#e39608 Belajar Budaya Aceh dari Rumah Kakek - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

Belajar Budaya Aceh dari Rumah Kakek



Setiap kali pulang ke Piyeung, Aceh Besar rumah kakek adalah tempat yang paling saya senangi. Rumah berbentuk panggung khas Aceh itu besar sekali. Ada banyak kayu penyangga yang menompang rumah panggung yang tingginya berkisar 3-4 meter itu. Arsitekturnya pun Aceh sekali. Ada seuramoe likeu, seuramoe teungoh, dan seuramoe likot yang membagi rumah ini menjadi tiga bagian.
 Bukan hanya ayah yang dilahirkan di sini, almarhum kakek juga lahir tumbuh di rumah ini. Rangkaian panjang dua generasi ini membuat usia rumah panggung ditaksir melebihi seratus tahun. Walau berusia lanjut, kayu-kayu penyusun rumah masih kuat. Ukirannya pun masih terlihat nyata.
Dulu, ketika kakek dan nenek masih ada, saya beberapa kali menginap di sini saat liburan tiba. Terlebih lagi ketika musim rambutan dan langsat berbuah. Ramai sekali cucunya menginap. Kakek dan nenek memiliki perkebunan rambutan yang lumayan luas. Paling dekat di belakang rumah. Hanya berdiri di jendela dapur, akan terlihat rambutan ranum yang berbuah lebat.
Hasil panen rambutan ini dikumpulkan di dapur rumah kakek yang tersusun dari bilah-bilah papan. Di satu bagian, lantai dapur tersusun dari bilah bambu. Rongganya lebih lebar. Kata nenek, itu sengaja dibentuk demikian agar memudahkan ia menumpahkan air ketika memasak dan mencuci piring. Sesekali dari rongga itu, nenek menaburkan umpan. Seketika di bawah rumah, puluhan ayam saling berrebutan.
Biasanya kakek dan nenek menerima tamu di dapur. Ini mungkin karena ruangannya lebih luas dan terasa lebih akrab. Ketika lebaran, ruangan ini juga paling ramai dipenuhi sanak famili.
Layaknya rumah panggung Aceh lainnya, kamar mandi kakek nenek terpisah dari rumah induk. Harus menuruni tangga. Letaknya berdekatan dengan sumur. Pernah sekali, saat menginap masa kecil dulu, saya ketakutan menuju kamar mandi ketika malam tiba. Suasana di luar gelap sekali. Belum lagi banyak pepohonan besar tumbuh tak beraturan. Makin seram ketika suara binatang saling bersahutan.
Nenek seakan tahu ketakutan saya. Ia lantas membuka guha yang berada di ruang tengah. Guha merupakan papan lantai yang bisa dibongkar pasang. Ada lubang kecil untuk memasukkan jari saat membukanya. Dari guha-lah, aktifitas kamar mandi tersalurkan. Saya tersenyum ketika menyadari ini. Padahal biasanya, saya hanya melihat nenek membuang sirih yang dikunyahnya dari lantai guha.


Suasana inilah yang membuat saya rindu dengan rumah kakek di Piyeung. Sekarang tak ada lagi keriuhan itu. Suara kakek nenek tak terdengar lagi. Semenjak mereka meninggal beberapa tahun lalu, rumah menjadi sepi. Saat lebaran pun rumah panggung besar ini hanya menjadi pelipur kenangan.

Rumah Aceh Semakin Hilang
Rumah kakek terlalu memikat. Bukan hanya cerita di dalamnya, tetapi juga bentuknya. Pernah sekali terlintas ide untuk membongkar rumah itu dan membawanya ke Banda Aceh. Tetapi niat itu urung. Sebab akan mematahkan segala memori yang ada di dalamnya.
Setiap lebaran, rumah ini menjadi lokasi foto wajib. Semua berjejer dengan background rumah kakek. Semua cucu berlomba-lomba. Berfoto ini bukan sekadar mengikat memori lama, tetapi juga wujud kegirangan karena dapat berfoto di depan rumah Aceh yang semakin sulit ditemukan sekarang ini. Maka, ketika peluang itu ada semua ingin mengabadikannya.
Menemukan rumah Aceh saat ini terasa sukar sekali. Bahkan, di Desa Piyeung pun rumah panggung ini hanya tersisa hitungan jari. Warga lebih suka membangun rumah layaknya di kota. Selain lebih megah, rumah terkesan lebih efektif. Mereka tak perlu turun naik untuk beraktifitas. Padahal secara arsitektur, rumah Aceh memiliki nilai estetika dan filososfi sendiri.


