#e39608 #AyoHijrah Resign Jadi Banker Beralih ke Bank Muamalat Indonesia - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

#AyoHijrah Resign Jadi Banker Beralih ke Bank Muamalat Indonesia



April.
Saya selalu mengenang bulan ini dengan baik. Terlebih lagi saat ini, tahun 2019. Berarti sudah enam tahun keputusan itu saya ambil. Keputusan yang akhirnya saya pahami bukan sebuah kekeliruan atau pun penyesalan.
April.
Tepat diujung bulan.
Enam tahun lalu.

Saya mematikan komputer dengan lebih bahagia. Layar ini yang telah tiga tahun penuh saya tatap dari pagi hingga sore, bahkan kerap menjelang malam. Layar ini yang menampilkan beragam transaksi yang membuat kening berkedut-kedut.
Saat itu, tepat pukul 16.00 WIB. Tanda akhir waktu pelayanan usai. Maka usai sudah perjalanan saya sebagai frontliner di sebuah bank internasional ternama. Tempat yang dulu saya idam-idamkan.

Saya memilih resign dari tempat yang menurut saya memberikan kebaikan keuangan. Hal yang kemudian saya pahami sebuah kekeliruan. Pikiran saya berkecamuk. Entah dengan banyak hal. Luka, penghargaan, hingga penolakan perasaan.
Rumit.
Saya bekerja di sebuah bank asing dengan jaringan dunia. Itu saya lakoni sejak 2010 silam. Bekerja sebagai frontliner membuat saya selalu menemui orang-orang baru dan menawarkan produk-produk baru. Memiliki penghasilan lebih dari cukup bagi saya yang saat itu masih sendiri. Penghasilan itu di atas rata-rata dibandingkan mereka abdi negara.

Saya lakoni pekerjaan ini dengan sebaik mungkin. Senyum cerah sepanjang hari menjelang senja. Bergelut dengan miliaran rupiah. Berkenalan dengan banyak nasabah. Menghadiri beragam acara. Bergelut dengan banyak pelatihan. Hingga akhirnya, titik itu datang. Jenuh. Hilang rasa. Dan terutama, ada yang mengganjal di sudut hati. Apakah ini benar sesuai jalanNya?

saat menghitung uang nasabah


Keganjilan itu bermula di tahun 2012. Dua tahun sejak pertama saya bergelut di dalam pekerjaan ini.

Ada banyak kejadian yang membuat saya ingin segera pergi. Ini semua untuk kebaikan pikiran, jiwa, dan batin. Butuh setahun untuk memutuskan ini semua. Menyimpan segala sesak seorang diri. Berkusut wajah. Merutuk segala keadaan. Menyimpan seorang diri hingga galau bertubi-tubi.
Untuk segala hal, saya termasuk tertutup. Enggan bercerita. Sebab mendengar komentar orang lain adalah keengganan. Nasihat yang menurut saya terdengar basa-basi. Hingga kemudian rapuh menghinggapi.

Ariel, abang kandung saya, adalah orang pertama yang saya ceritakan atas kegalauan pekerjaan ini. Saat itu, saya enggan bercerita pada Ibu. Ia terlalu lelah dengan segala kehidupannya. Di usia senjanya, rasanya tidak baik menambah beban pikiran Ibu.
Namun, hati Ibu melebih tinggi langit. Ia seakan mahfum menembus perasaan. Hingga di suatu petang, saya memberanikan diri untuk bercerita penuh.
“Ibu nggak tahu harus bagaimana, tetapi kalau memang ingin resign, semoga Allah memberi yang lebih baik,” ujarnya.
Seketika ada kenyamanan. Ada rasa yang lebih plong. Bukankah ridha Allah terletak pada ridha orang tua?

Dan keinginan untuk pergi semakin sempurna. Tekad semakin bulat, walau terkadang ketakutan menghujam kuat. Ketakutan yang menurut saya sangat logis; Apa setelah ini akan ada pekerjaan yang siap menampung? Kalau tidak ada bagaimana? Ada ribuan pengangguran di luar sana?
Aduh!



Maka, di saat terjepit saya langsung terbesit. Saya harus menyiapkan diri!
Segera saya membuka tabungan cadangan di Bank Muamalat Indonesia. Bank ini kupilih sebab jauh dari mudharat dibandingkan bank konvesional lainnya. Ia juga bank pertama murni syariah di Indonesia. Bahkan, pengelolaan dananya diawasi langsung Dewan Pengawas Syariah dengan prinsip-prinsip ekonomi syariah.

Karena waktu yang padat dan jam istirahat yang sedikit, saya harus mencuri-curi waktu saat membuka rekening di bank ini. Beruntung salah seorang karyawan di Bank Muamalat Indonesia adalah sohib saya. Kami berkenalan saat ada pelatihan dari Bank Indonesia di Pulau Samosir beberapa bulan sebelumnya. Dari dialah, saya tahu produk-produk Bank Muamalat, seperti tabungan haji, tabungan valas, tabungan perencanaan, hingga deposito yang semuanya berprinsip syariah.



