masjid seberang PLTD Apung |
Ketika ikut jelajah budaya sebulan lalu,
salah seorang pemateri pak Nurdin, ketua Museum Aceh berujar kalo ada empat
sifat yang begitu melekat yang kesannya telah menjadi "budaya" di
Aceh.
Aku nggak ingat semuanya, cuma dua yang
kuingat lekat; orang Aceh itu termasuk yang gampang terpengaruhi. Ada hal-hal
baru asing, mudah terbawa. Trus yang bikin sedikit mengernyit, pak Nurdin
berujar, kalo orang Aceh itu termasuk yang suka mendestroyed
(merusak/memusnah) sejarahnya sendiri.
Dia mengambil contoh, kerajaan Aceh yang
mahsyur penuh cerita-cerita besar tapi yang tersisa hanya secuil saat ini.
Banyak bangunan yang tak tahu kemana, hanya beberapa yang ada; Mesjid raya
Baiturrahman, Gunongan, Pinto Khop.
Fakta lainnya pun tampak. Ketika esok
hari, jelajah budaya lanjut mengunjungi Mesjid Indrapuri. Mesjid tua itu konon
tempat melantik Sultan Aceh terakhir, tapi kini bangunan sedikit berubah.
Masjid lantai ditinggin, ditimbun.
Lantainya berubah jadi marmer ala sekarang bukan lagi ubin-ubin zaman dulu. Tameh tiang tenggelam nggak nampak lagi.
Masjid menjadi lebih rendah. Jamaah dengan gampang melongok keluar. Padahal Masjid
ini historisnya dirancang sebagai
benteng pertahanan. Tapi makna filososfisnya pun bergeser.
Salah satu arkeolog yang ikut jelajah
budaya mencak-mencak, ini merubah sejarah! Menambah, mengurangi, merubah bentuk,
termasuk hal yang dilarang dalam undang-undang kebudayaan. Yang ginian aku nggak ngerti lengkapnya gimana.
Kata orang kampung, masjid ini baru
"ditambal" dua tahun lalu.
Hmmm...
Lalu kemarin sore. Iseng aku jalan-jalan
ke PLTD Apung. PLTD Apung itu kapal diesel yang beratnya sampai 2600 ton, nyungsep di tengah pemukiman penduduk di
Punge Blang Cut.
Kapalnya besar. Panjangnya aja sampai 63
meter dan lebar 19 meter. Ini salah satu bukti ganasnya tsunami Aceh 2004
silam.
Setiap kali aku berkunjung kemari, aku
selalu memarkir motor di halaman mesjid Subulussalam. Letaknya hanya
berseberangan dari kapal besar itu. Secara logika, dengan air tinggi dibantu
dorongan PLTD Apung yang bergerak, mungkin aja Mesjid ini penyot sana sini kena
tsunami.
Tapi nyatanya nggak. Tetap sehat bugar.
Kembali lagi, mungkin ini salah satu dari banyaknya keajaiban tsunami. Kokohnya
mesjid menjadi kisah tersendiri tentang tsunami suatu kelak. Beberapa
puluh tahun kemudian.
Kokohnya berdiri mengundang decak
orang-orang berkunjung. Lha, kok bisa
mesjid di seberang jalan tapi bisa selamat sentosa. Seingatku aku pernah
shalat disini sebulan setelah tsunami.
Ketika berkeliling kota dan melihat kapal
besar itu, aku shalat asar disana. Masih tampak bekas garisan air tsunami di
dindingnya.
Memarkirkan motor disini sedikit
kemudahan. Selain tak perlu berdesak-desakan di parkiran PLTD Apung, aku juga
bisa leyeh-leyeh di teras mesjid sebelum pulang.
Seingatku mesjid ini berarsitektur lama.
Kubahnya dari beton polos dicat hitam. Tiang mesjidnya kecil. Lantainya juga
ubin standar. Teralis jendela hanya besi-besi kecil. Halamannya terbilang luas.
Dalam benakku, aku akan menyerupai suasana
serupa. Maka ketika memasuki kawasan Punge Blang Cut kemarin sore, aku
bersegera mengarahkan motor kearah mesjid.
Tapi..lha..lha...
"Tynn!! Masjidnya mana??!" Aku
berteriak ke seorang teman yang ikut serta.
Berdua kami melongok kearah depan mesjid
tempat aku sering leyeh-leyeh kalo berkunjung kemari.
Masjidnya hilang! Lebih tepatnya “diruntuhkan”.
Haduuhh!!
"Lagi di renovasi mungkin hat,"
teman sebelahku berujar.
Aku melongo, "ini namanya bukan direnovasi..."
sahutku.
Berdua kami mematung di gapura mesjid.
Nggak ada lagi mesjid dengan kubah hitam, dan lantai ubinnya.
Mesjidnya blassh rata!
Sekarang, ditempatnya berdiri dulu puluhan
tukang bejibaku mendirikan masjid baru. Merombak bentuknya. Tiang-tiang pondasi
dari besi tebal tertancap dimana-mana. Papan kayu penahan adukkan semen
melingkar dibeberapa bagian.
Sebuah bangunan berdiri di pojok pagar,
menjadi mesjid "sementara" bagi pengunjung. Sejarah kokohnya mesjid itu
hilang. Lenyap.
Kekagetan ini saya adukan ke salah seorang
guide di area PLTD Apung, yang kebetulan warga disana. Ia juga menyayangkan
"penggusuran" masjid dan membangun masjid baru yang lebih luas. Menurutnya
sebelum dihancurkan, sempat terjadi pro kontra sesama warga.
Melihat
mesjid itu kemarin sore, saya teringat lagi obrolan dengan pak Nurdin sewaktu
jelajah budaya sebulan lalu.
Terserahlah, mungkin niatnya baik kepingin
masjidnya lebih luas dan menampung jamaah lebih banyak. Atau memang ada kerusakan parah di bangunannya. Wallahu'alam
Tapi andaikan mesjid lama masih ada,
mungkin 20 tahun kemudian cerita tentang tsunami dan PLTD Apung ini terasa lebih
lengkap. Anak-cucu masa depan bisa melihat bagaimana mesjid yang tegak berdiri
dengan arsitektur zaman dulu.
Menurutku memang tidak semua kita (ureueng Aceh) suka mendestroy budaya
sendiri. Ada beberapa dari kita bahkan tetap teguh ingin mempertahankan suatu
objek agar menjadi cerita sejarah utuh.
Contohnya, rumah tsunami di kawasan Punge
Jurong. Rumah dipinggir jalan menuju Ulee Lheue ini tetap dibiarkan apa adanya
sejak tsunami lalu. Beberapa bagian dipugar dengan indah. Kayaknya ini
inisiatif dari keluarganya sendiri.
Ataupun perahu besi milik KPLP yang
terdampar ditengah pemukiman penduduk di Punge Blang Cut. Aku sempat singgah,
mengobrol dengan ibu-ibu disana yang ternyata begitu semangat mempertahankan
kapal tetap berada di halaman depan rumahnya. Padahal kapalnya gede sekali. Ada
dua lagi!
“Ini bukti tsunami. Biar anak cucu kita tau apa itu tsunami..” ujar si Ibu.
“Ini bukti tsunami. Biar anak cucu kita tau apa itu tsunami..” ujar si Ibu.
rumah yang dipugar itu punya mantan Kapolres Aceh Tamiang Pak Syafriel Anthoni
BalasHapus