#e39608 Aku dan 11 Tahun di FLP Aceh - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

Aku dan 11 Tahun di FLP Aceh

Tiba-tiba MUnawar, anggota FLP Aceh 2013, merepost ulang tulisan ini. Dulunya sempat ku posting di facebook. Tulisan ini kutulis 2012 lalu, ketika Aku tepat 11 tahun di FLP Aceh. Dan ini sedikit cerita perjalananku dari 2001-2012 selama di FLP Aceh.



FLP TEMPAT BERBAGI

FLP di sekret loteng
Saat mengenal Forum Lingkar Pena (FLP), saya masih mengenakan seragam putih biru. Saya tahu FLP karena menggandrungi bacaan majalah Annida. Saban bulan membeli dengan menyisih uang jajan. Melahap semua cerpen-cerpen yang ada. Dari sana saya mengenal beberapa penulis ternama; Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Diana Roswita, Muthmainnah. Disudut hati, saya ingin seperti mereka. Ingin menulis dengan baik dan dimuat di media. Terlebih kesenangan menulis telah ada sejak saya duduk di bangku sekolah dasar.

***
Di tahun itu 2001, saya mendengar kabar jika FLP akan dibentuk di Aceh. Nekad hati saya mencoba langsung mendaftar pada saat FLP Aceh diresmikan. Setelah itu saya menyisihkan waktu minggu saya untuk bertandang dan mengikuti setiap pertemuan.

Awalnya membosankan. Terlebih anggota yang ada tak begitu ramai, tak lebih dari sepuluh jari. Kami sering berkumpul di tangga masjid. Berpindah dari satu masjid ke masjid lain. Sesekali di tanah lapang. Sedikit kecewa bergabung awalnya. Nama besarnya tak seimbang dengan apa yang saya rasakan. Sempat bertanya mengapa bisa seperti ini. Mereka yang saya anggap pengurus hanya berujar, FLP tak punya uang.

Sejenak saya memberi jeda dari FLP. Saya lebih fokus menyelesaikan ujian akhir dan sibuk mencari sekolah terbaik untuk jenjang berikutnya. Saya menarik diri dari FLP. Tak lagi terlibat dalam pertemuan rutin. Tak lagi bertukar cerita, hingga saya alpa bagaimana kabar FLP.

Hingga akhirnya, Diana Roswita menelepon suatu pagi. Ia menanyakan kabar saya. Terperangah dibuatnya.  Tak mengira seorang penulis yang sering saya baca karyanya sudi hati bertukar kabar. Diujung pembicaraan, ia mengajak saya kembali bergabung di FLP.

Meluang waktu saya memenuhi permintaan itu. Saya hadir kembali di FLP. Disambut selayak anak yang pergi dari rumah. Tak menganggap asing terlebih membuka jarak. Semuanya mencair, membaur. Saya sumringah dengan sambutan ini.
Dipertemuan baru saya ini, FLP tak lagi bergerak dari masjid ke masjid. Ia kini menempati posisi tetap. Kami menamainya sekret. Tempatnya mungil. Berlantai dan berdinding kayu. Jika siang hawa ruangnya terlalu panas hingga kami harus bersegera bubar. Kami tak punya uang untuk sekedar membeli kipas angin. Ya, FLP menempati loteng sebuah usaha konveksi spanduk. Ruangnya kecil dan sempit. Dibeberapa sudut kami harus merunduk karena atapnya yang kerendahan. Saat pertama kali tiba, saya mengernyit heran. Bagaimana mungkin rumah tikus menjadi sekretariat FLP?

Dari teman-teman pengurus, saya tahu sekret ini ada dari hasil patungan bersama. Masing-masing memberikan semampunya.  Hingga terkumpul dan menyewa ruangan lantai dua ini. Saya masih teringat bagaimana Diana Roswita membeli karpet bermeter-meter dari hasil hadiahnya menjuarai lomba menulis. Dengan keterbatasan saya melihat raut-raut ikhlas disini. Membentuk rasa bahagia. Setidaknya kami tak harus lagi pusing untuk sekedar berkumpul.

