#e39608 Konservasi Alam untuk Kehidupan Lebih Baik - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

Konservasi Alam untuk Kehidupan Lebih Baik


Awal tahun ini, kali pertama saya ke Gayo Lues, sebuah kabupaten di Aceh yang berada di ceruk pegunungan. Pemandangan indah sepanjang perjalanan membuat saya begitu takjub dan kagum. Pepohonan padat, udara segar dan  dingin, serta beragam hayati tumbuh liar di celah-celah perbukitan. Sesekali terlihat air tanah tumpah di sela-sela bebatuan. Walau sedikit mual, bagi saya perjalanan ini sungguh menyenangkan. Terlebih lagi saat saya menepi di Ise-Ise sambil menikmati secangkir kopi di tepian tebing. Dari atas sana, saya dapat melihat hamparan luas perbukitan hijau. Di beberapa pucuk pohon, kabut menggantung berarak-arak.

Suasana serupa pun saya temui saat menuju Desa Blangnangka, Kecamatan Blang Jerango. Hamparan perbukitan terlihat lebih jelas. Kali ini lebih indah sebab berdampingan dengan persawahan yang mulai menguning. Sesekali terlihat warga menjemur biji kopi di halaman rumah, salah satu komoditi andalan kabupaten ini. Suasana yang menenangkan ini membuat saya ingin berleyeh-leyeh lebih lama saat tiba di Desa Blangnangka. Terlebih lagi, suasana pagi itu sangat bersahabat. Seorang penduduk lokal yang duduk bersebelahan dengan saya, Amir, mengatakan jika hamparan perbukitan itu merupakan bagian dari Gunung Leuser.
“Itu anak Gunung Leuser,” ujarnya.
Seketika saya merasa excited, “Leuser?! Puncaknya yang mana?”
“Nggak kelihatan, gunungnya berundak-undak. Di sana ada pintu masuknya. Menuju ke puncaknya harus mendaki 13 hari,” jawab Amir panjang lebar.

Saya baru tahu, ternyata Kecamatan Blang Jerango merupakan salah satu jalur pendakian menuju Gunung Leuser. Dari sini membutuhkan waktu beberapa hari untuk menuju puncaknya. Selain dari Kecamatan Blang Jerango, menuju puncak Gunung Leuser juga dapat ditempuh melalui jalur Agusan, Gayo Lues. Jalur ini terbilang menantang sebab harus menyeberangi banyak sungai. Selain itu, dari Meukek, Aceh Barat Daya, juga bisa ditempuh dengan waktu lebih lama 12 hari.

Saya pertama kali mendengar Gunung Leuser saat duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar. Saat itu pelajaran IPA, guru kelas berulang-ulang mengatakan Leuser adalah paru-paru dunia selain hutan lebat di Brasil. Dari Leuser, udara segar dunia dihasilkan sehingga memberi kehidupan lebih baik. Terlebih lagi luasnya mencapai 1.094.692 hektar yang terbentang hingga ke Sumatera Utara. Saat mendengar itu, ada rasa bangga sebab kehidupan dunia tergantung dari denyut Leuser.

Namun, saat ini keadaan perlahan berubah. Keindahan Leuser seakan meredup seiring kerusakan alam yang semakin menjadi-jadi. Amir bercerita udara di Gayo Lues saat ini tidak lagi sama dibandingkan saat ia muda.
“Sekarang cuaca nggak terlalu dingin lagi,” ujarnya.
Amir tidak tahu kenapa ini bisa terjadi. Tetapi ia menduga penebangan pohon yang semakin menjadi-jadi di belantara Leuser menjadi salah satu penyebabnya. Mendengar itu saya sempat mengernyitkan dahi. Sebab selama perjalanan menuju Gayo Lues saya masih melihat padatnya pepohonan.
“Pembalakan ada di dalam-dalam hutan,” sahutnya.


Suasana di Desa Blangnangka dengan pegunungan di belakangnya
Obrolan dengan Amir ini terus menghantui saya hingga tiba kembali ke Banda Aceh. Saya pun teringat dengan seminar Care Leuser yang pernah saya ikuti beberapa bulan lalu bersama teman-teman pegiat media sosial. Saat itu, dijabarkan beberapa kerusakan alam yang semakin parah di Leuser. Terutama pembalakan liar yang semakin menjadi-jadi. Tanpa disadari pembalakan liar menjadi awal dari kehancuran yang ada. Bahkan menurut data dari mongabay.co.id kawasan Leuser telah hilang sekitar 290 hektar semenjak tahun 2006 sampai 2016. Memang luas ini terbilang sedikit jika dibandingkan dengan luas keseluruhan Leuser. Namun, tidak dapat dipungkiri, luas sedikit ini akan menjadi dominan pada masanya kelak. Seperti perambahan yang terjadi di Ulu Masen yang akhirnya menjadi bencana bagi Tangse dan sekitarnya.

