Awal tahun ini, kali pertama saya ke Gayo
Lues, sebuah kabupaten di Aceh yang berada di ceruk pegunungan. Pemandangan
indah sepanjang perjalanan membuat saya begitu takjub dan kagum. Pepohonan
padat, udara segar dan dingin, serta
beragam hayati tumbuh liar di celah-celah perbukitan. Sesekali terlihat air
tanah tumpah di sela-sela bebatuan. Walau sedikit mual, bagi saya perjalanan
ini sungguh menyenangkan. Terlebih lagi saat saya menepi di Ise-Ise sambil menikmati
secangkir kopi di tepian tebing. Dari atas sana, saya dapat melihat hamparan
luas perbukitan hijau. Di beberapa pucuk pohon, kabut menggantung berarak-arak.
Suasana serupa pun saya temui saat menuju
Desa Blangnangka, Kecamatan Blang Jerango. Hamparan perbukitan terlihat lebih
jelas. Kali ini lebih indah sebab berdampingan dengan persawahan yang mulai menguning.
Sesekali terlihat warga menjemur biji kopi di halaman rumah, salah satu
komoditi andalan kabupaten ini. Suasana yang menenangkan ini membuat saya ingin
berleyeh-leyeh lebih lama saat tiba di Desa Blangnangka. Terlebih lagi, suasana
pagi itu sangat bersahabat. Seorang penduduk lokal yang duduk bersebelahan dengan
saya, Amir, mengatakan jika hamparan perbukitan itu merupakan bagian dari
Gunung Leuser.
“Itu anak Gunung Leuser,” ujarnya.
Seketika saya merasa excited, “Leuser?! Puncaknya yang mana?”
“Nggak kelihatan, gunungnya berundak-undak.
Di sana ada pintu masuknya. Menuju ke puncaknya harus mendaki 13 hari,” jawab
Amir panjang lebar.
Saya baru tahu, ternyata Kecamatan Blang
Jerango merupakan salah satu jalur pendakian menuju Gunung Leuser. Dari sini
membutuhkan waktu beberapa hari untuk menuju puncaknya. Selain dari Kecamatan
Blang Jerango, menuju puncak Gunung Leuser juga dapat ditempuh melalui jalur
Agusan, Gayo Lues. Jalur ini terbilang menantang sebab harus menyeberangi
banyak sungai. Selain itu, dari Meukek, Aceh Barat Daya, juga bisa ditempuh dengan
waktu lebih lama 12 hari.
Saya pertama kali mendengar Gunung Leuser
saat duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar. Saat itu pelajaran IPA, guru kelas
berulang-ulang mengatakan Leuser adalah paru-paru dunia selain hutan lebat di
Brasil. Dari Leuser, udara segar dunia dihasilkan sehingga memberi kehidupan
lebih baik. Terlebih lagi luasnya mencapai 1.094.692 hektar yang terbentang
hingga ke Sumatera Utara. Saat mendengar itu, ada rasa bangga sebab kehidupan
dunia tergantung dari denyut Leuser.
Namun, saat ini keadaan perlahan berubah.
Keindahan Leuser seakan meredup seiring kerusakan alam yang semakin
menjadi-jadi. Amir bercerita udara di Gayo Lues saat ini tidak lagi sama dibandingkan
saat ia muda.
“Sekarang cuaca nggak terlalu dingin lagi,” ujarnya.
Amir tidak tahu kenapa ini bisa terjadi.
Tetapi ia menduga penebangan pohon yang semakin menjadi-jadi di belantara
Leuser menjadi salah satu penyebabnya. Mendengar itu saya sempat mengernyitkan
dahi. Sebab selama perjalanan menuju Gayo Lues saya masih melihat padatnya
pepohonan.
“Pembalakan ada di dalam-dalam hutan,”
sahutnya.
Suasana di Desa Blangnangka dengan pegunungan di belakangnya |
Pembalakan hutan secara liar di Aceh
terbilang tinggi. Mungkin ini seiring dengan kebutuhan bahan baku produksi kayu yang mencapai 200.000 kubik per tahun.