Launching buku di mushalla Lampriet 2003


Kebersamaan ini terus berlanjut. Tanpa dikomandai kami seperti keluarga kecil yang berbahagia. Disana, saya mulai mengerti bagaimana berkarya dengan baik. Menulis bukan hanya sekedar membuang isi kepala, namun  juga harus meyebar nilai kebaikan. Hal-hal yang mungkin terdengar sepele, namun sulit didapat diluar sana. Perlahan dengan keterbatasan, saya berusaha memberikan yang terbaik. Dan hasilnya, beberapa karya saya dimuat di antologi dan surat kabar. Melihat itu girangnya tak terkira. Disini saya mulai menyadari. Kami menulis bukan untuk berkompetisi, tapi untuk saling berbagi.

Hingga suatu ketika, masa sewa sekret usai. FLP harus angkat kaki. Pemilik ruangan tak lagi berniat menyewakan. Ia ingin mengubah ruangan yang FLP tempati menjadi gudang usahanya. Perlahan saya dan teman-teman berkemas. Mengangkut inventaris FLP yang tak seberapa. Bersyukur, salah satu anggota FLP sedang merintis usaha. Disanalah saya dan teman-teman berdiam diri. FLP hanya mampu menyewa beberapa meter dari ruangan lantai dua. Cukup untuk meletakkan inventaris organisasi. Untuk berkumpul? Bersyukur, lagi-lagi saya menemukan keikhlasan hati membagi dari teman-teman FLP. Kami dibebaskan menggunakan semua sudut ruangan untuk berdiskusi.

Pada masa itu, untuk keduakalinya saya menarik diri dari FLP. Alasannya sederhana. Saya takut dicalonkan menjadi ketua umum FLP Aceh. Mendekati muswil saya menghilang, sebab mendengar nama saya digadang-gadang menjadi salah satu calon. Saya yang tipikalnya sedikit pemalu dan cenderung pendiam, merasa tak mampu melibatkan diri lebih besar di FLP. Diakui menjadi anggota saja bagi saya cukup membanggakan. Tak ingin berharap minta lebih.

Hingga lantas, duka itu datang tiba-tiba. Air menggulung tinggi. Menghanyutkan dan merusak apa yang ada. Termasuk sekretariatan FLP Aceh. Banda porak-poranda dalam kedipan mata. Semua kacau. Hancur. Saat itu semuanya mengungsi. Pergi meninggalkan Banda yang nyaris tanpa nadi.

Di pengungsian, saya mendapat kabar kalau ramai teman-teman FLP yang pergi digerus gelombang; Meutia Maelda, Faryati, Rita Ulfia teman-teman yang begitu ikhlas membangun FLP dari keterbatasan. Bahkan yang sulit saya utarakan, saat menerima kabar Diana Roswita turut meninggal dalam pelukan bersama dua putra kembarnya. Jujur ini menyedihkan. Sedih. Kehilangan begitu banyak teman dalam satu waktu tentu diluar dugaan. Saya yang lama tak bersua lagi dengan rekan-rekan FLP merasa luka yang teramat. Merasa tak yakin. Pedih sekali. Mungkin perasaan ini terkesan berlebihan, namun itulah yang saya rasakan.

Banda kembali berdenyut. Sungai mulai mengalir tenang. Ramai orang berhilir mudik. Laut tak lagi mengamuk. Saya dibuncah rasa untuk mengetahui kabar FLP terbaru. Meninggalkan FLP dengan kondisi luluh lantak setelah tsunami, membuat saya tergerak untuk kembali dan berbuat lebih. Dan Tuhan seakan mendengar harapan itu.
Tak diduga, disaat saya sedang menempuh tahun pertama dibangku perkuliahan. Saya mendapat kabar dari selebaran yang ditempel disudut toko buku yang sering saya kunjungi. Anggota FLP Aceh harap berkumpul di Perumnas Sentosa, Tungkop. Dibawahnya tergambar sketsa kasar denah rumah tujuan.