Pembalakan hutan secara liar di Aceh terbilang tinggi. Mungkin ini seiring dengan kebutuhan bahan baku produksi  kayu yang mencapai 200.000 kubik per tahun. Bahkan Forum Konservasi Leuser (FKL) di leuserconservation.org merilis sepanjang tahun 2016, terdapat 1.534 kasus perambahan hutan dengan perkiraan kayu yang ditebang mencapai 3.665 meter kubik. Kasus terbanyak terjadi di Aceh Tamiang yang mencapai 1.782 meter kubik.

Bisa dikatakan pembalakan liar merupakan pintu bagi kehancuran berikutnya. Ini bukan hanya berlaku di Leuser, tetapi juga bagi kawasan hutan lainnya. Dengan pembalakan liar, maka keanekaragaman hayati pun turut hancur. Keseimbangan alam akan goyah. Maka tak heran, banyak satwa liar yang akhirnya turun ke pemukiman penduduk. Konflik antara manusia dan satwa pun tidak bisa dielakkan seperti yang terjadi di Aceh Jaya. Selain itu, dapat juga mengakibatkan turunnya sumber daya air sebab pohon sebagai penyerap telah ditebang sehingga turunnya kualitas air. Ditebangnya pohon juga dapat mengundang banjir. Saya teringat dengan banjir bandang tahun 2005 di daerah wisata Bahorok-Bukit Lawang, kawasan Leuser, yang mengakibatkan 129 korban tewas. Salah satu pemicunya karena gundulnya pepohonan sebagai penahan dan penyerap air di kawasan tersebut.

Saat ini banyak kawasan Leuser yang telah berubah fungsi. Sebagian diubah menjadi areal pertanian, terutama di sekitar aliran Sungai Alas. Bahkan ditaksir ada 300 kegiatan pembangunan yang berlangsung di kawasan ekosistem Leuser. Kondisi ini semakin diperparah dengan banyaknya ditemui alat perangkap untuk berburu satwa. Tentu kondisi ini berbeda jauh dibandingkan saat Aceh didera konflik berkepanjangan beberapa tahun lalu. Saat itu, kondisi Leuser jauh lebih tentram. Pembalakan liar nyaris tidak ada. Satwa hidup lebih tenang sebab sedikit−bahkan nyaris tidak ada−aktifitas yang berlangsung di sana. Hal sama juga berlaku di beberapa hutan dan ekosistem alam lainnya di Aceh. Tetapi, setelah perdamaian di Aceh, keadaan semakin berubah. Perambahan dan perusakan semakin masif. 


Pentingnya Konservasi Alam

Terkadang saya berpikir, bagaimana jadinya alam Aceh beberapa tahun ke depan. Bukan hanya Leuser, tetapi juga pegunungan di sepanjang barat selatan atau pesisir timur Aceh yang saat ini semakin memilukan. Tak tutup kemungkinan bencana akan terus menghantui Aceh. Ini bisa dilihat dengan semakin rutinnya bencana yang datang setiap tahunnya; banjir bandang di Tangse, banjir di kawasan barat-selatan Aceh, cuaca yang semakin panas, kebakaran hutan, atau konflik antara satwa dan manusia yang semakin intens terjadi. Bahkan, baru-baru ini ekosistem Mata Ie, Aceh Besar, juga semakin rusak akibat maraknya penambangan batu kapur dan penebangan pohon. Selain itu, perubahan iklim juga semakin kentara. Padahal, hutan Aceh merupakan bagian penting dari solusi penanganan dampak perubahan iklim global. Hal ini mengingat kondisi hutan Aceh yang luas yang mampu menyerap karbon dalam jumlah besar.

