepatnya “dimana”. Banyak usulan, mulai dari
arah Setui, Lamteumen, lewat MAN 2, atau TK Bhayangkara.
Haduh!
Dimana lagi itu!
Akhirnya
saya memilih jalur termudah dan familiar.
“Lewat
jalan Punge PLTD Apung, luruss sampe ketemu Unida. Lurus lagi, langsung ketemu
Bitai!” balas seseorang teman via SMS.
Kenapa
saya begitu penasaran dengan Bitai?
Sebab
desa ini terkenal sebagai Turki-nya Aceh. Bitai adalah salah satu desa di Banda
Aceh di kecamatan Jaya Baru.
Banyak
makam kuno yang berasal dari Turki Utsmani. Termasuk makam Sultan Salahuddin. Dari
desa ini juga, persahabatan Aceh-Turki begitu dekat. Sangking dekatnya, Turki
pun jor-joran bantu Aceh ketika
tsunami silam.
Rasa
penasaran saya akhirnya terbayar tadi pagi. Sejak pagi saya bergegas mengikuti
jalur dari Punge. Baru kali ini saya melewati lintasan ini. Mengikuti instruksi
teman, saya hanya mengikuti alur jalan tanpa perlu belok-belok. Lurus!
Hingga
akhirnya saya bingung ketika menemukan perempatan jalan yang sama besar. Waduh!
Harus kemana ini?! Padahal sudah masuk ke kawasan Bitai, tapi komplek makam yang saya cari belum ketemu
juga.
Mencoba
pede, saya mengikuti jalan di depan.
Lurus lagi.
Tapi... eh, kok makin jauh yak?
Seseorang
teman yang ikut serta berinisiatif untuk bertanya ke sebuah warung. Ternyata
jalur yang saya tempuh salah! Harus berbelok haluan.
Ternyata
untuk masuk ke komplek makam Bitai, harus berbelok kiri dari jalur utama.
Jalannya bersemen beton kasar dengan lubang disana sini. Di ujung jalan berdiri
sebuah mesjid berkubah hijau.
Nah, itu tempat yang saya cari!!
Jalanan
desa ini sepi. Rumah-rumah terlihat seragam dengan bentuk yang sama. Di atas bumbung
atap rumah, lambang bulan sabit terukir rapi dengan warna menyala. Beberapa
tapal rumah yang tercerabut akibat tsunami masih terlihat jelas.
Ketika
saya datang komplek makam sepi. Pagar rendah memagari puluhan makam di
dalamnya. Sebagian makam dipugar dengan dua tipe berbeda; tipe batu hitam
marmer, dan tipe batu nisan dengan cat merah putih. Di atas tiap makam terukir
lambang bulan bintang yang merujuk ke negeri Turki.
Sebuah
gapura berbatu hitam melengkung di pintu masuk. Diatasnya bertuliskan “Makam
Tengku Dibitay (Selahuddin)”, keterangan serupa juga tertulis dalam bahasa
Turki.
Seperti
diketahui, Bitai dan Turki seperti tak bisa dipisahkan. Dulunya kawasan ini
adalah perkampungan yang ditempati para ulama yang berasal dari Baitul Muhadis
dan Turki. Kedatangan mereka bertujuan untuk menyebarkan agama Islam.
Dari
catatan sejarah, Bitai didirikan oleh pasukan Turki yang diutus ke Aceh untuk
menyebarkan agama Islam. Saat itu khalifah Turki Utsmani berhasil merebut
konstantinopel dari tangan kaum salib.
Pasukan
Turki dipimpin oleh Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi. Nama Bitai ditambalkan
pasukan Turki untuk mengenang asal mereka dari Bayt AL Maqdis, nama lain
Yerussalan tempat Masjid Al Aqsa di Palestina. Konon juga di desa ini Sultan
Iskandar Muda pernah menjadi murid Teungku Di Bitai. Turki juga membantu
persenjataan kepada kerajaan Aceh untuk melawan pejajah Belanda.
Merujuk catatan sejarah yang lain, Sultan Salahuddin Ibn
Ali Malik az Zahir merupakan putra sulung Raja Aceh Sultan Mughayat Syah. Denys
Lombard dalam buku Kerajaan Aceh:
Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), menyebutkan Sultan
Salahuddin memerintah sejak 1528 hingga 1539. Masih menurut Lombard, Sultan
Salahuddin ini wafat pada 25 November 1548.