Ingin rasanya bersegera kesana. Bergabung kembali dan merasakan kebersamaan seperti dulu. Namun urung! Saya malu. Lebih tepat tak berani untuk memunculkan diri. Terasa bodoh, hadir untuk kedua kali disaat dulu sempat menghilang. Tapi disudut lain, hati ini terus memaksa. Saya harus kesana! Harus! Harus!
Dan dilarut malam sebuah SMS masuk. Dari Cut Intan. Dengan gayanya yang tegas ia mengabarkan kepada saya untuk hadir dipertemuan perdana pasca tsunami di Tungkop. Jika tak hadir akan dicoret dari keanggotaan FLP. Itu SMS yang terdengar begitu kejam.

Saya nekad! Dengan menumpangi angkot saya menuju ke Perumnas Sentosa, Tungkop. Tak tahu dimana lokasinya. Tak tahu di rumah siapa. Saya beranikan diri hingga nyasar mencari tujuan. Sesampai disana setelah berputar-putar, saya menemukan wajah-wajah baru; Alimuddin, Eqi, Ubai, Arief. Saya tak mengenal mereka, namun sambutan hangat yang membuat saya betah hingga lupa waktu. Dan lagi-lagi saya diterima dengan terbuka. Disambut hangat. Tak ada dendam atau kecewa dari mata mereka.

sekret FLP di Tungkop 2005-2011


Siang itu pertemuan lebih banyak dihabiskan dengan bincang-bincang tentang FLP. Dan juga tentang kerusakan sekretariat FLP akibat digerus gelombang. Tak banyak barang-barang yang diselamatkan. Bahkan piala juara 1 Nasional sebagai FLP terpuji di Jogjakarta, juga tak terselamatkan. Piala yang membuat kami begitu bangga hingga membawanya ke meja Walikota.

Dan mulai saat itu, sekretariat FLP berpindah ke Tungkop. Di ruangan kecil yang hanya cukup menampung 15 orang. FLP menempati garasi kecil rumah Mardhiana, salah satu pengurus. Inilah yang membuat saya begitu terpana disini. Menemukan begitu banyak orang-orang yang setia dan ikhlas membagi apa yang dimiliki.

Kampanye membaca di arena PKA


Di Tungkop, cerita FLP berubah. Disini, saya merasa FLP jauh lebih hidup. Ceria. Penambahan anggota yang terus setiap tahunnya membuat FLP semakin solid. Saya berusaha mengambil peran penting. Tak lagi ingin sebagai pelengkap. Rasanya malu dengan diri sendiri, disaat rekan-rekan lain memberi lebih untuk FLP.
Mulai masa itu saya melibatkan diri di kepengurusan. Mengurus ini itu, mencari donatur untuk keberlangsungan FLP. Menyiarkan semangat baca tulis. Turun ke jalan-jalan untuk mengkampanye cinta membaca. Dan syukur, saya menemukan orang-orang yang cocok untuk melakukan itu semua.

Saya menyadari, keterlibatan aktif saya di FLP dilirik oleh rekan-rekan lainnya. Hingga di tahun 2006, saya dicalonkan maju untuk menjadi ketua FLP Aceh. Disaat itu usia saya masih 21 tahun. Sungguh ini diluar dugaan! Tak terbayang oleh saya untuk memimpin sebuah organisasi besar yang jaringannya telah menembus beberapa Negara tetangga. Kali ini tak ingin lari lagi. Berusaha maju. Awalnya saya menolak, namun forum berkata lain. Saya terpilih dari hasil musyawarah.

Dari sana, saya menemukan hal-hal tak terduga. Saya merasakan perubahan berarti dalam pribadi saya. Saya yang pendiam, pemalu, cenderung menarik diri dari keramaian, dituntut untuk selalu berada didepan. Menyelesaikan beberapa persoalan internal, menerima ajakan kerjasama yang mempertaruhkan nama FLP. Berkeliling ke beberapa kabupaten membuka cabang baru FLP, mengisi materi, bahkan on air di radio-radio. Sungguh, ini diluar apa saya duga. Lambat laun saya melebur dalam pengalaman-pengalaman baru. Saya merasakan ada yang berubah. Saya merasa lebih percaya diri!

