Pidie Jaya - Perjalanan ke Bireuen, Aceh, kali ini terasa begitu singkat. Pergi malam, eh besok siangnya langsung kembali ke Banda Aceh. Saya dan beberapa teman yang lain tidak sempat untuk keliling ke sana-kemari di Bireuen. Bakso geureugok, makan sate, Batee Iliek, nongkrong di scolatte, entah lah kuliner ini itu terpaksa diurung untuk dikunjungi. Perjalanan ini buru-buru, sebab besok sudah senin dan kembali ngantor. Arif −salah satu teman yang ikut−berulangkali sebut tempat nongkrong yang pantas disinggahi. Tapi sia-sia tak satu pun sempat kami sambangi.
Namun, rencana tiba-tiba
berubah di tengah jalan. Ini berawal saat mobil yang dikendarai Iqbal, berhenti
di perempatan lampu merah saat tiba di Pidie Jaya. Sebuah perempatan yang
sebenarnya biasa aja, tidak pun terlalu sibuk sore itu. Tapi sebuah jembatan
menjulang di sisinya bikin kami penasaran. Sontak seisi penghuni mobil heboh.
“Eh, kita putar ke sana
yok!” ajak Dini, salah satu teman yang duduk di jok belakang.
Ajakan ini langsung disambut
teman-teman lain, termasuk saya. Jujur, setiap kali melintasi daerah timur Aceh,
lokasi jembatan ini menjadi salah satu incaran saya. Sejak lama bahkan saat isu
pembangunannya mencuat beberapa tahun silam.
Mobil yang dikendarain Iqbal
belok kiri dan melaju pelan di atas jembatan. Dari atas jembatan yang
panjangnya sekitar 800 meter ini terlihat persawahan terbentang luas di
bawahnya. Benih padi bertaburan serupa karpet hijau. Saya membuka kaca mobil
dan merasakan sejuknya udara persawahan. Satu dua orang terlihat duduk di tepi
jembatan sambil melongok-longok ke bawahnya. Sebagian lagi sibuk berselfie ria
di tepi jembatan.
Jembatan yang kami lalui ini
menghubungkan Simpang Tiga Meureude ke pusat pemerintahan di Cot Trieng, Pidie Jaya. Ia
serupa fly over yang terbentang di
atas lahan. Konon juga, ini merupakan fly
over pertama di Aceh. Saya teringat, beberapa tahun lalu, isu pembangunan fly over ini sempat hangat karena
biayanya lumayan besar. Terlebih lagi, saat itu Pidie Jaya masih kabupaten baru
yang dananya juga nggak banyak-banyak amat. Tapi semangat untuk menjaga lahan
pertanian menjadi alasan kuat kenapa fly
over ini dibangun. Takut kalau dibangun jalan tembus, kanan kiri bakal
tumbuh bangunan, pertokoan yang akhirnya menggerus lahan persawahan. Masuk akal
sih, setidaknya sore itu saat saya berkunjung lahan pertanian masih terbebas
dari pembangunan. Walau di berapa sudut area yang sedikit berjauhan mulai
tumbuh perumahan.
Mobil melaju pelan. Lampu jalan melengkung membentuk formasi indah dari setiap sudutnya. Dari kejauhan tampak beberapa bangunan perkantoran menjulang dikelilingi lahan hijau. Cot Trieng memang dipersiapkan sebagai area khusus perkantoran. Dulunya di sini hanyalah lahan kosong tak bertuan, tapi kini semakin berbenah.
Baca Juga Kubah Tsunami di Tengah Sawah
Iqbal membawa kami masuk ke
komplek perkantoran. Karena libur, suasana Cot Trieng sepi sekali sore itu.
Tidak ada lalu-lalang kendaraaan. Karena
penasaran, mobil terus melaju membelah jalan yang mulus. Kantor Bupati Pidie Jaya adalah kantor pertama yang kami temui. Bangunannya megah dengan arsitektur Aceh
dan kubah putih di atasnya. Ia tepat berdiri di tengah bundaran di turunan fly over. Bangunan ini tampak lebih
mencolok ketimbang bangunan lainnya yang tampak lebih sederhana. Selain Kantor
Bupati juga ada kantor DPRK, Depag, Bappeda, hingga kantor statistik. Jaraknya
saling berdekatan hanya menyeberang jalan.
Saya tak tahu jalan tembus komplek ini menuju kemana, yang pasti di ujung jalan sana ada bukit kecil dengan jalan menanjak. Topografinya bagus, perpaduan sawah dengan perbukitan. Kalau dikelola lebih bagus lagi, mungkin bakal lebih ramai yang datang kemari. Namun mirisnya, ternyata tidak semua bangunan perkantorannya keren. Sebagian bahkan terlalu biasa aja. Bahkan lingkungannya terlihat tak terawat. Rumput menjalar dan taman kota nyaris tidak ada. Coba kalau semuanya berdiri megah dan berarsitektur kuat. Yakin, komplek ini bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Tapi apapun kekurangannya, langkah pembangunan fly over ini patut diancungin jempol. Setidaknya, Pidie Jaya yang
baru terbentuk tahun 2007 ini, mampu bergeliat menyaingi kabupaten lainnya. ***
Lumayan keren ide ini bang...ketimbang kabupaten kami [aceh utara] dah lama jadi ibukota masih semrawut luar biasaaa...hehehe...
BalasHapusiya, keren idenya walaupun awalnya sempat hangat jd pembicaraan tp seenggaknya sekrg manfaatnya trasa sama masyrakat.
Hapussayang sekali ya fly over di perbatasan aceh besar dan banda aceh tak dilanjutkan lagi. bisa jadi fly over terpanjang di Aceh :D
BalasHapushiks!
Hapuskalau pembangunan dilanjutnya pasti jadi keren meunan
Wah baru tahu saya bang. maklum bukan orang aceh. jadi pengen turing ke aceh ni bang
BalasHapusyuukk..yukkk
Hapus