#e39608 Sengsaranya Menginap di Hotel Negara Api: Jalan-Jalan Aceh #2 - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

Sengsaranya Menginap di Hotel Negara Api: Jalan-Jalan Aceh #2


Baca edisi pertamanya di sini




BESOK harinya, perjalanan berlanjut ke salah satu kabupaten seberang. Perjalanannya pun lumayan jauh. Sempat beberapa kali istirahat selama perjalanan. Hingga akhirnya tiba di kota tujuan ketika hari menjelang maghrib. Saya langsung menuju ke salah satu hotel yang sudah di-booking.

Dari luar, hotel ini kece sekali. Bangunannya megah. Lobinya pun bersih, luas. Layout-nya nggak kalah dengan hotel di kota-kota besar. Makin hebat, sebab di lobinya terpajang beberapa foto pejabat negara dan artis ibukota yang pernah nginap di hotel ini.

Sambil menunggu reservasi, saya keliling lobi hotel. Penasaran, siapa aja sih yang pernah nginap di sini. Oaalla, ternyata beberapa grup band ternama juga pernah nginap di hotel kece badai ini. Artis zaman baheula juga pernah.
“Ini hotel nomor dua terbagus di sini,” ujar Iqbal, salah satu teman yang ikut mondar-mandir di lobi hotel.

Ternyata kemegahan lobi ini hanya kamuflase kayak Korea Utara
Sebab setelah beranjak ke lantai dua, suasananya langsung berubah.
Suram!
Aauuu…
Lantainya dari keramik zaman dulu. Pengap, bau apek, dan rada serem soalnya minim pengunjung.
Saya yang awalnya takjub jadi heran. Kok beda amat, yak!

Saya menginap di kamar lantai dua. Paling pojok. Terdapat balkon yang berhadapan langsung dengan jalan raya. Dari atas balkon bisa melihat suasana kota. Biar pun harga per kamarnya lumayan, ternyata fasilitasnya jauh dari harapan.
Saat pertama kali masuk, saya langsung merasa aneh dengan suasana kamarnya. Keadaannya hampir sama dengan keadaan di luar. Pengap. Bahkan, lantainya lengket kayak lantai dapur habis kenduri. Sangking lengketnya, saya harus jinjit kalau lagi jalan. Sandal hotel, auk ditaruh di mana.

Merasa gerah sehabis perjalanan jauh, saya siap-siap untuk mandi. Saat di lobi tadi, dikabari resepsionis kalau setiap kamar tersedia kran air panas di kamar mandi. Saya pun bergegas mandi. Terlebih lagi cuaca lagi dingin-dinginnya. Cocok nih, mandi pakai air panas.

Syalala … byur-byur …
Mandi kedinginan. Saya putar kran air panas. Mutar ke tanda merah. Seketika air hangat langsung mengucur dari shower. Cuci muka, pakai sabun, byur-byur … aduuhh, segernyaa …
Tapi, lama-kelamaan. Eh, ni air kok hangatnya makin menggila, yak.
Kran kembali saya putar ke arah biru. Niatnya biar kembali dingin. Saya menunggu sebentar, sempat dingin.
Tapi …
Lha, kok jadi panas?
Kran diputar lagi ke arah merah. Mana tau, kali aja tukang pipa salah pasang.
Eh, gile, tetap panas!

Saya mutar lagi ke arah biru, makin PANASSSS …
Balik arah lagi ke warna merah, makin PANAASSSSS ...
Yaellah, ni apa-apaan sih!



Saya kalang kabut. Dalam panas membara air mengucur deras. Saya gelagapan coba matiin kran. Ya ampun, ini kran panasnya nauzubillah. Udah kayak di neraka.

Air panas terus-terusan mengucur nggak karuan. Sialnya, itu uap meluap-luap memenuhi kamar mandi yang ukurannya seuprit. Uapnya bikin sesak. Saya malah kebayang kematian semakin dekat. Mana ventilasinya kekecilan lagi. Azab!
Asap panas memutar-mutar seisi kamar mandi. Panik, saya semprot air dingin dari kran di dekat wastafel. Yaellah, nggak ngaruh rupanya.
Uap asap semakin menggila. Saya serasa terjebak di dalam asap fogging nyamuk demam berdarah. Udah kayak diserang negara api.

Arrhh!! Gila ni hotel!
Kesel, saya langsung matiin kran air.
Lha, kok bisa?
Ternyata jiwa ini udah lebih panas ketimbang air kran. Panas air nggak kerasa lagi saking keselnya.

Oh, nggak bisa dibiarkan, nih!
Segera saya lapor ke resepsionis di bawah. Saat tiba di sana, si resepsionis lagi nonton film India. Lagi semangatnya nonton pemain yang lagi guling-guling di taman kota sambil nyanyi-nyanyi.
“Kak, itu air di kamar saya panas semua. Nggak ada dingin-dinginnya. Udah kayak mandi di neraka!”
“Oh!” si resepsionis kaget. Ia segera bangkit lari ke temannya yang lagi nongkrong di teras depan.
Lha, kok lari. Serem amat kali ya.

“Bang, tunggu ya kita perbaiki,” ujar salah satu pegawai dari teras depan. Kayaknya dia udah mendengar cerita dari si resepsionis India tadi.

Saya pun bergegas kembali ke kamar. Tapi, sempat mikir juga, eh mereka tau nggak ya kamar nomor berapa. Alhasil, saya nungguin mereka di koridor hotel. Persis di depan pintu kamar. Takut mereka nyasar ke kamar lain.

Hingga kemudian, bunyi langkah kaki berderap di tangga hotel. Saya melihat ke ujung. Seorang pegawai sedang menuju ke sini. Tapi, eehh, kok lewat. Kok malah ke sana?
“Bang, di sini kamarnya,” teriak saya dari ujung.
“Iya, ya, Bang, tunggu bentar,” sahutnya sambil terus berjalan.

Saya langsung berpikir. Oh, kali aja mau ngambil kran baru, matiin pompa, atau mau ngambil perkakas ini itu. Tetapi, sangkaan ini berubah semenit kemudian. Saat si pegawai datang dengan santai dan muka lempeng.

“Bang, pakai ini aja mandinya,” ujarnya sambil nyerahin… ember dan gayung!!
“Jadi nanti airnya ditampung di ember ini aja, pakai kran di dekat wastafel,” sambungnya santai.

Yaellah, saya melongo.
Kesal, terlebih lagi itu ember kecil sekali.
Ampyuun …


About Ferhat Muchtar

Ferhat Muchtar
Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker. Teller Sampai Teler.
Suka makan kuaci. Tukang koleksi buku.
email: ferhattferhat@gmail.com
Tulisan yang mungkin kamu suka × +

0 komentar:

Posting Komentar