#e39608 Jangan Mati di Gayo Lues - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

Jangan Mati di Gayo Lues



“Bang, bang, aku mau matilah...” lirih Dini, teman sekantor saat kami istirahat di Ise-Ise, Aceh Tengah. Aku yang sempoyongan mampir ke mobilnya.
“Hadeuuhh...” sahutku kelimpungan. Seketika kami tertawa terbahak mengingat perjalanan melelahkan ini.

Beberapa teman yang lain juga njut-njutan kepalanya. Beneran, perjalanan Ke Gayo Lues kali ini benar-benar melelahkan. Baru melepas lelah di Takengon, Aceh Tengah, saya dan rombongan langsung menuju ke Gayo Lues. Perjalanan empat jam pun kami tempuh dalam pegunungan berliku-liku ini. Teringat obrolan teman semobil, Syahri, saat kami melintasi pegunungan Aceh Tengah sore kemarinnya.

“Jalan ini belum ada apa-apanya, bang, dibanding ke Gayo Lues,” ujarnya saat mobil meliuk-liuk tajam di kawasan Enang-Enang.

Aceh Tengah dan Gayo Lues merupakan kabupaten yang berada di pergunungan kawasan tengah Aceh. Jalur ini dikenal dengan alamnya yang indah dengan udara sejuk. Bisa jadi, himpitan gunung dan pepohonan rapat menghadirkan udara yang khas. Bukan hanya suasananya yang adem, kawasan ini juga terkenal dengan jalurnya yang bikin pusing. Meliuk-liuk turun naik lembah kayak rutenya Ninja Hatori.

Sungai di pinggir meunasah


Dini akhirnya turun dari mobil. Mengikuti saya yang berjalan menuju ke meunasah yang berdiri tepat di pinggir jalan. Meunasahnya terasa adem sebab berdampingan dengan sungai beraliran deras. Di sebelah meunasah juga ada balai yang berhadapan langsung dengan sungai. Di sanalah saya merebahkan diri sambil makan kuaci. Suara arus sungai seakan-akan melenyapkan perjalanan lelah ini.

Ise-Ise adalah lokasi peristirahatan terakhir di tengah pegunungan lebat ini. Saya juga baru tahu di tempat saya melepas lelah ini, suasananya begitu senyap dan sepi. Nyaris tidak ada suara hiruk pikuk manusia. Hanya sedikit rumah berdiri. Malah bisa dihitung dengan jari. Cerita Syahri, Ise-Ise merupakan pemukiman terakhir yang berada di tengah pegunungan lebat ini. Setelah Ise-Ise hanya ada hutan pekat, pepohonan padat, jalanan sepi, dan nyaris tanpa pemukiman. Maka tak heran, banyak penumpang yang melepas lelah sambil ngopi cantik sebelum melanjutkan perjalanan.

Jalan berputar-putar di gayo Lues
Berasa cukup beristirahat, saya dan rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Target pak sopir harus sampai di Blangkejeren−ibukota Gayo Lues−sebelum malam tiba. Katanya rada serem kalau malam hari di tengah hutan.

Ini merupakan perjalanan pertama saya ke Gayo Lues. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari kabupaten induknya, Aceh Tenggara pada tahun 2002. Daerahnya berada di gugusan Bukit Barisan dan sebagiannya lagi masuk dalam area Taman Nasional Gunung Leuser. Walau berada di tengah pegunungan, jalan menuju Gayo Lues mulus lancar dan rapi. Nyaris tidak ada lubang menganga di tengah jalan. Jika pun ada, perjalanan sedikit terganggu dari longsoran bukit yang menutupi badan jalan. Tapi hal ini sepertinya mulai diantisipasi, setidaknya saya melihat ada beberapa bagian bukit yang disemen padat untuk menghalau longsoran tanah.

“Dulu jalannya nggak semulus gini, bang,” ujar Syahri saat kami beranjak pergi dari Ise-Ise.
Saya melongok dari jendela mobil. Memerhatikan seksama keadaan sekitar: pohon lebat, jalan mulus, udara sejuk, dan sesekali tampak air terjun kecil merembes ke bibir jalan.

Alam yang indah di kaki Gunung Leuser

Walau jalannya berliku-liku kayak obat nyamuk, alam Gayo Lues begitu indah dan mengagumkan. Terlebih lagi saat saya tiba di puncak turunan menuju pintu masuk Gayo Lues. Dari atas sana, saya bisa melihat begitu indah paduan alam, sungai, pemukiman warga, dan sawah hijau. Sempat nyesal nggak turun untuk foto-foto. Keindahan serupa saya temui saat mendekati kota Blangkejeren. Persawahan hijau mendominasi perjalanan. Sesekali kerbau melintas memotong perjalanan. Dini yang tadinya sempoyongan makin girang saat melihat satu persatu kuda memamah rumput di pinggir jalan. Belum lagi aktifitas warga yang menjemur kopi di halaman rumah. Hawa kematian gara-gara sempoyongan tadi rasanya langsung hilang.

“Nggak jadi mati, Din?” usik saya.
Dini cengengesan, “Indah kali bang alamnya, jangan mati dulu...” jawabnya.


***

About Ferhat Muchtar

Ferhat Muchtar
Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker. Teller Sampai Teler.
Suka makan kuaci. Tukang koleksi buku.
email: ferhattferhat@gmail.com
Tulisan yang mungkin kamu suka × +

6 komentar:

  1. udah sempat coba main ke kedah? sangir? dan danau biru Hat? dijamin makin malas kau pulang dari sana hahaha

    BalasHapus
  2. Hai bang Ferhat.. seru ya ceritanya, jika ada kesempatan lagi ke Gayo Lues, mampirlah ke kantor kami di kawasan kantor bupati Gayo Lues. biar kita main ke kawasan hutan wisatanya

    BalasHapus
  3. Indah benget ya, gunungnya itu loh.. gak tau kenapa seakan jatuh cinta kalau sudah liat foto gunung gunung riang berdampingan dengan langit luas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yuk Mas, ke Gayo Lues. Cuma delapan jam dari Banda Aceh :D

      Hapus