Hal yang tersulit yang pernah saya lakukan adalah mencari donatur untuk keberlangsungan FLP. FLP tak mungkin terus berpangku dari keramahan Mardiana yang meyisihkan ruang rumah sewaannya. Saya mencoba memutar otak. Bersama teman-teman, kami menyusun banyak proposal. Mengirimnya kebeberapa instansi. Hanya sebagian menaruh simpati. Bahkan diantara sebagian itu, menyempatkan diri berkunjung ke sekretariat FLP. Mereka pembesar lembaga itu, kami sambut dengan keterbatasan di ruang garasi.

kelas menulis di sekret FLP Aceh Tungkop


Segala prestasi kami utarakan. Kami juga menunjukkan eksistensi FLP selama di Aceh. Dari raut mereka saya yakin, mereka bangga dengan prestasi yang telah digores oleh anggota FLP Aceh. Hal yang sama saya rasakan juga.

Namun ketertarikan mereka seakan sirna. Selepas mereka pergi, tak ada kabar gembira menyusul. Tak ada bantuan, tak ada donatur yang memberi. Mereka pergi dan tak kembali. Saya kecewa.
Jujur, saya menaruh besar dengan kedatangan mereka. Saya anggap janji manis mereka hanya bualan. Ingin rasanya marah dan menumpah kekesalan. Namun teman-teman memberi kekuatan lebih. Membuka alam positif dalam pikiran saya. Menenangkan pikiran, dan menikmati apa yang ada.

Saya tak tahu, darimana ajaran kesahajaan begitu melekat di FLP. Tak ada yang mengajari. Semua mengalir dan terbentuk. Dugaan saya, mungkin ini lahir dari perjuangan lelah beberapa tahun silam. FLP yang bergerak dari kekurangan, terdidik tanpa sadar untuk mensyukuri apa yang ada.
***

Dan kini, saya masih disini. Di FLP! Tak lagi mengenakan seragam putih biru. Tak lagi menjabat ketua FLP Aceh. Hampir 11 tahun saya di FLP. Menyaksikan perlahan FLP Aceh mulai berbenah. Tak lagi berkumpul ditangga masjid. Tak lagi bertukar kabar di tanah lapang. Tak lagi berdiam diri di loteng rumah. Tak lagi harus bertemu di garasi rumah.

launching buku FLP Aceh 2012


FLP Aceh kini menempati ruko 2 lantai. Eksistensinya dilirik hingga menerima hibahan dana. Kami juga mengelola penerbitan indie sebagai tambahan kas FLP, walaupun masih terseok. Saya melewati proses-proses itu. Melihat perubahan-perubahan dari setiap kepengurusan. Melihat bangga teman-teman yang begitu ikhlas membangun FLP tanpa pamrih. 

Saya masih suka disini. Tak tahu harus sampai kapan. Seakan mata sulit melirik hal-hal menarik di luar sana. Terasa sukar kaki melangkah pergi dari sini. FLP bagi saya begitu menarik! Jika harus diutarapun saya sulit menjabar hal apa yang menarik. Ia sulit diutarakan, tapi harus dirasakan.

di sekret baru FLP Aceh


Disini saya ingin terus belajar. Bukan sekedar belajar menulis, namun belajar tentang berbagi dan kebersamaan. Dari dulu saya tahu, di FLP tidak akan membuat kita kaya. Kita cenderung memberi apa yang kita punya, ketimbang menerima dari apa yang kita keluarkan. Namun saya yakin, Tuhan akan menilai kita lebih kaya dengan segala niatan kita.

 Selamat ulang tahun FLP. Mari terus berkarya, berbakti dan berarti. (2012t)

About Ferhat Muchtar

Ferhat Muchtar
Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker. Teller Sampai Teler.
Suka makan kuaci. Tukang koleksi buku.
email: ferhattferhat@gmail.com
Tulisan yang mungkin kamu suka × +

0 komentar:

Posting Komentar