Hampir empat tahun saya resign
sebagai teller di sebuah bank nasional yang berada di Banda Aceh. Selama menjadi
teller banyak hal yang saya ketahui terutama transaksi keuangan. Saya sadar, terkadang
mengurus uang itu bikin njelimet, rempong, dan penuh kehati-hatian. Sebab
ini menyangkut uang nasabah, otomatis harus ekstra saat meng-handle-nya. Terutama saat nasabah
menyerahkan uang tunai untuk ditabung.
Saya masih teringat dengan seorang nasabah yang menyetor uang dengan
nominal sangat besar. Lebih repot sebab uangnya berantakan sekali. Digondol
dalam ransel besar. Rupanya si Bapak juragan ayam potong yang bisnisnya
menguasai seluruh Aceh. Ia memasok ayam potong hampir di semua restoran dan
warung makan. Bisnisnya sukses, otomatis duitnya juga banyak. Makanya saat menyetor
uang, ia selalu bawa ransel besar atau plastik kresek. Saat dibuka isinya penuh
dengan uang. Banyak sekali hingga ratusan juta. Repotnya uang itu acak kadut
dengan beragam nominal yang bercampur-campur. Saya sempat geleng-geleng dengan
caranya memperlakukan Rupiah. Makin kaget karena uangnya kotor nauzubillah, bahkan di beberapa lembar terciprat
darah segar. Hadeuh!
Melihat uangnya kotor dan amburadul, saya sempat komplain beberapa kali.
Uangnya dilipat kasar, dikaretin ketat, digulung-gulung, dikriwil-kriwil,
hingga bercak darah ayam. Sungguh baunya ampun-ampunan. Kayaknya nasabah lain nggak gini-gini amat, deh.
“Aduh, Hat, nggak sempat beresin. Ini pun buru-buru,” ujarnya beralasan.
Di lain waktu saya melayani nasabah Nenek Penjual Sayur. Kebetulan kantor
tempat saya bekerja berada di dekat pasar tradisional. Saya masih ingat, saat
itu menjelang hari lebaran. Nasabah penuh sesak. Hingga kemudian datang nenek
berpakaian lusuh. Ia membawa ratusan ribu Rupiah dan berniat menukar uang untuk
angpau lebaran.
Saat menerima uangnya, saya merasa janggal. Kok agak aneh ya? Saya perhatikan saksama dan menerawang di bawah
lampu x-ray. Tidak ada bayangan wajah pahlawan di uang itu. Saat diraba uangnya
licin tidak bertekstur, bahkan lebih licin dari uang kebanyakan. Warnanya pun
sedikit lebih pudar dan pucat.
“Dapat uangnya dari mana, Nek?” tanya saya.
“Dari pembeli kemarin siang,” ujarnya.
Aduh! Kebiasaan deh, kalau mau dekat lebaran pasti uang palsu merajalela.
Saya pun menjelaskan ke Nenek Penjual Sayur kalau uangnya palsu. Ia sempat
kaget dan takut. Berulangkali meyakinkan saya kalau ia tidak berniat berbuat
jahat. Makin sedih sebab uangnya saya tarik dan hancurkan. Otomatis angpau
lebaran untuk cucunya hilang.
Walau tidak bekerja lagi di dunia perbankan, tetapi dua pengalaman itu
membekas erat bagi saya hingga kini. Dua nasabah dengan pendidikan berbeda,
usia berbeda, pendapatan berbeda, dan kehidupan berbeda. Namun, dua-duanya
memiliki pemahaman minim terhadap mata uang Rupiah.
Bagi sebagian orang, mencintai Rupiah rasanya hanya cukup untuk
mengetahui itu asli atau palsu. Mungkin sosialisasi 3D; dilihat,
diraba, diterawang begitu membekas tertanam dalam alam bawah sadar. Walaupun
nyatanya masih banyak juga yang kecolongan. Tetapi ketika menjadi teller selama
tiga tahun, saya semakin tahu, mencintai Rupiah tidak hanya dengan konsep 3D
saja.
Pemahaman ini saya sadari saat menyetor uang brankas bank tempat saya
bekerja ke Bank Indonesia. Jadi ceritanya, saya ditunjuk oleh manajemen bank
untuk mengelola brankas uang. Jika brankas telah penuh dan saldo mendekati
limit maksimal, saya harus menyetor uang tersebut ke Bank Indonesia. Membawa
uang bermilyar-milyar dengan pengamanan ekstra tentu menjadi pengalaman
tersendiri. Dari sanalah saya sadar, ternyata ada namanya Uang Layak Edar (ULE)
dan Uang Tidak Layak Edar (UTLE).
Uang rusak, uang cacat, uang lusuh, hingga uang yang dicabut dari
peredaran termasuk sebagai Uang Tidak Layak Edar (UTLE). Saya pun teringat
dengan setoran uang juragan ayam potong yang sebagian lusuh dan penuh bercak
darah ayam. Uang-uang ini dikumpulkan oleh Bank Indonesia untuk dimusnahkan
sehingga tidak lagi beredar. Petugas Bank Indonesia berulangkali menasehati
saya untuk lebih teliti memisahkan antara ULE dan UTLE. Sebagai barisan depan
di dunia perbankan, saya juga dianjurkan untuk terus mengedukasi nasabah agar
lebih mencintai Rupiah, salah satunya dengan memperlakukan Rupiah sebaik
mungkin.
sumber: http://jambiupdate.co |
Emang iya sih, jika dipikir-pikir sebagian masyarakat kita masih sedikit
yang memperlakukan Rupiah dengan baik. Dikaretin, digulung, dilipat,
dikriwil-kriwil, dibonyok-bonyok layaknya kertas biasa. Bahkan, ada juga yang
membuatnya menjadi kerajinan tangan. Namun, perlakuan ini berbeda untuk mata
uang asing.
Saat bekerja, saya berulangkali melihat nasabah yang begitu syahdu dan
baiknya memperlakukan mata uang Dollar. Ditaruh rapi dalam buku biar tetap
tegak dan licik, ditaruh dalam dompet lebar agar tidak terlipat, hingga pernah
melihat nasabah yang menaruh Dollar dalam plastik serupa laminating. Emang sih,
uang Dollar tersebut hanya jadi transaksi valas, bukan untuk jual beli
selayaknya di pasar tradisional. Tetapi, semangat menjaga ini juga tidak
salahnya diterapkan saat mengenggam Rupiah, selayaknya semangat Bank Indonesia
yang terus berkomitmen menyediakan uang layak edar di tengah masyarakat sesuai
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011.
Memang terkesan kecil dan sederhana, namun aksi nyata ini sangat mudah dilakukan
bagi masyarakat awam. Pesan ini seperti disampaikan Presiden Jokowi saat meresmikan
pengeluaran dan pengedaran sebelas pecahan Rupiah desain baru tahun emisi (TE)
2016. Ia mengajak setiap insan di tanah air untuk mencintai Rupiah dengan
cara-cara yang nyata. (www.setkab.go.id)
Tentu ada banyak cara lain untuk mencintai Rupiah. Seperti menabung
dalam Rupiah, bertransaksi dalam Rupiah, dan tentu saja tidak memalsukannya, sehingga
kesedihan yang dialami Nenek Penjual Sayur tidak lagi dijumpai. Sebab pada
dasarnya, kecintaan kita terhadap Rupiah merupakan salah satu wujud kecintaan
kedaulatan dan kemandirian bangsa Indonesia. []
Cintai Rupiah |
raba aku mas.. raba... *eh*
BalasHapusdiraba manjahhh...
Hapushahahhaa