Bahkan Forum Konservasi Leuser (FKL) di leuserconservation.org merilis sepanjang
tahun 2016, terdapat 1.534 kasus perambahan hutan dengan perkiraan kayu yang
ditebang mencapai 3.665 meter kubik. Kasus terbanyak terjadi di Aceh Tamiang
yang mencapai 1.782 meter kubik.
Bisa dikatakan pembalakan liar merupakan
pintu bagi kehancuran berikutnya. Ini bukan hanya berlaku di Leuser, tetapi
juga bagi kawasan hutan lainnya. Dengan pembalakan liar, maka keanekaragaman
hayati pun turut hancur. Keseimbangan alam akan goyah. Maka tak heran, banyak
satwa liar yang akhirnya turun ke pemukiman penduduk. Konflik antara manusia
dan satwa pun tidak bisa dielakkan seperti yang terjadi di Aceh Jaya. Selain
itu, dapat juga mengakibatkan turunnya sumber daya air sebab pohon sebagai penyerap
telah ditebang sehingga turunnya kualitas air. Ditebangnya pohon juga dapat
mengundang banjir. Saya teringat dengan banjir bandang tahun 2005 di daerah
wisata Bahorok-Bukit Lawang, kawasan Leuser, yang mengakibatkan 129 korban
tewas. Salah satu pemicunya karena gundulnya pepohonan sebagai penahan dan
penyerap air di kawasan tersebut.
Saat ini banyak kawasan Leuser yang telah
berubah fungsi. Sebagian diubah menjadi areal pertanian, terutama di sekitar
aliran Sungai Alas. Bahkan ditaksir ada 300 kegiatan pembangunan yang
berlangsung di kawasan ekosistem Leuser. Kondisi ini semakin diperparah dengan
banyaknya ditemui alat perangkap untuk berburu satwa. Tentu kondisi ini berbeda
jauh dibandingkan saat Aceh didera konflik berkepanjangan beberapa tahun lalu.
Saat itu, kondisi Leuser jauh lebih tentram. Pembalakan liar nyaris tidak ada.
Satwa hidup lebih tenang sebab sedikit−bahkan nyaris tidak ada−aktifitas yang
berlangsung di sana. Hal sama juga berlaku di beberapa hutan dan ekosistem alam
lainnya di Aceh. Tetapi, setelah perdamaian di Aceh, keadaan semakin berubah.
Perambahan dan perusakan semakin masif.
Pentingnya
Konservasi Alam
Terkadang saya berpikir, bagaimana jadinya
alam Aceh beberapa tahun ke depan. Bukan hanya Leuser, tetapi juga pegunungan
di sepanjang barat selatan atau pesisir timur Aceh yang saat ini semakin
memilukan. Tak tutup kemungkinan bencana akan terus menghantui Aceh. Ini bisa
dilihat dengan semakin rutinnya bencana yang datang setiap tahunnya; banjir
bandang di Tangse, banjir di kawasan barat-selatan Aceh, cuaca yang semakin
panas, kebakaran hutan, atau konflik antara satwa dan manusia yang semakin
intens terjadi. Bahkan, baru-baru ini ekosistem Mata Ie, Aceh Besar, juga
semakin rusak akibat maraknya penambangan batu kapur dan penebangan pohon.
Selain itu, perubahan iklim juga semakin kentara. Padahal, hutan Aceh merupakan
bagian penting dari solusi penanganan dampak perubahan iklim global. Hal ini
mengingat kondisi hutan Aceh yang luas yang mampu menyerap karbon dalam jumlah
besar.
Saat ini, luas hutan Aceh mencapai 3,5 juta
hektar dan sekitar 58,96 persen daratan Aceh berstatus kawasan hutan yang terbagi
dalam beberapa fungsi. Besarnya hutan Aceh memberi manfaat besar termasuk di
dalamnya sebagai solusi penanganan dampak perubahan iklim global. Ini berarti keberadaan
hutan Aceh menjadi salah satu harapan masyarakat global untuk kehidupan lebih
baik di masa depan.