Sultan Salahuddin berteman dengan Muthalib Ghazi yang
diutus Sultan Selim dari Turki. Setelah Salahuddin mangkat, Muthalib Ghazi
berwasiat agar ia dimakamkan berdekatan dengan temannya itu di Kompleks Makam
Tuanku Di Bitai sekarang.
Bantuan
Turki juga masih diberikan hingga Aceh mengalami tsunami 2004 silam. Desa Bitai
yang berdekatan dengan laut, hancur rata dihempas tsunami. Termasuk juga komplek
perkuburan ini.
Dan
di tahun 2006, pemerintah Turki berbaik hati merehabilitasi kawasan ini. Rumah-rumah
dibangun dengan tipe dan desain serupa. Komplek makam pun turut dipugar lebih
rapi. Terdapat puluhan makam yang diyakini adalah tentara kerajaan Turki.
Saya masuk lebih dalam ke dalam komplek. Di tengah komplek berdiri sebuah bangunan tinggi yang memayungi tujuh makam di dalamnya. Tak ada informasi jelas makam-makam siapa saja yang berada di komplek ini. Sebab makam dipugar tidak menambalkan nama dan tahun kematian.
Penasaran, saya mencoba celingukan ke dalam masjid. Mencari info.
Kaget!
Rupanya mesjid megah berkubah hijau ini tidak terawat baik. Kotoran memenuhi
selasar dan dalam masjid. Beberapa remaja tanggung leyeh-leyeh di dalamnya.
Ilalang tumbuh semak di tempat wudhu. Sebagian kaca jendela malah pecah. Waduh!
Kebingungan
saya ini akhirnya terjawab ketika seorang wanita tua berdiri di teras dapurnya.
Dari dia saya bertanya banyak hal. Ternyata mesjid megah itu tidak digunakan
lagi, termasuk ketika ramadhan saat ini.
“Mesjidnya
terlalu besar, sedangkan disini orangnya aja nggak ada...” ujarnya memberi
alasan.
Saya
pun sedikit paham. Soalnya rumah di Bitai ini sedikit berjauhan. Jarang-jarang,
makanya sangat sepi, “trus disana juga ada meunasah...”
lanjutnya lagi sambil menunjuk mushalla di desa seberang.
Dari
dia juga saya tahu, jika komplek ini ada kuncen
yang mengurusinya. Ia menunjuk kearah rumah yang bersebelahan dengan makam.
Kesana saya pergi. Berteriak-teriak beri salam dari teras depan hingga teras belakang.
Tetap sunyi.
Teriak
lagi sampai saya merasa bete. Argghhh!! Yang punya rumah kagak ada!
Alhasil
saya hanya melongok-longok di ruangan kecil di halaman belakang makam. Seperti
museum mini. Saya coba buka pintunya.
Oaallaaaa...
terkunci!!
Saya
gedor-gedor berharap pintunya terbuka tiba-tiba. Nggak berhasil!
Pantang
menyerah, saya celinguk-celinguk ke sela-sela pintu dan ventilasi, kali aja kuncinya disimpan disana kayak
rumah kost-kostan. Kagak ada juga!
Hadeuhh!
Kecewa,
saya cuma melongok dari jendela. Ternyata dalam ruangan itu terpajang beberapa
foto, miniatur kapal, dan sejarah singkat Bitai yang dipapar dalam bingkai
kaya.
Hmmm... puas berkeliling ala kadar. Saya
pamit pulang. Setidaknya penasaran yang menahun telah terpuaskan hari ini!
Yang penasaran dengan Bitai, mari sesekali
datang kemari!
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuskapan ke sana lagi Bang?
BalasHapuskapan ikutlah :-b
udah lama pingin ke situ, tapi gak tau di mana.
Nazri gk bilang2 mau pigi.. Sesekali kita pigi ke tempat erdamparnya kubah masjid itu yook. di daerah peukan bada. tau nazri??
HapusHalah, Nazri udah di Lhokseumawe..
HapusHabis lebaran gimana Bang?
bangsa besar takkan melupakan sejarah...
BalasHapusKalau saracen malah mau membingungkan sejarah.
BalasHapus