![]() |
sumber foto: www.nyunyu.com |
UNTUK zaman sekarang, sepertinya makin
sulit bedain mana pengemis beneran, dengan orang
yang berakting untuk ngemis. Kalau kategori
terakhir ini, menurutku semakin ramai akhir-akhir ini. Mungkin beragam alasan.
Mudah dapat uang banyak, prosesnya cepat, ditambah juga malas kerja.
Dulu sewaktu masih kerja di bank
dan sering ngurusin remeh temeh perbankan di Bank Indonesia, aku kerap ketemu
pengemis di counter BI. Tujuan mereka selalu sama: tukar uang.
Kebanyakan pengemis uangnya
kecil-kecil. Hasil sumbang orang-orang. Jadi mereka-mereka ini ke BI untuk nukar
ke dalam lembaran uang yang lebih gede. Kalau yang nukar nenek-nenek atau
kakek-kakek bertubuh uzur yah nggak pa-pa lah. Toh, kondisi mereka pantas untuk
dibantu dan dikasihani.
Tapi kalau yang nukar adalah
Ibu-Ibu atau Bapak-Bapak berbadan sehat lagi subur, beuuuhhh sering ngedumel
jadinya. Hahahahaa..
Kadang-kadang sering bingung, ini
orang masih sehat kenapa malah terjun ke dunia pengemisan, bukannya nyari kerja
lain?
Aku sendiri cenderung cepat iba
jika pengemis datang dengan kondisi memprihatinkan. Tapi sering juga zaman
sekarang, rasa iba turun ke nomor sekian dalam hati. Kerap makin telisik penuh
curiga. Curiga, ini ibu-ibu beneran nggak punya, atau berakting pura-pura nggak
punya. Ini nenek-nenek beneran nggak makan seminggu, atau pura-pura akting
kelaparan. Atau ini si Bapak beneran kasihan amat hidupnya, atau pura-pura
minta dikasihani?
Jadi terkadang rasa curiga lebih
menonjol ketimbang rasa iba.
Nggak salah juga sih. Mungkin
gara-gara pengemis sekarang udah dijadikan hobi dan profesi. Banyak orang yang
keenakan ngemis dengan beragam alasan seperti di atas. Lebih hebohnya lagi,
mereka-mereka ini punya tim manajemen. Koordinator lapangan yang memantau dari
ujung jalan. Bahkan lebih seremnya lagi, ada penampung yang tugasnya tiap pagi
antarin mereka (para pengemis) pada satu titik trus sorenya jemput lagi.
Koran-koran pun udah ramai
beritakan pekara ini. Beberapa waktu lalu sempat heboh ketika sepasang pengemis
bawa uang sampai puluhan juta. Belum lagi dengar desas-desus, kalau berapa orangtua
malah nyuruh anaknya ngemis! Trus ortunya malah leyeh-leyeh di seberang sambil
mantau. Di Banda Aceh tempo hari malah lebih serem lagi. Sempat kubaca di koran.
Ada anak 13 tahun “nyulik” bocah 7 tahun untuk dijadiin pengemis! Trus ortunya
anak 13 tahun malah ngedukung tindakan si anaknya. Gile! Macem-macem dah!
Udah kayak sinetron di tipi.
Ceritaku, pernah sekali seorang
Ibu datang ke rumah. Waktunya selalu sama. Mendekati jam 11 siang. Dan selalu
ngetuk pintu halaman samping. Nyebut salam suaranya biasa-biasa aja. Kayak
suara tetangga yang lagi mau bertamu. Aku yang nggak berpikir macam-macam
langsung buka pintu. Lalu wajah si Ibu itu langsung berubah. Nelangsa dengan
suara merintih-rintih.
“Nak, Ibu nggak ada uang. Ibu
harus nembus beras di kantor camat. Ada uang nak…” suaranya penuh rintih.
Duh, kasihan amat si Ibu!
Aku langsung balik badan. Merogoh
beberapa rupiah dan menyerahkan ke si Ibu. Si Ibu menatap dengan wajah penuh
nelangsa.
“Nak, ada lagi? Ini nggak cukup…”
Lha, pake nego! Hahaha…
“Ibu lagi butuh uang” lalu ia
nyebut sejumlah nominal yang lumayan besar.
Aku balik badan lagi. Dan
menyerahkan uang yang dimaksud. Sempat bingung, ini kok pake tawar menawar kayak di warung.
Dengan suara penuh rintihan dia
mengucap ribuan terimakasih. Trus dia ceritain letak kampungnya yang ujung
entah dimana itu. Lumayan jauh.
