#e39608 Ketika Presiden Datang ke Kampung Kami - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

Ketika Presiden Datang ke Kampung Kami


Hal yang paling teringat saat menunggu kedatangan presiden Megawati. Saat itu aku masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Konflik masih mencekam kuat. Sehari sebelum kedatangannya suasana berubah menyeramkan terlebih di hari ketibaanya. Hal kerap terjadi.


Add caption
Dulu, ketika kecil aku sering berada dalam barisan menunggu Presiden tiba. Pernah sekali saat siang, aku menunggu di tepian jalan raya. Soeharto akan datang saat itu. Ratusan warga bercampur dengan anak-anak dan orangtua. Jalanan dikosongkan menunggu rombongan Soeharto. Seorang tetanggaku, Kak Nong juga berdiri berharap bisa melihat Soeharto kala itu. Kami sibuk mencari posisi terbaik agar bisa melihat Presiden kedua Indonesia itu.

Kang Nong, memilih memisah dari kerumunan. Ia berdiri di tengah median jalan, sedangkan aku dan warga lain di trotoar jalan. Maka beberapa menit kemudian, sirine meraung kuat. Mobil berbodi licin memacu dalam kecepatan tinggi.
Blasssssttt... cepat!

Aku tak tahu di mobil mana Soeharto.
Yang lain juga menebak-nebak. Mobil keberapa Soeharto dan Ibu Tien.Maka Kang Nong penjadi pahlawan cerita kami siang itu.
“Lha, nggak lihat? Mobilnya nomor dua, tadi kelihatan rambut putihnya,”

Sepanjang pulang Kang Nong bercerita tentang keberuntunganya melihat sejumput rambut Presiden dari balik remang kaca gelap. Walau dalam kecepatan tinggi iamampu melihat sejumput rambut itu. Entah iya pun itu benar-benar Soeharto. Atau malah sebaliknya, tim rombongannya. Tapi yang pasti penantian lamaku berakhir gagal. Soeharto tak kelihatan.

Hal yang paling teringat saat menunggu kedatangan presiden Megawati. Saat itu aku masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Konflik masih mencekam kuat. Sehari sebelum kedatangannya suasana berubah menyeramkan terlebih di hari ketibaanya. Hal kerap terjadi.

Teman-teman sekelas memilih meliburkan diri. Angkutan umum mogok, lebih tepat takut untuk beroperasi. Teman-teman sekelas yang tinggal jauh memilih urung untuk ke sekolah. Yang bersemangat sekolah harus menumpangi mobil reo berbadan besar milik TNI. Umumnya takut jika terjadi penyerangan dan menjadi korban.

Dan setiba di sekolah, kami harus berkumpul di Masjid Raya Baiturrahman yang jaraknya beberapa kilometer dari sekolah. Disana Megawati akan berpidato di teras utama menghadap halaman luas di depannya.

Bersama teman-teman aku menumpangi angkutan umum yang disewa khusus oleh sekolah. Jalanan lengang, sepi. Banyak yang mengurung diri di dalam rumah. Ketakutan. Takut dengan hal-hal buruk terjadi. Polisi berseliweran bersenjata lengkap. Mungkin saat itu pantas, sebab suasana konflik mencekam.

Di Masjid kami diberi bendera merah putih yang direkat pada sebilah bambu kecil. Dan melambai-lambai ketika Megawati berbicara di podium utama. Itu kali pertama aku melihat Megawati dari kerumunan anak-anak sekolah yang dipaksa datang. Badannya besar cukup berisi, tapi menurutku wajar sebab ia ibu-ibu. Sama seperti ibuku yang juga berbadan besar. Tapi teman-teman sebelah berujar beda.
“Iya pake rompi anti peluru!”

Hahaha... Entahlah aku nggak ngerti. Anak sekolah kadang-kadang omongannya berlebihan menembus langit. Tapi yang pasti aku melihat beberapa sniper di menara mesjid yang berada di sudut halaman. Pakaian mereka hitam tanpa kontras dari kejauhan. Mereka siaga dengan senapan. Ternyata bukan warga kota saja yang takut, mungkin Presiden juga merasakan hal sama.

Hingga pulang kemudian, keadaan semakin susah. Ratusan anak-anak sekolah terpaksa jalan kaki menuju pulang. Handphone belum zamannya. Kami berbondong-bondong melintasi jalanan yang sepi. Kala itu konflik. Masih mencekam.

Dan kini keadaan jauh sekali lebih baik. Tak ada lagi mogok massal. Tidak ada ketakutan mendalam. Hilang jam malam. Redup kontak senjata. Orang berdamai tak lagi bertikai. Jalanan tak ada lagi drum-drum bekas penghalang sweping. Mereka yang dulu bertikai kini bergenggaman. Malah menjadi penguasa yang makin terikat dengan keterikatan. Aman ada sejak sewindu silam.

Hingga kemudian, SBY tiba suatu ketika. Ia datang untuk membuka resmi acara Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VI di Banda Aceh. Tapi entah mengapa hampir tiga hari ini aku melihat Banda Aceh seperti kota seram, sarang teroris, ataupun daerah rawan. Mobil-mobil polisi lalu lalang. Panser, mobil reo berbadan besar menghujam jalan-jalan kota. Makin ditambah, ribuan baju-baju loreng diturunkan bersiaga di sudut-sudut kota. Bersenjata lengkap. Ku baca berita, dengar-dengar jumlahnya 2.500 personil. Waww!

