April.
Saya selalu
mengenang bulan ini dengan baik. Terlebih lagi saat ini, tahun 2019. Berarti sudah
enam tahun keputusan itu saya ambil. Keputusan yang akhirnya saya pahami bukan
sebuah kekeliruan atau pun penyesalan.
April.
Tepat diujung
bulan.
Enam tahun lalu.
Saya
mematikan komputer dengan lebih bahagia. Layar ini yang telah tiga tahun penuh
saya tatap dari pagi hingga sore, bahkan kerap menjelang malam. Layar ini yang
menampilkan beragam transaksi yang membuat kening berkedut-kedut.
Saat itu, tepat
pukul 16.00 WIB. Tanda akhir waktu pelayanan usai. Maka usai sudah perjalanan
saya sebagai frontliner di sebuah
bank internasional ternama. Tempat yang
dulu saya idam-idamkan.
Saya memilih
resign dari tempat yang menurut saya memberikan kebaikan keuangan. Hal yang kemudian saya pahami sebuah
kekeliruan. Pikiran saya berkecamuk. Entah dengan banyak hal. Luka, penghargaan,
hingga penolakan perasaan.
Rumit.
Saya bekerja
di sebuah bank asing dengan jaringan dunia. Itu saya lakoni sejak 2010 silam. Bekerja
sebagai frontliner membuat saya
selalu menemui orang-orang baru dan menawarkan produk-produk baru. Memiliki penghasilan
lebih dari cukup bagi saya yang saat itu masih sendiri. Penghasilan itu di atas
rata-rata dibandingkan mereka abdi negara.
Saya lakoni
pekerjaan ini dengan sebaik mungkin. Senyum cerah sepanjang hari menjelang
senja. Bergelut dengan miliaran rupiah. Berkenalan dengan banyak nasabah. Menghadiri
beragam acara. Bergelut dengan banyak pelatihan. Hingga akhirnya, titik itu
datang. Jenuh. Hilang rasa. Dan terutama, ada yang mengganjal di sudut hati. Apakah ini benar sesuai jalanNya?
saat menghitung uang nasabah |
Keganjilan itu
bermula di tahun 2012. Dua tahun sejak pertama saya bergelut di dalam pekerjaan
ini.
Ada banyak
kejadian yang membuat saya ingin segera pergi. Ini semua untuk kebaikan
pikiran, jiwa, dan batin. Butuh setahun untuk memutuskan ini semua. Menyimpan
segala sesak seorang diri. Berkusut wajah. Merutuk segala keadaan. Menyimpan
seorang diri hingga galau bertubi-tubi.
Untuk segala
hal, saya termasuk tertutup. Enggan bercerita. Sebab mendengar komentar orang
lain adalah keengganan. Nasihat yang menurut saya terdengar basa-basi. Hingga kemudian
rapuh menghinggapi.
Ariel, abang
kandung saya, adalah orang pertama yang saya ceritakan atas kegalauan pekerjaan
ini. Saat itu, saya enggan bercerita pada Ibu. Ia terlalu lelah dengan segala
kehidupannya. Di usia senjanya, rasanya tidak baik menambah beban pikiran Ibu.
Namun, hati Ibu
melebih tinggi langit. Ia seakan mahfum menembus perasaan. Hingga di suatu
petang, saya memberanikan diri untuk bercerita penuh.
“Ibu nggak tahu
harus bagaimana, tetapi kalau memang ingin resign,
semoga Allah memberi yang lebih baik,” ujarnya.
Seketika ada
kenyamanan. Ada rasa yang lebih plong. Bukankah
ridha Allah terletak pada ridha orang tua?
Dan keinginan
untuk pergi semakin sempurna. Tekad semakin bulat, walau terkadang ketakutan
menghujam kuat. Ketakutan yang menurut saya sangat logis; Apa setelah ini akan
ada pekerjaan yang siap menampung? Kalau tidak ada bagaimana? Ada ribuan
pengangguran di luar sana?
Aduh!
Maka, di saat
terjepit saya langsung terbesit. Saya harus menyiapkan diri!
Segera saya membuka
tabungan cadangan di Bank Muamalat Indonesia. Bank ini kupilih sebab jauh dari
mudharat dibandingkan bank konvesional lainnya. Ia juga bank pertama murni
syariah di Indonesia. Bahkan, pengelolaan dananya diawasi langsung Dewan Pengawas
Syariah dengan prinsip-prinsip ekonomi syariah.
Karena waktu
yang padat dan jam istirahat yang sedikit, saya harus mencuri-curi waktu saat
membuka rekening di bank ini. Beruntung salah seorang karyawan di Bank Muamalat
Indonesia adalah sohib saya. Kami berkenalan saat ada pelatihan dari Bank Indonesia
di Pulau Samosir beberapa bulan sebelumnya. Dari dialah, saya tahu produk-produk
Bank Muamalat, seperti tabungan haji, tabungan valas, tabungan perencanaan,
hingga deposito yang semuanya berprinsip syariah.