Sempat mikir, kalau memang nggak
ada uang ngapain harus jalan segini jauh. Kenapa nggak biaya transportnya
dipakai buat nebus beras?
Hmmm… ya sudihlah..
Akhirnya aku cerita ke Ibu di
rumah. Bisa ditebak Ibu heboh tiada tara. Katanya aku kelewat baik ngasih
segitu banyak. Hahahhaha.
Eh, tak dinyana si Ibu Beras
datang lagi sebulan kemudian. Tetap dengan suara rintihan, wajah nelangsa, dan
alasan beras yang belum ditebus di kantor camat. Makin heran lagi, ini Ibu sebenarnya mau
nebus berapa karung beras sih??
Nominal yang diminta juga sama
kaya kemarin. Hmmm.. langsung jiwa perekonomianku tumbuh, ditambahi jiwa
detektif.
“Bukannya bulan kemarin udah ada
uangnya untuk nebus beras??” tanyaku.
Si Ibu gelagapan. Mungkin shock
kali ya. Dan ia pun beralasan entah apa-apa. Karena kasihan melihat ia udah
datang lagi, aku beri beberapa rupiah jauh dari yang ia minta, “ini yang ada
Bu.”
Si Ibu mematung. Diam. Trus
dengan polosnya berujar, “terimakasih ya.. Ini uangnya nggak cukup. Ibu harus
ke rumah lain lagi. Kalau disini dikasih banyak, mungkin Ibu nggak perlu masuk
ke rumah-rumah itu…” sahutnya sambil ngelirik beberapa rumah tetangga.
Lha?? Ehm! benerin kerah baju.
Lantas si Ibu Beras berlalu. Ku
ceritakan ke beberapa penghuni rumah. Nggak tau sebenarnya Ibu ini beneran
butuh uang, atau akting ngemis. Tapi yang pasti beberapa minggu kemudian cerita
seperti ini juga ku dengar dari abangku yang lagi nongkrong di warung kopi.
Ternyata si Ibu juga hadir disana dengan cerita serupa. Hmmm…
Memang beda dulu
dengan sekarang. Kalau dulu setahuku, pengemis itu sedikit sekali
pelakonnya. Mungkin dulu orang-orang lebih besar malunya. Malu untuk menjadi
tangah di bawah. Karena pegang prinsip kuat, akhirnya bikin giat kerja untuk
nyari rezeki. Cerita-cerita begini sering ku dengar dari tetangga-tetangga di
kampung.
Tapi sekarang kondisi berbalik.
Semuanya kepingin instan dan cepat. Kepingin, sekali jalan dapat uang banyak.
Kepingin cuma duduk-duduk aja tapi duitnya segambreng. Mindset mulai
berubah. Dinas sosial kayakya mulai kewalahan hadapi pengemis yang makin
merajalela. Mereka seperti paguyuban lintas umur. Mulai dari bayi di gedong
sampe orang tua. Dari yang sehat sampai yang sakit. Tak tahu lagi mana yang layak untuk dibantu dan dikasihani.
Kalau begini, aku cenderung ambil
jalan tengah. Beri seikhlasnya bagi mereka yang membutuhkan. Pekara ia beneran
butuh atau akting pengemis
jadi-jadian, yah serahin pada yang Diatas. Yang penting niatnya lurus, baik,
dan untuk membantu. Karena apapun ceritanya, membantu mereka yang kesusahan serta
kesulitan, merupakan keharusan bagi yang memiliki kelebihan.
Paling senang lagi,
kalo selepas memberi diikuti doa panjang dari mereka. Untuk yang satu ini,
sebisa mungkin aku amini semuanya. Kita tak pernah tahu, dari sekian banyak doa
yang mereka ucap, mungkin ada yang melesat ke langit-langit dan diijabah Pencipta.
Bukankah setiap kebaikan selalu ada ganjarannya?
nah.. yg lucu lagi. tu ibu mawu nebus beras. dengan baik hati kukasih 3 mok beras. eehhh malah ditolak.. ckckkcck
BalasHapushehehhe..brtti gara2 b ferhat nien iti ibu jalan2 snpe kerumah ujung. kadang2 yg bikin heran cara ngemis yg maksa itu en dtg tiap bulan. konsistens sekali itu ibu.
BalasHapus:-s Yang mirisnya ya Bang, dengar dari kawan yang kerja di Dinsos.
BalasHapusPara pengemis itu dikasih pelatihan, buat pisgor misalnya. Terus kan, waktu dikasih modal dan jualan hanya tahan beberapa hari. Alasannya kalau jual pisgor paling untung 30ribu sehari. Kalau ngemis bisa 300ribu sehari. @-)