#e39608 Aceh - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

Aceh

JUMAT MALAM DI ULEE LHEUE: RAZIA! RAZIA!

Fitriansyah, teman karibku sejak duduk dibangku SMA mengabarkan akan dipindahtugaskan ke Meulaboh. Sebagai teman yang baik hatinya, aku berniat ngajak berkumpul ngalor-ngidul sebelum keberangkatannya sabtu depan. Dengan Iqbal, yang juga teman karib sejak SMA aku menuju ke Luengbata ke rumah Fitriansyah.

Waktu menjelang maghrib. Setelah hahaha hihihi membahas hal-hal tak penting diteras rumahnya. Kami memutuskan shalat maghrib di masjid Ulee Lheue, yang bakal dilanjutkan makan jagung bakar di tepi laut.

Jamaah maghrib di Masjid Baiturrahim, Ulee Lheue lumayan rame. Kebanyakan pasangan muda-mudi. Beberapa pasangan keluarga kecil.



Selepas foto sana sini disudut-sudut Masjid Ulee Lheue yang ternyata begitu indah kalo malam hari. Bertiga, kami langsung menuju kearah pelabuhan. Sepanjang jalan menuju pelabuhan, aroma jagung bakar dan sate-sate murah meriah mengepul-ngepul. Awal pikirku karena ini malam sabtu, pasti nggak terlalu rame. Ternyata beuhhhh, pasangan muda mudi beraneka macam berarak-arak layaknya karnaval.

Bersepeda, bermotor-motor, cekikikan sepanjang jalan, berangkulan erat kayak pasien demam, bersandar rubuh dibahu pasangannya seakan-akan baru aja didorong. Lengket nggak mau pisah kayak upil dengan meja. Beraneka gaya dan budaya!

Aku dengan kedua temanku memilih duduk ditepi pantai. Tempatnya agak kebawah dari trotoar jalan. Menuju kesana kami harus menuruni tangga dari kayu. Disini, udara pantainya lebih kerasa. Suara ombak bergelindingan bergemuruh. Diujung sana, ditengah-tengah laut, lampu-lampu pijar berkedip-kedip. “Itu perahu nelayan,” sahut Ibu penjual ketika kutanya perihal itu.

Karena kelaparan, kami memesan 6 porsi jagung bakar. 2 porsi untuk masing-masing orang. Minumnya tetap tebs botol..

Ulee Lheue kalo akhir pekan memang lumayan rame. Kawasan pantai ini memang lebih rame disinggahi pasangan gila pacaran kalo malam hari. Jarang rombongan keluarga duduk singgah disini. Areanya sedikit temaram, cuma mengandalkan lampu jalan yang terangnya tak seberapa mana itu. Lebih-lebih dibeberapa tempat banyak pohon rimbun. Disanalah tempat paling favorit untuk misuh-misuh.

Nggak terkecuali tempat kami singgahi. Di meja belakang kami, dibawah pohon, satu pasangan bermisuh-misuh. Agak gelap-gelap gitu. Lampu jalannya ketutup pohon. Nggak tahu mereka lagi ngebahas apaan. Mungkin lagi ngerjain PR pacarnya atau lagi bahas kisruh pilkada, atau bisa jadi lagi ngisi TTS.

Selagi ngunyah jagung, kami ngalor ngidul. Membahas apa saja. Sesekali tersenyum getir melihat kemelorotan akhlak budaya muda mudi Banda Aceh. Seharusnya mereka sadar telah diperbudak hawa nafsu serta jauh dari nilai-nilai keislaman. Tak baik mereka melakukan ini! Inilah PR besar bagi kita semua. Juga PR besar bagi pemimpin-pemimpin kita kedepan. Sudah selayaknya nilai-nilai syariat Islam diimplentasikan dengan baik. Tak lupa juga UUPA sesuai dengan semangat MoU Helsinsky. Makanya pilih pemimpin yang benar hari senin nanti ya!! (mulaii deehh, kampanyee.. T_T)

Seorang lelaki paruh baya mondar mandir disekitar kami. Awalnya kami menduga ia bagian dari pelaku usaha jagung bakar dan sate murah meriah di Ulee Lheue. Rupanya dugaan baik kami salah! Sejurus kemudian dia hadir tiba-tiba ditengah kegelapan, tepat disamping aku.

