#e39608 Hangatnya Ie Bu Peudah - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

Hangatnya Ie Bu Peudah


Tanah basah dan bau tanah menyeruak sore itu. Hujan baru saja turun beberapa menit lalu. Blang Cut desa yang tidak terlalu jauh dari pusat kota Banda Aceh terlihat teduh. Pepohonan besar memayungi menahan rintik hujan membentuk jarum, udara teras lembab. Rimbun pohon terpangkas rapi membentuk pagar di tepian jalan di desa kecamatan Lueng Bata ini.

Di sebuah rumah berbentuk ruko, Atjehtimes menjumpai Djailani (59) membuka usaha yang bersisian dengan rumah utamanya. Beberapa kebutuhan rumah tangga dijajakan di teras rumah, sebagian lagi tersusun rapi di dalam ruko. Sehari-hari ia dibantu istrinya, Irawati, menjalankan usaha ini. Di warung kecil ini pula, setiap Ramadhan tiba ia menjual racikan ie bu peudah (air nasi pedas) penganan berbuka serupa bubur yang diracik dari rempah-rempah.

“Saya menjual satu porsinya Rp 12.000,” ujar Djailani sore itu. Satu porsinya seukuran kaleng susu kental. Bahan-bahan itu berbentukan racikan dikering. Pembeli tinggal merebusnya dengan tambahan dedaunan dan sayuran.

Djailani mengaku ia tidak mengolah sendiri bahan-bahan tersebut. Ia hanya menampung dari adiknya, Khairiah Ibrahim Saad atau kerap disapa Nyak Neh. Saban Ramadhan, Nyak Neh meracik bahan ie bu peudah dan rutin menitipnya di warung milik Djailani.
Dari teras rumah, Djailani menunjuk arah kediaman Nyak Neh. Letaknya tak seberapa jauh dari rumahnya, masih di kawasan Blang Cut.

Lantas saya menuju kesana, menyusuri jalan Tgk. Tuan Cekok yang lengang sore itu. Rumah-rumah panggung tersusun rapi. Di persimpangan desa arah berbelok ke jalanan sempit bersemen kasar. Seorang perempuan setengah baya duduk termenung ditangga rumah panggungnya. Beberapa ekor ayam berkeliaran di halaman rumah. Terlihat juga  perahu jaloe yang terikat di tiang-tiang kayu kolong rumah
 “Itu jaloe saya pakai waktu banjir besar tahun 2000 lalu,” ujarnya membuka pembicaraan sore itu.

Nyak Neh (56) begitu kerap disapa menyambut hangat kedatangan saya. Setelah mengutarakan maksud kedatangan, ia mempersilahkan saya masuk ke rumahnya. Dari halaman samping, kami menyusuri lewat pintu belakang. Ternyata rumah panggung ini bergandengan dengan bangunan bata dibelakangnya.

Bangunan bata ini membentuk beberapa ruangan. Selain gudang, dapur, kamar mandi, juga ada ruang kosong yang bersisian dengan tangga menuju rumah panggung. Dari sana, Nyak Neh mengeluarkan beberapa bahan yang ia gunakan untuk membuat bubur ie bu peudah.


Dapurnya tampak semarak sore itu. Menjelang puasa, ia memang berbenah menyiapkan pelbagai pesanan. Selain pesanan tumbukkan tepung beras ia juga menyiapkan racikan bahan ie bu peudah yang akan ia jajakan di warung Djailani, abang kandungnya.

Dulunya kesibukan ini baru terasa dua hari menjelang ramadhan. Biasanya racikan ini ia kerjakan bersama Ibunya. Namun setelah kepergian Ibunya enam tahun silam, Nyak Neh terpaksa melanjutkan usaha ini seorang diri. “Sepuluh hari atau seminggu sebelum puasa saya udah mulai mengolah bahan-bahan ini sendirian,” ujarnya sambil beranjak ke ruangan yang bersisian dengan tangga.

Dari sana ia mengeluarkan keranjang rotan. Didalamnya terdapat daun-daun kering bahan utama ie bu peudah. Sebagian bahan-bahan itu ia peroleh dari berbagai pasar, seperti pasar Sibreh dan pasar Lambaro. Ia mengakui sangat sulit mencari bahan-bahan ie bu peudah saat ini. Terkadang ia meminta bantuan adiknya yang tinggal di Aron-Ketapang untuk mencari bahan ie bu peudah di kebun warga atau di hutan kaki bukit.
“Bahan-bahannya sudah susah saya beli di pasar. Kadang-kadang kalo tidak ketemu, harus cari di kebun atau di hutan,”

Bahan racikan ie bu peudah terbilang asing bagi masyarakat awam. Konon masakan ini menggunakan 44 bahan dapur, tapi terkadang Nyak Neh tidak mampu menemukan semua bahan-bahan tersebut sebab keberadaannya semakin sulit ditemukan.

Ie bu peudah adalah makanan serupa bubur yang penuh dengan rempah-rempah. Buburnya beda dengan kebanyakan yang ada. Bubur ie bu peudah tidak mengunakan potongan ayam ataupun udang selayak bubur kanju. Ia didominasi rempah-rempah yang membuatnya sedikit lebih hangat dan pedas.