Dari rumah Aceh, nasehat kehidupan seperti diajarkan tanpa guru. Dari sudut-sudut rumahnya mengandung makna tersirat. Inilah yang kakek ajarkan dulu. Kakek pernah berujar, seuramoe teungoh merupakan area khusus pemilik rumah. Di sini ada dua ruangan yang menjadi tempat istirahat kakek dan nenek. Di ruangan ini pula kami, para cucunya tidur ketika liburan tiba. Tidak semua orang diperkenankan masuk ke seuramoe ini sebab letaknya sedikit private. Bahkan, posisinya lebih tinggi dibandingkan seuramoe lainnya.
Para tamu kata kakek, lebih sering dilayani di seuramoe likeu dan likot. Bagi kerabat dekat, seuramoe likot menjadi tempat yang kerap dipilih. Seuramoe ini lebih intim. Suasana keakrabannya lebih terasa. Terkadang, nenek tak sungkan menghidang makanan dari dapur yang letaknya hanya selemparan batu. Pintu masuk rumah juga dirancang lebih rendah. Ini sebagai bentuk penghormatan tamu kepada pemilik rumah. Pesan sama yang selalu kakek ingatkan kepada saya agar selalu menghormati orang lain.


Nilai-nilai budaya ini yang semakin sulit ditemukan saat ini. Jangankan di desa, di kota pun menemukan rumah Aceh adalah kemustahilan. Entah sejak kapan, bangunan berkubah menjadi arsitektur yang wajib diterapkan. Banyak bangunan publik yang mengedepankan kubah, dan menganulir konsep rumah Aceh. Berkubah seakan menjadi keharusan setiap kali membangun sebuah rancangan, terutama bangunan publik. Padahal, menurut sejarah bangunan berkubah bukanlah akar budaya Aceh. Ia merupakan kembangan arsitektur dari bangsa Persia, sebagian ada yang menyebutkan berasal dari Eropa. Wilayah yang sangat jauh dari tanah Aceh.
Maka saya takjub, ketika suatu senja beberapa tahun lalu, seorang teman mengajak berkumpul. Ia mengajak berjumpa di salah satu warung kopi. Letaknya sedikit jauh dari jalan utama. Karena ini kali pertama saya ke sana, ia dengan sabar menuntun arah jalan dari handphone.
Setiba di sana, saya berdecak. Wajah kakek seakan hadir. Sebuah bangunan gelap berdiri tegak. Kayu penyangga tertancap di sela-sela kursi duduk. Di rongga rumah, puluhan orang bercengkerama. Kopi hitam diteguk perlahan. Suara terdengar riuh. Warung kopi ini mengingatkan saya dengan rumah kakek di Piyeung. Bentuknya serupa walau terlihat lebih kecil. Beberapa ukiran rumit juga terlihat di dinding papan rumah. Persis seperti rumah kakek.
Walau terlihat lebih kekinian, tetapi bangunan ini seakan meredam rindu rumah kakek di Piyeung. Konsep yang diusung pun terlihat unik, warung kopi dan rumah Aceh. Dua hal yang sebenarnya berbeda. Tetapi penggabungan inilah yang akhirnya secara perlahan mengajarkan ke kaum milienial−penikmat kopi terbanyak−bagaimana bentuk dan nilai-nilai dari rumah Aceh. Hal yang mungkin tidak pernah mereka jumpai dan rasakan lagi di luar sana, seperti ajaran kakek yang ia sampaikan belasan tahun lalu. []
.


*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Budaya Aceh di Mata Milenial


About Ferhat Muchtar

Ferhat Muchtar
Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker. Teller Sampai Teler.
Suka makan kuaci. Tukang koleksi buku.
email: ferhattferhat@gmail.com
Tulisan yang mungkin kamu suka × +

1 komentar:

  1. Pengenlah ke rumah Kakek bg Ferhat, di tempat kami nggak ada lagi rumah Aceh seperti itu.

    BalasHapus