“Bang, retribusinya bang! Rp 2000…”

Hah! Retribusi??

Terasa amnesia. Sejak kapan pembeli dan pengunyah jagung dikenakan retribusi? Kami bertiga sempat terpana lama. Berpikir sejenak. Memastikan diri bahwa kami berada di garis pantai Ulee Lheue, bukan diarea parkiran pasar Aceh.

“Bang, kami pengunjung! Kok minta retribusi??” sahutku sedikit emosi, walaupun nggak banyak.

Si Abang Retribusi yang tak sempat kami ajak kenalan cuma berujar, “Iya bang, memang ada retribusi. Yang duduk diarea pantai memang dikenakan retribusi. Semuanya juga kena,”

“Lha kami nggak ngerti. Biasa yang ginian sama penjualnya lah..” sahut temanku. Si Abang Retribusi diam seribu bahasa tak berisyarat.

Aku menyambungi, “Kita disini pembeli. Kalo ada retribusi seharusnya minta sama penjualnya. Kita nggak ngerti yang gini-ginian… “ ujarku lagi yang ternyata maksud dan tujuannya juga sama dengan omongan temanku barusan (baru ngeh!)

“Mereka juga dikenakan bang, “ sahutnya merujuk ke penjual. “Cuma besaran belum disepakati. Soalnya kemarin ada sedikit masalah. Makanya orang kampung harus bahas dulu,” sambungnya lagi.

Tuiinggg!!! Peraturan ajaib di-era multimedia.

“Sejak kapan ada peraturan gini bang??” tanyaku sambil menyodorkan pecahan Rp 2000.

“habis lebaran kemarin bang, “ sahutnya sambil berlalu dan kembali hilang tiba-tiba ditengah kegelapan.

Berhadapan dengan situasi gini, aku sedikit mendidih. Bukan karena besaran retribusinya, melainkan peraturan odong-odong yang nggak sesuai kaidah-kaidah yang disempurnakan. Nggak kebayang, kalo lagi ngajak teman-teman dari luar Aceh tiba-tiba ditagih uang retribusi ngunyah jagung. Preseden buruk untuk wisata kita!

Nggak masuk akal! Ibaratnya nih, kita lagi makan diwarung pinggir jalan lagi lahap-lahapnya ngunyah perkedel, rendang, udang goreng, tumis tauco, kerupuk mulieng, tiba-tiba datang seseorang “Pak, uang retribusinya pak?”

Beuuhh!! Yang kelaparan siapa, yang kekenyangan juga siapa. Masak untuk kemashalatan perut sendiri dikenakan retribusi?

Suasana kembali normal, ketika meja disebelah kami disinggahi sepasang muda mudi. Mereka baru tiba, namun langsung berangkulan. Tangan cowoknya bergelayutan di bahu ceweknya. Mereka cekikikan. Sesekali cengengesan. Ntah yang dibahas apaan. Nggak sempat nguping soalnya. Bisa jadi mereka lagi membahas perencanaan kedepan; bulan madu ke Pulo Aceh, perencanaan kredit rumah dengan anggunan nol persen, atau menjajaki homescholling untuk anak-anaknya kelak.

Tiba-tiba suasana berubah gaduh. Ibu Penjual yang berselonjoran dikursi area troatoar lari gegap gempita turun kebawah area pantai.



“RAZIA!! RAZIA!!!” Ibu Penjual berteriak sambil mengangkut kursi dan menyusunnya di troatoar yang agak lebih terang.

“Cepat naik! Cepat naik!! Pindah keatas aja. Di tempat terang nggak pa-pa” jelasnya seakan begitu ahli membaca situasi.

Pasangan muda-mudi yang awalnya misuh-misuh kayak anak kucing kesiram air, bangkit tunggang langgang mirip orang kesurupan. Sepanjang garis pantai yang banyak kursi meja, seakan-akan dikomando untuk segera berbenah dan merapikannya. Aku terpana. Kerja bakti yang sempurna. Semenit kemudian, tuuiingggg!! Bersih sekejap kosong melompong!

