Letak situs tsunami Aceh ini tidak
begitu jauh dari komplek penangkaran ikan Lampulo, Banda Aceh. Dari gang sempit jalan
Tanjung yang padat penduduk, sebuah kapal besar bertengger di atas rumah.
Itulah Kapal di Atas Rumah Lampulo, yang
menjadi saksi bisu ganasnya tsunami Aceh 2004 silam.
Beruntung pagi ini saya bertemu dengan Maulidar Yusuf, warga Lampulo yang juga seorang tour guide wisata di Banda Aceh. Ia
bercerita panjang mengenai kapal nelayan tersebut.
“Kapal ini berasal dari pelabuhan
ikan Lampulo. Saat tsunami datang, ia bertengger disini terbawa gelombang,”
cerita Maulidar yang mengajak saya berkeliling komplek wisata ini.
ketika tsunami |
Sebuah jembatan menjulang di
tengah halaman hingga berhenti disebuah balkon pesegi diatasnya. Tempat yang tinggi
menjadikan pengunjung dengan mudah melihat kapal lebih dekat secara menyeluruh.
Dek kapalnya sempit. Ditengahnya terdapat kamar yang biasa digunakan untuk awak
kapal.
Kapal dari atas |
Di bawah lambung kapal juga
terdapat prasasti yang menceritakan kisah singkat mengenai kapal ini. Prasasti
tembaga ini terdiri dari tiga bahasa; bahasa Aceh, Inggris dan bahasa
Indonesia. Memudahkan bagi pengunjung untuk mendapatkan informasi dasar.
Dari depan rumah |
Maulidar menuturkan, jika kapal
ikan ini berada di atap lantai satu rumah Ibu Abasiah. Gempa dan tsunami besar
datang tiba-tiba menghentak kesibukan minggu pagi itu. Warga yang awalnya
berada di luar rumah selepas gempa, berlarian mencari tempat tinggi ketika
mendengar teriakan air laut naik.
Salah satu tujuan lari mereka adalah rumah Ibu Abasiah yang berlantai dua. Lampulo yang berdekatan dengan laut mengakibatkan kawasan ini termasuk parah dihantam air pekat itu. Berbilang detik, air meninggi hingga mencapai dagu dewasa di lantai dua.
“Sebagian ada yang menerobos ke
atap rumah lewat loteng. Ketika melihat kapal merapat ke rumah semuanya
diungsikan ke dalam kapal,” tutur Maulidar yang bercerita jika kapal ini
menyelamatkan 59 warga. Warga yang selamat bertahan hingga tujuh jam di dalam
kapal menunggu air laut surut.
Maulidar lalu mengajak saya berkeliling kedalam rumah. Beberapa bagian rumah tampak hancur
menyisakan puing-puing. Di beberapa sudut terlihat jelas batu bata yang mulai
terkelupas. Pengunjung masih bisa melihat jelas bekas tapal rumah seperti
dapur, kamar tidur, ataupun toilet.
Bekas tapal ruangan rumah |
Di garasi rumah yang tak
berpintu, sebuah spanduk besar terpajang di dinding ruang. Disana tercatat nama-nama
korban yang berjumlah 982 nama.
“Ini semuanya warga Lampulo yang
menjadi korban. Kemungkinan jumlahnya bisa lebih, karena ada beberapa keluarga
yang memang tidak menyisakan sanak famili. Ataupun sebagian tak sanggup melaporkan
nama saudaranya ke pengelola,”
Nama-nama korban meninggal |
Setiap memandu tamu di ruang ini,
Maulidar selalu menganjurkan kepada pengunjung untuk menghantarkan doa bagi
para korban, “banyak yang menangis jika berada di ruangan ini,” lanjutnya.
Dari tangga yang bersebelahan
dengan garasi, kami menuju ke lantai dua . Di lantai teratas ini ruangan
terbagi dua. Di sebelah kiri tangga ruang sekretariatan, di sebelah kanan
terdapat ruangan yang bersisian dengan balkon menjorok keluar. Di ruangan
inilah para korban awalnya berkumpul ketika air meninggi sebelum kapal tersebut
datang. Konon ketinggian air mencapai dagu orang dewasa di lantai dua. Sehingga
bocah-bocah kecil yang mengungsi ke ruang ini terpaksa harus digendong.
“Mereka saling meminta maaf
seakan peluang untuk hidup terasa tipis,”
Sekarang ruangan ini menjadi
galeri foto. Sebagian foto menggambarkan situasi rumah Ibu Abasih ketika tsunami
surut. Juga sebuah foto yang menggambarkan seng atap balkon yang jebol, yang
digunakan beberapa warga untuk menyelamatkan diri ke atap rumah tertinggi.
lantai dua yg jadi galeri foto |
keadaan kapal saat tsunami. Atap seng balkonnya jebol |
Menurut pengakuan Maulidar,
hampir keseluruhan kawasan ini remuk rata. Terbukti dengan berdirinya banyak
rumah bantuan yang serupa. Hanya beberapa rumah saja yang bertahan dari
hempasan.
Walaupun agak sedikit tersembunyi
dan jauh dari pusat kota, ternyata objek tsunami ini ramai dikunjungi oleh
wisatawan. Termasuk pak Hasri, seorang warga Malaysia yang berkunjung disaat saya bertandang.
“Ini bukti besar tentang tsunami
Aceh. Ini sebuah mukjizat,” sahutnya ketika ditanya mengenai tempat ini.
Pak Hasri berkunjung ditemani
istri dan dua anaknya. Ini merupakan kali pertamanya ia ke Aceh, “sebelumnya saye sudah mendengar perihal tempat
ini,”
Kedatangan wisatawan yang ramai
juga didukung dengan fasilitas di komplek ini. Di sudut pekarangan, terdapat
bilik-bilik kayu yang menjual souvenir Aceh dan pusat informasi wisata.
“Setiap wisatawan yang datang
kemari bisa meminta sertifikat ke pengelola. Sebagai bukti telah berkunjung ke
lokasi ini,” ujar Maulidar.
Lalu saya menuju ke pusat informasi yang bersebelahan dengan gerai souvenir. Salmi, seorang petugas duduk sendiri di dalam bilik panas. Di depannya sebuah meja penuh dengan beberapa brosur yang menceritakan kisah hidup para korban. DI belakangnya sebuah kotak persegi berdiri dengan susunan buku di dalamnya.
"Setiap harinya sekitar 70 orang lebih wisatawan yang datang," jelas Salmi yang sejak 2011 lalu menjadi petugas di komplek ini.
Ia juga kerap memandu para wisatawan, dan melihat langsung bagaimana reaktifnya pengunjung menatap kapal besar di atas rumah ini. Kebanyakan terisak, sebagian tersungkur di tribun halaman. Lirih sambil baca doa.
"Bahkan ada bule Perancis yang datang rombongan. Di halaman mereka berdoa dipimpin seorang pendeta,"
Selama bekerja disini, ia kerap melihat tokoh-tokoh penting yang berkunjung kesini. Seperti Irene Handono, Farah Quinn, Lilis Karlina, Cici Paramida, Firman Utina, ataupun Ustad Maulana.
"Bahkan sering menajdi tempat syuting TV swasta," ucapnya mengakhiri obrolan.
Wah dahsyat sekali pemandangannya. Semoga warga Aceh selalu bersemangat untuk kembali menjalani kesehariannya.
BalasHapus