Nyak Neh berujar bahwa ada sekitar 44 bahan dapur yang digunakan untuk meracik masakan ini. Semisal kacang hijau, beras, jagung, lada, halia, jahe, kunyit, seuree, ketumbar, bawang putih, pala, hingga lamkeuweuh. Bahan-bahan itu dibersihkan dan ditumbuk halus lalu digongseng hingga kering.

Hal sama juga ia lakukan untuk bahan pelengkap dedaunan yang memperkaya racikan bubur ini. Semisal, daun mireuk, daun saga, daun jeruk purut, daun teumuruy, daun camplie buta, daun balek baloe, daun lada, daun kunyit, daun serapat, seumalu bate, seurumpung, tahe peuha, balek angen. Kebanyakan dedaunan ini semakins ulit didapat. Terkadang Nyak Neh harus menyusuri ke dalam hutan atau mengabaikan dedaunan yang dimaksud jika sulit ditemukan.

“Buatnya capek sekali. Bahannya harus dicuci semua trus dikeringkan. Setelah dikeringkan baru dihaluskan satu persatu” ujar Nyak Neh yang terkadang membutuhkan waktu seminggu untuk menyiapkan ini semua.

Bahan-bahan itu ia haluskan menggunakan jeungkie, alat tradisional yang sering digunakan untuk menumbuk beras. Bentuknya kayu memanjang dengan pijakan diujungnya. Disisian ujung kayu lainnya terdapat kayu memanjang kearah bawah. Disanalah tumpuan tumbukkan bersumber. Berganti-gantian Nyak Neh menumbuk semua bahan-bahan itu sebelum ia gongseng hingga kering.


Bahan-bahan yang telah dihaluskan kemudian diaduk rata dengan beras tumbuk kasar. Campuran itu kemudian dimasak kering menyerupai bumbu kacang pecal. Racikan bumbu itulah yang dijual Nyak Neh di warung Djailani. Bumbu hasil racikannya mampu bertahan tiga bulan, “biar bumbunya tetap bagus, simpan di dalam botol kaca jangan dalam plastik,” jelas Nyak Neh yang mengaku bulan ramadhan ini mendapat orderan racikan ie bu peudah dari Jakarta.

coba mesin kukur kelapa tradisional

Racikan ie bu peudah ini tentu mempermudah bagi siapa saja yang ingin mencicipinya. Pembeli tinggal merebus air dan mencampur racikan ini dengan potongan dedaunan seperti, daun melinjo, daun jeruk purut, daun singkong, jagung, ketela, jahe, kunyit, kacang ijo, daun pepaya, potongan pisang dan kelapa muda. Kesemua ini dimasak dan diaduk hingga matang.
“biar lebih enak, tambahkan sedikit air kelapa,” jelas Nyak Neh.

Di tempat terpisah, Zuriyati Irfan, salah seorang warga Lueng Bata mengaku menjadi pelanggan tetap racikan ie bu peudah Nyak Neh. Ia mengaku setiap Ramadhan tiba rutin membeli racikan ini di warung Djailani yang letaknya berkisar 200 meter dari rumahnya. Bagi Zury racikan satu porsi ie bu peudah mencukupi hingga dua minggu ramadhan tergantung pemakaian.
“Racikannya dipake sedikit aja, nanti baru ditambah banyak sayuran,” ujar Zury yang menjadikan ie bu peudah ini menu berbuka untuk menghangatkan badan.

Menghangatkan tubuh dan mencegah masuk angin selama ramadhan adalah satu khasiat dari ie bu peudah. Masakan yang didominasi dedaunan herbal dan rempah ini memang memiliki khasiat tinggi. Selain menjaga stamina tubuh sepanjang Ramadhan, juga asupan karbohidratnya tinggi yang bersumber dari beras, kacang hijau dan jagung.

depan rumah Nyak Neh. Lha, kok ada penampakan Aslan??

Hal itu turut dibenarkan oleh Nyak Neh. Tapi ketika disinggung apakah 44 bahan dasar ie bu peudah turut bangkit ketika akhirat nanti seperti yang beredar di masyarakat, Nyak Neh menolak dan menampik mempercayainya.
“Saya tidak mengerti tentang itu, tapi kalo untuk menjaga kesehatan memang iya..” ucap Nyak Neh menutup obrolan sore itu.

# # #

Setelah melalui penyuntingan
tulisan ini dimuat di tabloid Atjehtimes edisi 1-7 Juli 2013 dengan judul Hangatnya Ie Bu Peudah

About Ferhat Muchtar

Ferhat Muchtar
Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker. Teller Sampai Teler.
Suka makan kuaci. Tukang koleksi buku.
email: ferhattferhat@gmail.com
Tulisan yang mungkin kamu suka × +

3 komentar:

  1. mantap bang ferhat. kapan2 kalau nyari objek tulisan ajak2 liza laaah

    BalasHapus
    Balasan
    1. hhahahaa... yook za.. kemarin pg dg Zuri sama Aslan..

      Hapus