Setiap tanggal gaji tiba, saya sisihkan separuhnya ke Bank Muamalat Indonesia. Membeli beberapa barang investasi. Saat itu, pikiran saya seakan berjalan lebih cepat. Di saat resign, akan ada masa pengangguran. Tidak mungkin langsung mendapatkan pekerjaan. Akan ada masa tidak menghasilkan apa-apa selama berbulan-bulan. Maka, saat itulah tabungan ini berfungsi untuk sekadar mengisi bensin sepeda motor, membeli pulsa, atau mencicipi kopi di warung terdekat.

Teman dekat di kantor, saya kabari niatan ini. Mereka kaget. tetapi, akhirnya mengerti dengan pilihan ini. Merasa cukup amunisi, kabar ini saya sampaikan ke manajemen kantor. Dapat ditebak, mereka kaget dan seakan tidak rela. Tapi niatan ini telah bulat sempurna.
Hal sama juga saya sampaikan saat briefing pagi. Semua merunduk duka. Waktu tinggal sebulan lagi. Dan saat itu, saya membereskan segala berkas-berkas.
Sedih menyergap-nyergap.

Dan cerita lengkap menjadi banker bank konvesional selama tiga tahun itu tamat tepat pukul 16.00 WIB. Di saat saya menutup counter layanan. Di sanalah segala kisah usai. Walau tidak tahu apa yang harus saya lakukan selepas ini, tetapi tangan saya mengacung tinggi.
Bebas!



***

Saya seakan lahir kembali keesokan harinya. Tanpa kerja mengikat. Pagi terasa lebih santai, tanpa harus buru-buru. Waktu saya habiskan dengan berkeliling kota. Hal yang telah lama tidak saya lakukan. Melihat buku-buku baru di toko buku. Hingga kembali menjalani hobi yang lama ditinggalkan, menulis.

Jujur, saya suka menulis sejak masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar. Bahkan, mengidamkan menjadi pekerjaan yang menghasilkan. Maka, selepas itu saya kembali mengejar passion. Menulis. Aktif mengelola blog. Menjadi penulis lepas di beberapa media. Hingga menyelesaikan naskah untuk buku sendiri yang merangkum cerita saat menjadi frontliner dulu.



Saya berusaha menciptakan dunia sedinamis mungkin. Mendengar lagu-lagu penyemangat. Tidak membiasakan diri bangun telat, walau waktu begitu bebas. Menulis hingga kalap dan membiasakan diri tanpa penghasilan tetap.
Ternyata dunia tidak seburuk yang dipikirkan. Dan itu janji Allah bagi mereka yang berani pergi dari hal yang meresahkan. Janji bagi mereka yang ingin hijrah ke arah lebih baik.

Selepas resign, Allah seakan membuka langkah lebih jauh. Saya mendapatkan tawaran ini itu. Berjalan-jalan ke banyak daerah, seperti Danau Toba, Bandung, hingga Bali yang dulunya sangat susah saya jalani karena kesibukan kerja. Allah seakan membalas waktu sibuk dulu dengan balasan yang sangat baik serta menggembirakan.
Saya mulai mencoba menjalani salat dhuha, ber’itikaf Ramadan di masjid, salat tepat waktu yang dulunya sulit saya jalani sebab kepadatan kerja.

Bukankah Allah semakin dekat, di saat kita mengingatnya dengan lebih dekat?
Dan itu Allah tunjukkan berbulan berikutnya. Di saat tabungan saya di Bank Muamalat Indonesia menipis. Saya mulai galau dan resah. Terlebih lagi saya sudah delapan bulan menjadi pengangguran. Tiba-tiba saja, sebuah telepon berdering di saat malam. Saya mendapatkan tawaran pekerjaan sebagai penulis content writer. Mengelola majalah dan menjadi editor di sebuah perguruan tinggi ternama di Aceh.

Saat mendengar itu, saya merasa Allah begitu baik. Seakan tidak percaya. Bukankah itu yang saya inginkan sejak dulu? Ia seakan menjawab setiap doa dan keinginan saya. Ia seakan menuntun saya untuk bergerak ke arah lebih baik. Menjauhkan diri dari hal-hal terlarang, serta bergerak untuk meningkatkan diri ke arah ajaran Islam yang sempurna.

“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik" [HR. Ahmad]

Semangat ini pula yang dibawa Bank Muamalat Indonesia lewat #AyoHijrah. Bank pertama yang saya datangi saat ingin resign dulu. Saya mencoba hijrah menuju pekerjaan dan pengelolaan uang lebih berkah lewat perbankan syariah.
Semoga Allah meridhai langkah ini.
Amin…



About Ferhat Muchtar

Ferhat Muchtar
Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker. Teller Sampai Teler.
Suka makan kuaci. Tukang koleksi buku.
email: ferhattferhat@gmail.com
Tulisan yang mungkin kamu suka × +

1 komentar: