#e39608 Berada di Ubud Serasa Seperti FTV (Serial Bali eps 6) - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

Berada di Ubud Serasa Seperti FTV (Serial Bali eps 6)

Di bandingkan di beberapa tempat di Bali, nilai tradisional di Ubud lebih berasa. Bule-bule naik sepeda. Warga jalan sambil pake baju adat. Kebaya dengan kain melilit sarung. Kaum Bapaknya pake udeng, lilitan kepala. Mereka jalan sambil bawa nampan yang penuh sesajen sembahyang. Lha, kok mirip kayak di FTV-FTV yaaa..



Setelah berlama-lama di Monumen Perjuangan Rakyat Bali, mobil melaju lagi. Pak Andi membelah kota Denpasar menuju Ubud-Gianyar. Dua lokasi ini terkenal sebagai tempat wisata yang paling diincar di Bali. Bahkan levelnya udah international. Ubud juga dikenal sebagai salah satu lokasi wisata paling ramah di dunia.

Sedangkan Gianyar adalah salah satu kabupaten di Bali, dan Ubud kecamatan di dalamnya. Bayangin, cuma KECAMATAN doang bisa bikin ngiler orang sedunia. Haduh!

Seperti juga tempat lainnya. Menuju kemari jalanan dipenuhi beberapa bangunan unik. Padahal cuma kantor camat, sekolah dasar, kantoran, tapi bentuknya meliuk-liuk dengan desain keren tetap aja bikin menganga. Patung dewa ini itu berjejer di sepanjang jalan. Bentuknya besar-besar. Pahatannya rumit-rumit.

Aku dan Fadli tetap bagi tugas. Jepret sana sini. Sesekali berdecak kagum. Warga Bali yang sudah konsen wisata sejak berpuluh tahun silam, seakan-akan melek dan sadar dengan potensi daerahya.
Sepanjang jalan Fadli berdecak kagum, “gila ya Hat, nggak harus ke laut atau tempat wisata lainnya. Lihat kotanya aja udah bikin menarik,”
JEPRETT!! Fadli motret lagi dari dalam mobil.

Jalanan lumayan sempit. Ukurannya cuma muat tiga mobil dan itu dibagi jadi dua lajur. Tapi siang itu jalanan lengang. Mobil lewat satu-satu. Beberapa bule berseliweran.

Pak Andi sempat nunjuk ke sebuah lokasi yang bikin kami galau gelisah. “Itu kebun binatang Bali. Kepingin masuk?” tanyanya sambil memperlambat mobil.
Kami melongok rame-rame. Sebuah pamflet dari batu alam tertulis BALI ZOO. Tempatnya keren. Rindang rimbun. Seru juga sih lihat binatang secara langsung. Lebih-lebih yang jarang dilihat. Tapi berhubung ini semuanya gerombolan wisatawan korban perang Vietnam akhirnya kami nolak.
“Nggak usah deh pak, kayaknya mahal,” Ujar Rara asal nebak, padahal belum turun dari mobil. “Kayaknya tiketnya Rp 100 ribu deh,” sambungnya lagi.

Pak Andi melaju kembali mobilnya. Dari balik kaca mobil kami cuma mampu melambaikan tangan. Hiks! Gagal deh lihat macan tutul.

Suasana perjalanan semakin seru. Bangunan candi, rumah-rumah, bahkan galeri-galeri seni berjejeran sepanjang jalan. Yang bikin takjub, kayaknya perkampungan disini dibeda-bedain sesuai hasil seni/karyanya. Aku teringat Junaida yang berujar beberapa hari lalu.
“Bang, disana itu ada desa khusus lukisan, ada yang khusus ukiran kayu, ada yang khusus pahatan batu. Kayaknya dipisah-pisahin,”
Awalnya aku nggak ngeh. Tapi ketika mobil masuk ke daerah Gianyar omongan Junaida berseliweran di kepala. Oh beneran toh!

Entah kenapa (mungkin diatur kali ya,) perkampungan disini seperti dipisah-pisahin berdasarkan hasil seni. Pertama aku melewati perkampungan yang semuanya berjualan ukiran kayu. Dari ujung sana sampe ujung situ semuanyaaaa jualan ukiran kayu. Ukirannya keren-keren. Semua dijajal di galeri dan rumah warga yang berhadapan dengan jalan. Sampe akar pohon yang segede maha gaban itu juga ada. Entah untuk apa akar-akaran itu.

Melintas beberapa ratus meter kedepan, perkampungan berubah dengan pahatan batu. Sepanjang jalan semuaaanyaaaa pahatan batu. Bentuk patung dewa, budha, tembikar. Dari ukuran kecil sampe melewati tinggi rumah. Nggak ngerti deh gimana ngangkutnya kalo ada yang beli.

Melintas lagi, ada perkampungan yang jual lukisan. Semuanyaaa jual lukisan. Di galeri, halaman rumah, berjubel lukisan warna warni. Sesekali juga ada perkampungan yang jualan kaca cermin. Jualan layang-layang berbentuk aneka rupa. Bahkan kerajinan perak juga ada. Wadow!!!

Memang di Bali  ada beberapa lokasi yang dipisah berdasarkan kampung adat. Apa juga termasuk yang ginian? Entah! Tapi yang pasti aku melongo kagum. Kagum dengan masyarakatnya yang kreatif gila, kagum juga dengan pemerintahnya yang mau mengatur sedemikian rupa sampe warganya patuh berbudi luhur kayak gini.
Sampe-sampe kami saling berseloroh, “kayaknya kalo di Bali jadi tukang ukir kayu udah bisa sejahtera kali ya,”
“Ho’oh, kalo di kampungku yang namanya kerjaan itu PNS atau orang kantoran,”

Bisa jadi sih. Gara-gara industri kreatifnya hidup, wisatanya makmur, segala profesi bisa menunjang kesejahteraan hidup. Masyarakatnya bisa nyambung nyawa walaupun cuma mukul-mukul batu tiap hari, ataupun nyongkel-nyongkel kayu. Mungkin yang ginian perlu dicontoh sama pemimpin daerah lain.

