#e39608 Mesjid Bali di Gang Sempit (Serial Bali eps 7) - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

Mesjid Bali di Gang Sempit (Serial Bali eps 7)

Menuju ke mesjid ini harus melewati lorong panjang dan sempit. Disini juga sebutannya buka masjid, melainkan gedung serba guna. Bahkan masjid tempat aku kunjungi ini, sempat ditutup selama tiga tahun pasca bom Bali

cerita sebelumnya Lihat Ubud serasa di FTV #6

Berempat kami terpaku heran. Di depan kami hanya ada cafe kosong melompong. Tidak ada pegawai dan pengunjung, terlebih masjid. Kami menunggu pak Andi yang masih di belakang. Semenit kemudian ia menunjuk ke arah kiri bangunan.
“Lewat situ,” ujarnya.
Bergegas aku dan teman-teman mengikuti langkahnya. Jalan yang kami tapaki bikin aku menelan ludah. Ternyata masjidnya sangat tersembunyi. Menuju kesini harus melewati lorong kecil panjang yang cuma mampu dilewati satu orang. Kami berlima harus berbaris mengikuti langkah Pak Andi di depan.


Lorongnya panjang. Kanan kiri berbatasan dengan tembok. Dan beberapa meter kedepan baru terdapat ruangan sedikit luas, mesjid!
Waktu dzhuhur belum tiba. Di selasar masjid akhirnya kami berbincang lama tentang masjid yang tersembunyi ini. Aku yang terbiasa hidup di kawasan mayoritas, sedikit kaget melihat masjid yang begitu sulit dijamah yang bahkan kubahnya tidak ada.

Jadi teringat sewaktu nginap di kostan Taufiq. Pagi-pagi buta dibangunin untuk berjamaah di masjid. Disana terbilang pagi, jam 05:00. Tapi aku yang terbiasa hidup di Indonesia bagian barat, tetap aja ngerasa kalo itu jam 04:00 pagi yang masih gelap gulita.


Dengan kendaraan motor, kami membelah jalan Denpasar yang sunyi. Ternyata masjidnya lumayan
jauuuuhhh. Sepanjang perjalanan bercerita ini itu. Termasuk jarak masjid yang jauh dan jumlahnya sedikit. Terlebih di beberapa masjid suara adzan pun tidak terdengar keluar. Menurut penghuni kost lainnya, di kampus mereka juga nggak ada mushalla. Pengakuan yang bikin menganga.
“Trus kalo mau shalat kemana?” tanyaku polos.
“Ya pake aja ruang belajar atau ruang kosong gitu,” jawabnya enteng.
Hhhmmm, pikirku cuma di luar negeri aja ada gituan.

Yah, kembali lagi. Dimana-mana yang namanya mayoritas tentu lebih mendominasi. Tak bisa dipungkiri, aku yang biasa menjadi mayoritas di Aceh mungkin berlaku hal serupa.

Waktu zhuhur tiba. Seorang muadzin berdiri di depan mimbar. Tanpa pake mic, ia mengumandang adzan. Suaranya pun hanya terdengar oleh kami di sekitar selasar masjid. Jamaah nggak ramai, bisa dihitung dengan jari. Ketika shalat pun Imam tidak menggunakan mic.

Ketika shalat dan nongkrong di kantin kecil di sudut masjid, aku bertemu Pak Ishak. Ia pengurus yang mengelola masjid ini. Bertiga dengan Rara, kami berbincang-bincang.
Dari pak Ishak juga aku tahu jika Masjid ini sempat ditutup selama tiga tahun! Waduh, kayak sekolahan aja pake ditutup.
“Sewaktu bom Bali masjid ini sempat diawasi, jadi terpaksa dihentikan sampe tiga tahun,” ujar si Bapak yang tinggal di belakang masjid.
Jadi selama itu, segala pelaksanaan ibadah berlangsung di rumah masing-masing. Mau shalat jamaah, tarawih, jumatan, shalat Ied.

masjidnya
Aku nggak nyangka ternyata efek dari Bom Bali yang dilakuin sekelompok orang itu malah merugikan umat Islam lainnya disini. Ibarat peribahasa, gara-gara uban sebiji bikin rambut nggak hitam lagi. Bahkan konon gara-gara Bom Bali juga hubungan umat beragama (terutama Islam) di Bali sempat merenggang.

Kata Pak Ishak, sound mesjid cuma dipake waktu shalat Ied, tarawehan, dan jumatan. Mungkin itupun cuma untuk di dalam masjid. Soalnya sebagian tetangga masjid kebanyakan non muslim. Bahkan jendela rumah mereka tampak jelas dari selasar mesjid. Cuma dibatasi beton yang tingginya nggak terlalu menjulang.

“Tapi disini kita saling membantu. Kalo umat Hindu ada acara kita yang muslim bantu ikut terlibat. Begitu juga kalo muslim punya acara, nanti mereka (umat Hindu) juga bantu-bantu,” itulah toleransi yang terbentuk disini. Saling menghormati biar sama-sama tentram.

Bahkan terkadang tanpa dikehendaki, perilaku kita (muslim) diluar sana setidaknya mempengaruhi kehidupan mereka disini. Kalo kita berlagak abal-abal, bisa jadi disamaratakan perilakunya. Dan kasihannya sodara-sodara yang hidup di lingkungan minoritas. Sedikit banyak pasti terkena dampaknya.

Disini aku juga baru tahu nama masjid/mushalla disamarkan jadi gedung serbaguna. Nggak ngerti deh kenapa sebutannya kayak gini (mungkin ini cuma di kawasan Gianyar, kalo di Denpasar nggak). Ini aku tahu dari pengumuman kecil di dinding luar ketika ingin pulang.


Dan disaat ingin pulang sebuah kendaraan masuk ke pekarangan cafe. Mata si pengemudi celingak celinguk. Istrinya yang jilbaban juga celingak celinguk. Sontak kami semua nunjukkin lorong sempit itu.
“Mau ke mesjid pak? Lewat situ pak...”
Si Bapak manggut-manggut. Berasa ketiban pahala gede banget bisa bantu orang lain. Dan tersadar, hidup di komunitas mayoritas dengan fasilitas memadai dan mudah dijumpai sebenarnya adalah sebuah keberkahan.

Menjelang sore, perjalanan pun berlanjut. Kali ini ke Bedegul! Aku sempat belum ngeh, tempat apaan itu. Fadli dengan semangat berujar, “itu Hat, candi yang ada di uang Rp 50 ribu.”
Oallaaa... yang ditengah danau itu! Wuiihhh keren!
Mobil terus melaju.


Bersambung ke #Bali 8



About Ferhat Muchtar

Ferhat Muchtar
Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker. Teller Sampai Teler.
Suka makan kuaci. Tukang koleksi buku.
email: ferhattferhat@gmail.com
Tulisan yang mungkin kamu suka × +

2 komentar:

  1. Hahaha...traveling ke daerah yang kita bukan lagi berada dalam mayoritas emang suka bikin shock ya. Tapi syukurlah kita jadi sadar betap tidak enaknya berada dalam minoritas sehingga kita bisa menghargai saudara-saudara kita yg minoritas lainnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. yupp.. bener Cit!
      jadi minoritas terkadang menyulitkan. tapi kita yang mayorits mudah2an gk menyulitkan jg minoritas..

      Hapus