Saat ini, luas hutan Aceh mencapai 3,5 juta hektar dan sekitar 58,96 persen daratan Aceh berstatus kawasan hutan yang terbagi dalam beberapa fungsi. Besarnya hutan Aceh memberi manfaat besar termasuk di dalamnya sebagai solusi penanganan dampak perubahan iklim global. Ini berarti keberadaan hutan Aceh menjadi salah satu harapan masyarakat global untuk kehidupan lebih baik di masa depan.

Butuh penanganan bersama agar lingkungan alam Aceh kembali baik dan lestari. Butuh konservasi alam sehingga hal-hal di atas dapat diminimalisir atau diantisipasi. Beruntung Aceh memiliki Undang-Undang Pemerintah Aceh yang salah satunya memandatkan pengelolaan dan pelestarian hutan sekaligus mengimplementasikan pembangunan berwawasan lingkungan. Bahkan, pemerintah juga telah membentuk unit pengelolaan sumberdaya hutan dari tingkat hulu ke hilir dalam kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Meski telah memiliki peraturan dan kelembagaan, hutan Aceh tetap mengalami kerusakan hingga sekarang. Ini menunjukkan bahwa melindungi hutan bukanlah pekara mudah. Butuh kerja sama semua lapisan masyarakat−termasuk kita−agar tercipta hutan yang lestari dan kondusif.


Sudah saatnya menyadarkan semua lapisan masyarakat tentang pentingnya menjaga dan melestarikan alam. Ada banyak yang dapat dilakukan mulai dari yang terkecil hingga terbesar; menanam kembali hutan-hutan yang gundul, melarang penebangan liar dan memberi hukuman maksimal bagi pelakunya, melibatkan masyarakat dalam kegiatan konservasi sehingga memberikan dampak sosial dan ekonomi, menyediakan lahan pertanian yang memadai sehingga masyarakat tidak perlu membuka lahan di hutan, dan beragam langkah lainnya. Tetapi, yang terpenting dari semua itu adalah mengedukasi masyarakat sejak dini tentang pelestarian alam dan manfaat konservasi bagi kehidupan masa depan.

Dan saya pun kembali teringat saat duduk di bangku SD dulu, guru menyampaikan peran hutan Aceh sebagai paru-paru dunia. Berulang-ulang mengatakan, “Hutan Aceh (Leuser) adalah paru-paru dunia.”
Ada rasa bangga saat itu. Maka tak salah, kebanggaan memiliki hutan yang luas dan sehat harus kembali digaungkan dan diajarkan. Sebab kebanggaan akan selurus dengan rasa memiliki, hingga bermuara untuk merawatnya. Hingga pada akhirnya, alam yang baik akan menghadirkan kehidupan yang lebih baik. Tidak akan ada lagi longsor, banjir bandang, kekeringan, kehilangan satwa dan hayati, konflik hewan di tengah pemukiman warga, hingga udara kembali bersahabat seperti harapan Amir di Gayo Lues. Semoga. []

Sumber:
- http://www.leuserlestari.com/



* Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Blog Saman Pengawal Leuser 2017

About Ferhat Muchtar

Ferhat Muchtar
Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker. Teller Sampai Teler.
Suka makan kuaci. Tukang koleksi buku.
email: ferhattferhat@gmail.com
Tulisan yang mungkin kamu suka × +

10 komentar:

  1. Mempertimbangkan masa depan generasi umat manusia, perambahan hutan tidak boleh lagi mengabaikan keseimbangan ekosistem. Tulisan yang keren Ferhat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih azhar, siapapun kita wajib untuk menjaga alam

      Hapus
  2. Semoga leuser tetap lestari ya :)

    BalasHapus
  3. Salam Leuser Lestari mas :) Terus lestarikan upaya konservasi agar Leuser tetap lestari dan terhindar dari ancaman kemusnahan yang ada. Salam kenal mas yaa :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal kembali mbak.
      Amin, semoga leuser kembali lestari dan masyarakat pun semakin sadar untuk menjaganya

      Hapus
  4. Infografisnya keren banget bg, belajar di mana? Hehehe

    Saatnya blogger melakukan gerakan konservasi lingkungan, btw indah banget pemandangannya ya.

    BalasHapus
  5. Semoga leuseur lestari dan tentunya kawasan lainnya juga. PR kita bersama untuk mengedukasi generasi muda dengan cara2 yang menarik, infografis dr blog ini juga salah satu yg menafik. ::

    BalasHapus
  6. Gambarnya karikaturnya Bagus bang Ya.....
    Apa desain sendiri itu?


    Salam | #Sikonyol

    BalasHapus