Pelan-pelan kami masuk ke kecamatan Ubud. Jalanan masih sepi. Di kiri jalan lagi ada kondangan warga. Musik gamelan Bali membahana. Baru kali ini juga aku lihat janur besar dan ribetnya nauzubillah di gapura rumah warga. Hehehe... Bali memang terkenal dengan seni janurnya yang keren. Bahkan sewaktu aku makan siang di warung Padang, aku melongok dari warung ke bangunan di seberang.
“Itu apaan?” tanyaku.
“Oh itu pasar,” sahut si mbak sambil nyendok-nyendok kuah.
“Trus yang kuning bergantungan itu apaan?”
“Oh, itu janur dari pelepah rotan,”
Oaaalllaaa, orang jual janur kok bisa satu pasar. Janur bergantungan di dalam-dalam ruko. Satu pelajaran berharga dapat lagi. Kayaknya yang jualan janur juga makmur di Bali. Hihii...

Ubud suasana lebih teduh. Di bandingkan di beberapa tempat di Bali, nilai tradisional di Ubud lebih berasa. Bule-bule naik sepeda. Warga jalan sambil pake baju adat. Kebaya dengan kain melilit sarung. Kaum Bapaknya pake udeng, lilitan kepala. Mereka jalan sambil bawa nampan yang penuh sesajen sembahyang. Lha, kok mirip kayak di FTV-FTV yaaa..
Cuma perempuan bawa susunan buah-buahan di kepala aja capek kucari nggak ketemu-temu.

Aura FTV nya makin berasa sewaktu Pak Andi  melewati jalanan sepi Ubud. Kanan kiri berjejal galeri seni yang merangkap rumah. Hampir semua tempat ada galerinya. Dari pintu yang terbuka aku melongok, rupanya dibalik pagar rumah yang tinggi ada halaman luas. Bangunan besar ditengahnya. Kebanyakan galeri lukisan dan tempat nari-narian. Haduh, teringat film Perahu Kertas.

Karena buru-buru dan repotnya liburan rame-rame yang kadang-kadang nggak sevisi, nggak satupun galeri itu kami sambangi. Arrggttthhh...
Pak Andi balik arah, melaju menuju wisata lainnya. Iseng aku tanya, “Pak, tempat acara Ubud Writers itu dimananya ya??”
“Oh itu, lha jaraknya sedikit lagi. Cuma 10 menit dari tempat kita tadi,” ujarnya yang ternyata pernah mengantar salah satu penulis beberapa tahun silam.
Hah!! Mobil makin melaju jauh. TIDAKKKKKKKK... gagal lageee. Kepingin balik, tapi takut nggak keburu tempat lain. Ya udahlah usap-usap dada.

Pak Andi akhirnya merapat ke sebuah bangunan. Hari makin siang dan terik. “Kita shalat dzhuhur dulu ya!” katanya.
Semobil kami semua melongo heran. Shalat?? Celingak celinguk kanan kiri. Mana masjidnya? Dia turun dan kami mengikuti dari belakang. Lha, kok ke cafe?
“Mana mesjidnya Pak?
“Itu!” sahutnya sambil menunjuk gang kecil yang muat satu badan. Letaknya mepet dengan dinding yang kalo lihat sekilas nggak kelihatan.
“Disini nama masjid disamarkan jadi bangunan serba guna,”
Berempat kami bertatapan. Berempati merasakan kaum minoritas.


Sambung #Bali 7

About Ferhat Muchtar

Ferhat Muchtar
Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker. Teller Sampai Teler.
Suka makan kuaci. Tukang koleksi buku.
email: ferhattferhat@gmail.com
Tulisan yang mungkin kamu suka × +

15 komentar:

  1. abang enak bnyak jalan-jalan bnyak tulisan. (p)

    tapi klau nulis perjalanan gini, kyak ikut mrsakan juga jlan-jlannya... wlau cuma lwat bcaan. (h)

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih dek isni..

      dek Isni enak ada kebun, kami nggak ada pa2.. ;-( ;-( ;-( ;-( ;-(

      Hapus
  2. kok keluar c aja ya padahal pas klik emoticon coffee sepertinya disuruh buat lambang itu --> (c)

    BalasHapus
  3. ohooo nggak boleh dispasi terlalu jauh ... kira-kira bangunannya ada mirip-mirip nggak arsitekturnya dengan Masjid Lama Indrapuri ? Kan masih ada pengaruh arsitektur Hindu di situ? ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. nggak mirip.. bentuk bangunannya candi kyk di tipi2. hehehe

      Hapus
  4. hmmm, oleh-oleehnya kuraaaang. Hahahahhaa *komen nggak nyambung

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahahhaha.... backpacker korban Vietnam kak. Hana peng..

      Hapus
  5. Entah kapan bisa cuma numpang lewat ke Bali lagi? #eh

    BalasHapus
  6. belum pernah ke bali ;(( jadi pingin ke bali :))
    ditunggu sambungan tulisannya
    mantap blognya, tulisannya juga banyak dan bagus pula temanya :p
    wuih udah hebat blognya udah hampir 35 ribu pengunjung (h)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahhahahaa.....kak lisa lebih hebatlahh..
      keliling Eropa udah kemana-mana..

      Hapus