Aku mengintari pandangan kesekitar. Yang mojok dibawah pohon lari tunggang langgang, pasangan yang baru tiba tadi kocar-kacir menyisakan teh botol sosro yang masih penuh di meja nya. Tiba-tiba sepi. Baru sadar, ternyata cuma kami yang nggak pacaran disini. Hahhahaa…

Aku bangkit dari kursi, naik kearah trotoar, “Dek, nggak papa!! Duduk aja disitu!” teriak si Ibu Penjual yang mengira aku juga bakal lari.

“Nggak lari bu, cuma mau lihat razia orang pacaran,” sahutku melempar pandangan kearah jembatan Ulee Lheue. Memastikan apakah benar-benar ada razia. Tapi diujung sana tak kelihatan mobil patroli.

“Razianya tiba-tiba, nggak sering…” jelasnya ketika kutanya saat ingin pulang.

“Ibu taunya dari mana??”

“Bapak yang bilang,” sahutnya sambil menunjuk pria paruh baya disampingnya yang juga membuka lapak jagung bakar, “Bapak tadi dari sana, ada mobil patroli. Kayaknya lagi razia di café sana. Mungkin bentar lagi kemari,” sambungnya.

“Sering razia disini ya, bu??”

“Kalo disini jarang, biasanya diujung sana dekat pelabuhan” sahutnya merujuk ke kawasan gelap didekat pintu masuk pelabuhan. Disana aku rasa lebih ganas lagi. Kawasannya agak terpisah dari jalur utama. Tertutup rimbunnya pohon cemara.

“Kalo razia disana semuanya diangkut! Sampe dibawa mobil-mobil pick up untuk diangkut barangnya,” sambungnya lagi sambil terbahak.

Kami ikut terbahak.

“Yang lari tadi sempat bayar nggak?” aku menginterogasi lebih dalam.

“Sempat. Sempat bayar. Mereka langganan Ibu. Kalo diujung sana yang kena razia rame yang gak bayar. Langsung lari. Hahhahaa…” si Ibu tertawa lepas.

Kami bertiga tersenyum geli. Nggak kebayang, disaat lagi was-was dikejar razia masih keingat untuk bayar jagung. Mulia sekali hatinya. Dugaanku pasti nilai akutansinya dapat A, soalnya nggak mau terlibat utang piutang. Ribet kalo dikalkulasikan di neraca saldo.

“Tapi di meja sana, teh botolnya masih penuh. Belum sempat diminum” tanyaku lagi. (eh, baru sadar. Kok malah ngerumpi dengan si Ibu jagung yak! @_@)

“Orang tu baru pesan. Jangankan teh botolnya belum diminum. Ni jagung yang dipesannya pun belum sempat dimakan. Hahhahahahahah….” Ia kembali ketawa. Kali ini, seorang Ibu disebelahnya juga ikutan terbahak sambil menunjuk jagung bakar yang udah dibuangnya ke tong sampah.

Sisa jagung

Kami bertiga terbahak sambil ngelirik jagung bakar yang masih bertubuh sempurna. Mungkin cuma baru disuwir-suwir atau dipegang-pegang makanya langsung dibuang. Naas!

Nggak kebanyang, mungkin Emak dan Ayahnya banting tulang di kampung danain kuliah anaknya di kota. Biar lekas pake toga, bersarjana, dapat IPK nembus 4,5. Tapi anak-anaknya asyik masygul berduaan disini. Habisin kiriman uang makan jagung bakar. Berpacaran; “Abang cinta Adek” ǀ “Adek sayang Abang” dengan aura nafas jagung bakar.

 

1 komentar:

  1. In these messages, the URL is modified to keep away from 점보카지노 filters, as shown in Table three. Spam is outlined as any undesirable message despatched to a person for commercial acquire or simply to cause detriment or discomfort . Another definition of “spam” is promotional information that has been provided without the settlement of recipients from an official KISA web site. Spam SMSs embrace messages that are be} despatched to mobile phones for commercial functions, which might range from authorized however nonessential information to severely unlawful content . These regulatory definitions fall under the purview of felony law in South Korea, and offenders thus face fines and imprisonment.

    BalasHapus