Butuh penanganan bersama agar lingkungan alam
Aceh kembali baik dan lestari. Butuh konservasi alam sehingga hal-hal di atas
dapat diminimalisir atau diantisipasi. Beruntung Aceh memiliki Undang-Undang
Pemerintah Aceh yang salah satunya memandatkan pengelolaan dan pelestarian
hutan sekaligus mengimplementasikan pembangunan berwawasan lingkungan. Bahkan,
pemerintah juga telah membentuk unit pengelolaan sumberdaya hutan dari tingkat
hulu ke hilir dalam kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Meski telah
memiliki peraturan dan kelembagaan, hutan Aceh tetap mengalami kerusakan hingga
sekarang. Ini menunjukkan bahwa melindungi hutan bukanlah pekara mudah. Butuh
kerja sama semua lapisan masyarakat−termasuk kita−agar tercipta hutan yang
lestari dan kondusif.
Sudah saatnya menyadarkan semua lapisan
masyarakat tentang pentingnya menjaga dan melestarikan alam. Ada banyak yang
dapat dilakukan mulai dari yang terkecil hingga terbesar; menanam kembali
hutan-hutan yang gundul, melarang penebangan liar dan memberi hukuman maksimal
bagi pelakunya, melibatkan masyarakat dalam kegiatan konservasi sehingga
memberikan dampak sosial dan ekonomi, menyediakan lahan pertanian yang memadai
sehingga masyarakat tidak perlu membuka lahan di hutan, dan beragam langkah
lainnya. Tetapi, yang terpenting dari semua itu adalah mengedukasi masyarakat sejak dini tentang pelestarian alam dan
manfaat konservasi bagi kehidupan masa depan.
Dan saya pun kembali teringat saat duduk di
bangku SD dulu, guru menyampaikan peran hutan Aceh sebagai paru-paru dunia.
Berulang-ulang mengatakan, “Hutan Aceh (Leuser) adalah paru-paru dunia.”
Ada rasa bangga saat itu. Maka tak salah,
kebanggaan memiliki hutan yang luas dan sehat harus kembali digaungkan dan
diajarkan. Sebab kebanggaan akan selurus dengan rasa memiliki, hingga bermuara
untuk merawatnya. Hingga pada akhirnya, alam yang baik akan menghadirkan
kehidupan yang lebih baik. Tidak akan ada lagi longsor, banjir bandang,
kekeringan, kehilangan satwa dan hayati, konflik hewan di tengah pemukiman
warga, hingga udara kembali bersahabat seperti harapan Amir di Gayo Lues.
Semoga. []
Sumber:
- http://www.leuserlestari.com/
Mempertimbangkan masa depan generasi umat manusia, perambahan hutan tidak boleh lagi mengabaikan keseimbangan ekosistem. Tulisan yang keren Ferhat.
BalasHapusterimakasih azhar, siapapun kita wajib untuk menjaga alam
HapusSemoga leuser tetap lestari ya :)
BalasHapusAminn...
HapusSalam Leuser Lestari mas :) Terus lestarikan upaya konservasi agar Leuser tetap lestari dan terhindar dari ancaman kemusnahan yang ada. Salam kenal mas yaa :D
BalasHapusSalam kenal kembali mbak.
HapusAmin, semoga leuser kembali lestari dan masyarakat pun semakin sadar untuk menjaganya
Infografisnya keren banget bg, belajar di mana? Hehehe
BalasHapusSaatnya blogger melakukan gerakan konservasi lingkungan, btw indah banget pemandangannya ya.
Hihiihi...
Hapushasil utakatik nggak jelas yel..
Semoga leuseur lestari dan tentunya kawasan lainnya juga. PR kita bersama untuk mengedukasi generasi muda dengan cara2 yang menarik, infografis dr blog ini juga salah satu yg menafik. ::
BalasHapusGambarnya karikaturnya Bagus bang Ya.....
BalasHapusApa desain sendiri itu?
Salam | #Sikonyol