Sempat mikir, apa harus seramai  gini kalau Presiden datang?! Padahal Aceh jauh sudah aman.

Seingatku pak SBY bukan kali ini saja datang ke Aceh, berulangkali sejak 2004 silam. Tapi dimataku rakyat jelata ini, kok kedatangannya kali ini terkesan too crowded. Mungkin untuk keamanan? Standar pelayanan? Atau mengatasi hal-hal buruk? Entahlah, aku nggak ngerti!

Kalo pun iya, apa disaat ia datang ke propinsi lain hal sama berlaku? Ke Medan mungkin? Padang, Majalengka? Kalimantan? Ponorogo? Sulawesi? Hmmm...
Jalanan diblokir disana sini. Tadi pagi ingin menuju ke Meunasah Papeun melewati lorong kecil di sebelah Hotel Berbintang. Eh rupanya jalurnya ditutup. Dialihkan ke lorong sempit bagian barat desa. Aku menuju kesana, mendekati ujung lorong. Eh diblokir juga!! Padahal hampir menuju jalan besar. Polisi langsung mengalihkan. Balik arah. Sebagian orang ngedumel. Hari jumat, pagi hari, semua sibuk untuk cepat-cepat.

Aku balik arah. Oh Tuhan! Di belakang kami kerumunan sepeda motor, telah berdiri mobil besar yang juga terjebak di rute sama. Makin repot mobilnya nggak mampu untuk berbalik arah. Bodi kegedean dan jalanan yang sempit. Maka terjebaklah kami selayak kecebong dalam baskom. Berputar-putar kesana kemari.

Hal sama juga aku dengar dari teman-teman mahasiswa, kemarin kampus harus dikosongkan. Jam 14:00 tidak boleh ada aktifitas lagi. Sebab Presiden malamnya akan kesana. Temanku yang masih mahasiswa ngedumel pasrah, “padahal lagi kerjar target untuk TA bang,”

Shalat jumat di Masjid Raya Baiturrahman juga pake detector untuk jamaah yang masuk ke pekarangan masjid. Sebab Presiden jumatan disana. Belum lagi dua hari lalu, ada barisan panser yang berbaris di sudut jalan. Seorang kakek berdiri di median jalan sigap memberi hormat. Badannya tegap dengan tangan  merapat ke kening. Beberapa pelintas jalan heran. Serombongan TNI juga heran. Aku melihatnya juga heran. Kenapa dengan si Kakek?

Entahlah mungkin Kakek itu veteran kemerdekaan yang nasionalismenya menggebu-gebu. Tapi turut sedih jika itu kebalikan: sebuah trauma ketika masa konflik.

Ketika aku menulis ini di sebuah warung kopi. Beberapa panser baru saja melintas cepat. Tak ada yang salah menurutku dengan pengamanan Presiden. Bahkan penting sekali malah. Berbahaya ika kedatangannya dimanfaatkan segerombolan orang jahat dan melukainya hingga cidera. Pengamanan? Harus!

Tapi jika berlebihan? Sampai 2.500 personil. Panser dimana-mana. Reo dimana-mana. Senjata lengkap dimana-mana. Segerombolan prajurit berkeliaran. Menyedihkan bagi mereka yang trauma.

Padahal kami disini, berusaha kuat membangun citra aman. Selayak seorang anak menunggu datangnya Ayah; menyambut dengan tulus, kalau perlu saling merangkul.  Membuang hal buruk masa lalu.
Jika sang Ayah saja (mungkin) merasa ketakutan, apa tetangga-tetangga yang lain juga merasakan hal sama? 

Semoga saja tidak.



Menjelang maghrib, 20 Sept 2013
Salam peace, love and gaulzz


About Ferhat Muchtar

Ferhat Muchtar
Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker. Teller Sampai Teler.
Suka makan kuaci. Tukang koleksi buku.
email: ferhattferhat@gmail.com
Tulisan yang mungkin kamu suka × +

8 komentar:

  1. apaaaaaa??? ferhatt.com ada tagline baru?? :o

    "Salam peace, love and gaulzz"

    (b) (b) (b) (b) (b) (b) (b) (b)

    BalasHapus
  2. Wah, segitunya ya...
    Waktu presiden SBY ke Jogja, sepertinya biasa aja (atau ga keliatan karena emang jogja terlalu ramai, entahlah). Mungkin memang sama-sama masih trauma, bos. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. itulah terkadang perlakuannya berbeda. padahal disini udah aman banget lho Mas..

      Hapus
  3. Eehh tp pas dia smpe,rame lho y rela nunggu hanya u bye..bye..sm pak SBY,n papa SBY buka jendela mobil segede2nya...(Aq trmsuk dlm rmbongn y nunggu papa SBY :D)

    BalasHapus
  4. aku juga merasakannya bang ferhat. apalagi pak presiden tidur di hotel tepat di belakang rumahku. wah, aku bisa lihat helikopter turun tepat di lapangan depan rumah. dan merasa seperti orang penting saja yang di depan rumahku dijaga 3 hari tiga malam oleh aparat keamanan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hhahhahahaaa.... serasa kayak punya body guard ya Za..
      jadi kalo presidennya naik helikopter, kenapa jalan ditutup ya? [-(

      Hapus