Setiap kali pulang ke Piyeung, Aceh Besar rumah kakek
adalah tempat yang paling saya senangi. Rumah berbentuk panggung khas Aceh itu
besar sekali. Ada banyak kayu penyangga yang menompang rumah panggung yang
tingginya berkisar 3-4 meter itu. Arsitekturnya pun Aceh sekali. Ada seuramoe likeu, seuramoe teungoh, dan seuramoe likot yang membagi rumah ini
menjadi tiga bagian.
Bukan hanya ayah
yang dilahirkan di sini, almarhum kakek juga lahir tumbuh di rumah ini. Rangkaian
panjang dua generasi ini membuat usia rumah panggung ditaksir melebihi seratus
tahun. Walau berusia lanjut, kayu-kayu penyusun rumah masih kuat. Ukirannya pun
masih terlihat nyata.
Dulu, ketika kakek dan nenek masih ada, saya beberapa
kali menginap di sini saat liburan tiba. Terlebih lagi ketika musim rambutan
dan langsat berbuah. Ramai sekali cucunya menginap. Kakek dan nenek memiliki
perkebunan rambutan yang lumayan luas. Paling dekat di belakang rumah. Hanya
berdiri di jendela dapur, akan terlihat rambutan ranum yang berbuah lebat.
Hasil panen rambutan ini dikumpulkan di dapur rumah
kakek yang tersusun dari bilah-bilah papan. Di satu bagian, lantai dapur
tersusun dari bilah bambu. Rongganya lebih lebar. Kata nenek, itu sengaja
dibentuk demikian agar memudahkan ia menumpahkan air ketika memasak dan mencuci
piring. Sesekali dari rongga itu, nenek menaburkan umpan. Seketika di bawah rumah,
puluhan ayam saling berrebutan.
Biasanya kakek dan nenek menerima tamu di dapur. Ini
mungkin karena ruangannya lebih luas dan terasa lebih akrab. Ketika lebaran,
ruangan ini juga paling ramai dipenuhi sanak famili.
Layaknya rumah panggung Aceh lainnya, kamar mandi
kakek nenek terpisah dari rumah induk. Harus menuruni tangga. Letaknya
berdekatan dengan sumur. Pernah sekali, saat menginap masa kecil dulu, saya
ketakutan menuju kamar mandi ketika malam tiba. Suasana di luar gelap sekali.
Belum lagi banyak pepohonan besar tumbuh tak beraturan. Makin seram ketika suara
binatang saling bersahutan.
Nenek seakan tahu ketakutan saya. Ia lantas membuka guha yang berada di ruang tengah. Guha merupakan papan lantai yang bisa
dibongkar pasang. Ada lubang kecil untuk memasukkan jari saat membukanya. Dari guha-lah, aktifitas kamar mandi
tersalurkan. Saya tersenyum ketika menyadari ini. Padahal biasanya, saya hanya
melihat nenek membuang sirih yang dikunyahnya dari lantai guha.
Suasana inilah yang membuat saya rindu dengan rumah
kakek di Piyeung. Sekarang tak ada lagi keriuhan itu. Suara kakek nenek tak
terdengar lagi. Semenjak mereka meninggal beberapa tahun lalu, rumah menjadi
sepi. Saat lebaran pun rumah panggung besar ini hanya menjadi pelipur kenangan.
Rumah
Aceh Semakin Hilang
Rumah kakek terlalu memikat. Bukan hanya cerita di
dalamnya, tetapi juga bentuknya. Pernah sekali terlintas ide untuk membongkar
rumah itu dan membawanya ke Banda Aceh. Tetapi niat itu urung. Sebab akan mematahkan
segala memori yang ada di dalamnya.
Setiap lebaran, rumah ini menjadi lokasi foto wajib.
Semua berjejer dengan background
rumah kakek. Semua cucu berlomba-lomba. Berfoto ini bukan sekadar mengikat
memori lama, tetapi juga wujud kegirangan karena dapat berfoto di depan rumah
Aceh yang semakin sulit ditemukan sekarang ini. Maka, ketika peluang itu ada
semua ingin mengabadikannya.
Menemukan rumah Aceh saat ini terasa sukar sekali.
Bahkan, di Desa Piyeung pun rumah panggung ini hanya tersisa hitungan jari.
Warga lebih suka membangun rumah layaknya di kota. Selain lebih megah, rumah
terkesan lebih efektif. Mereka tak perlu turun naik untuk beraktifitas. Padahal
secara arsitektur, rumah Aceh memiliki nilai estetika dan filososfi sendiri.
Dari rumah Aceh, nasehat kehidupan seperti diajarkan
tanpa guru. Dari sudut-sudut rumahnya mengandung makna tersirat. Inilah yang
kakek ajarkan dulu. Kakek pernah berujar, seuramoe
teungoh merupakan area khusus pemilik rumah. Di sini ada dua ruangan yang
menjadi tempat istirahat kakek dan nenek. Di ruangan ini pula kami, para
cucunya tidur ketika liburan tiba. Tidak semua orang diperkenankan masuk ke seuramoe ini sebab letaknya sedikit private. Bahkan, posisinya lebih tinggi
dibandingkan seuramoe lainnya.