Setiap tanggal
gaji tiba, saya sisihkan separuhnya ke Bank Muamalat Indonesia. Membeli beberapa
barang investasi. Saat itu, pikiran saya seakan berjalan lebih cepat. Di saat
resign, akan ada masa pengangguran. Tidak mungkin langsung mendapatkan
pekerjaan. Akan ada masa tidak menghasilkan apa-apa selama berbulan-bulan. Maka,
saat itulah tabungan ini berfungsi untuk sekadar mengisi bensin sepeda motor,
membeli pulsa, atau mencicipi kopi di warung terdekat.
Teman dekat di
kantor, saya kabari niatan ini. Mereka kaget. tetapi, akhirnya mengerti dengan
pilihan ini. Merasa cukup amunisi, kabar ini saya sampaikan ke manajemen
kantor. Dapat ditebak, mereka kaget dan seakan tidak rela. Tapi niatan ini
telah bulat sempurna.
Hal sama juga
saya sampaikan saat briefing pagi.
Semua merunduk duka. Waktu tinggal sebulan lagi. Dan saat itu, saya membereskan
segala berkas-berkas.
Sedih menyergap-nyergap.
Dan cerita
lengkap menjadi banker bank konvesional selama tiga tahun itu tamat tepat pukul
16.00 WIB. Di saat saya menutup counter layanan. Di sanalah segala kisah usai. Walau
tidak tahu apa yang harus saya lakukan selepas ini, tetapi tangan saya mengacung
tinggi.
Bebas!
***
Saya seakan
lahir kembali keesokan harinya. Tanpa kerja mengikat. Pagi terasa lebih santai,
tanpa harus buru-buru. Waktu saya habiskan dengan berkeliling kota. Hal yang
telah lama tidak saya lakukan. Melihat buku-buku baru di toko buku. Hingga kembali
menjalani hobi yang lama ditinggalkan, menulis.
Jujur, saya suka
menulis sejak masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar. Bahkan, mengidamkan
menjadi pekerjaan yang menghasilkan. Maka, selepas itu saya kembali mengejar
passion. Menulis. Aktif mengelola blog. Menjadi penulis lepas di beberapa
media. Hingga menyelesaikan naskah untuk buku sendiri yang merangkum cerita
saat menjadi frontliner dulu.
Saya berusaha
menciptakan dunia sedinamis mungkin. Mendengar lagu-lagu penyemangat. Tidak
membiasakan diri bangun telat, walau waktu begitu bebas. Menulis hingga kalap
dan membiasakan diri tanpa penghasilan tetap.
Ternyata dunia
tidak seburuk yang dipikirkan. Dan itu janji Allah bagi mereka yang berani
pergi dari hal yang meresahkan. Janji bagi mereka yang ingin hijrah ke arah
lebih baik.
Selepas resign,
Allah seakan membuka langkah lebih jauh. Saya mendapatkan tawaran ini itu. Berjalan-jalan
ke banyak daerah, seperti Danau Toba, Bandung, hingga Bali yang dulunya sangat
susah saya jalani karena kesibukan kerja. Allah seakan membalas waktu sibuk
dulu dengan balasan yang sangat baik serta menggembirakan.
Saya mulai
mencoba menjalani salat dhuha, ber’itikaf Ramadan di masjid, salat tepat waktu
yang dulunya sulit saya jalani sebab kepadatan kerja.
Bukankah Allah semakin dekat, di saat kita
mengingatnya dengan lebih dekat?
Dan itu Allah
tunjukkan berbulan berikutnya. Di saat tabungan saya di Bank Muamalat Indonesia
menipis. Saya mulai galau dan resah. Terlebih lagi saya sudah delapan bulan
menjadi pengangguran. Tiba-tiba saja, sebuah telepon berdering di saat malam. Saya
mendapatkan tawaran pekerjaan sebagai penulis content writer. Mengelola majalah dan menjadi editor di sebuah
perguruan tinggi ternama di Aceh.
Saat mendengar
itu, saya merasa Allah begitu baik. Seakan tidak percaya. Bukankah itu yang saya inginkan sejak dulu? Ia seakan menjawab
setiap doa dan keinginan saya. Ia seakan menuntun saya untuk bergerak ke arah
lebih baik. Menjauhkan diri dari hal-hal terlarang, serta bergerak untuk
meningkatkan diri ke arah ajaran Islam yang sempurna.
“Sesungguhnya jika engkau
meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu
dengan yang lebih baik" [HR. Ahmad]
Semangat ini
pula yang dibawa Bank Muamalat Indonesia lewat #AyoHijrah. Bank pertama yang
saya datangi saat ingin resign dulu. Saya mencoba hijrah menuju pekerjaan dan
pengelolaan uang lebih berkah lewat perbankan syariah.
Semoga Allah
meridhai langkah ini.
Amin…
Wah, sama dong kak. Aku juga mantan banker hehehe
BalasHapus