Para tamu kata kakek, lebih sering dilayani di seuramoe likeu dan likot. Bagi kerabat dekat, seuramoe
likot menjadi tempat yang kerap dipilih. Seuramoe ini lebih intim. Suasana keakrabannya lebih terasa.
Terkadang, nenek tak sungkan menghidang makanan dari dapur yang letaknya hanya
selemparan batu. Pintu masuk rumah juga dirancang lebih rendah. Ini sebagai
bentuk penghormatan tamu kepada pemilik rumah. Pesan sama yang selalu kakek
ingatkan kepada saya agar selalu menghormati orang lain.
Nilai-nilai budaya ini yang semakin sulit ditemukan saat
ini. Jangankan di desa, di kota pun menemukan rumah Aceh adalah kemustahilan. Entah
sejak kapan, bangunan berkubah menjadi arsitektur yang wajib diterapkan. Banyak
bangunan publik yang mengedepankan kubah, dan menganulir konsep rumah Aceh. Berkubah
seakan menjadi keharusan setiap kali membangun sebuah rancangan, terutama bangunan
publik. Padahal, menurut sejarah bangunan berkubah bukanlah akar budaya Aceh. Ia
merupakan kembangan arsitektur dari bangsa Persia, sebagian ada yang
menyebutkan berasal dari Eropa. Wilayah yang sangat jauh dari tanah Aceh.
Maka saya takjub, ketika suatu senja beberapa tahun
lalu, seorang teman mengajak berkumpul. Ia mengajak berjumpa di salah satu
warung kopi. Letaknya sedikit jauh dari jalan utama. Karena ini kali pertama
saya ke sana, ia dengan sabar menuntun arah jalan dari handphone.
Setiba di sana, saya berdecak. Wajah kakek seakan
hadir. Sebuah bangunan gelap berdiri tegak. Kayu penyangga tertancap di sela-sela
kursi duduk. Di rongga rumah, puluhan orang bercengkerama. Kopi hitam diteguk
perlahan. Suara terdengar riuh. Warung kopi ini mengingatkan saya dengan rumah
kakek di Piyeung. Bentuknya serupa walau terlihat lebih kecil. Beberapa ukiran
rumit juga terlihat di dinding papan rumah. Persis seperti rumah kakek.
Walau terlihat lebih kekinian, tetapi bangunan ini
seakan meredam rindu rumah kakek di Piyeung. Konsep yang diusung pun terlihat
unik, warung kopi dan rumah Aceh. Dua hal yang sebenarnya berbeda. Tetapi
penggabungan inilah yang akhirnya secara perlahan mengajarkan ke kaum milienial−penikmat
kopi terbanyak−bagaimana bentuk dan nilai-nilai dari rumah Aceh. Hal yang mungkin
tidak pernah mereka jumpai dan rasakan lagi di luar sana, seperti ajaran kakek yang ia sampaikan belasan tahun lalu. []
.
*Tulisan
ini diikutsertakan dalam lomba Budaya
Aceh di Mata Milenial
Pengenlah ke rumah Kakek bg Ferhat, di tempat kami nggak ada lagi rumah Aceh seperti itu.
BalasHapusTransform your business strategies with the 05 best CRM software in Dubai you must check out in 2024. Explore advanced features that improve customer interactions and deliver exceptional service in Dubai's competitive market.
BalasHapusPartner with a top website development company to achieve a seamless online presence, combining aesthetics with functionality to drive your business success.
BalasHapusSpecializing in commercial space interior design, we create environments that blend functionality with aesthetic appeal.
BalasHapusHaving a robust ecommerce website pakistan ensures a seamless and secure shopping experience for your customers. With features like personalized recommendations and easy navigation, it helps boost engagement and loyalty.
BalasHapusCreate a stunning and inviting space with Top Beauty Salon Interior Design Services in Dubai, designed to enhance your salon's appeal.
BalasHapusDiscover the latest Gaming Laptop Price In Karachi with our comprehensive guide. Explore top brands and unbeatable deals to find your perfect gaming machine.
BalasHapusNeedPoc Development Services? Softnsolve offers expert PoC development to help you validate your ideas and concepts quickly and efficiently. Our skilled developers are ready to bring your vision to life and ensure your project's success from the start.
BalasHapusWith a focus on innovation and sustainability, villa construction Dubai incorporates the latest technologies and eco-friendly practices to build homes that are both beautiful and energy-efficient.
BalasHapusExploring the rich traditions of Acehnese culture, especially through the lens of family stories, can offer a unique perspective that connects generations. Just as understanding cultural heritage enriches our lives, academic pursuits can benefit from expert support. For those immersed in the nursing field, whether you're working on a nursing dissertation or need help with a specific assignment, consider seeking nursing dissertation help. Additionally, if you're looking to pay someone to do my nursing assignment, or require assistance with Nursing Personal Statement writing Help, it's important to find resources that can guide you effectively through your academic journey. Balancing cultural enrichment with academic excellence is key to personal and professional growth.
BalasHapus