Kubah masjid ini terdampar di tengah sawah. Jauh dari pemukiman penduduk. Bersebelahan dengan lereng gunung.
SEPEDA motor kuarahkan menuju jalan utama Ujung Pancu. Suara ombak bergemuruh pelan. Dulunya saat tsunami Aceh kawasan ini terbilang parah. Tapal batas sisa rumah masih terlihat. Sebagian bersanding dengan rumah baru bantuan donatur. Sebagian lagi dibiarkan apa adanya. Rumput menjalar tak karuan. Bisa jadi, tak ada lagi ahli waris yang mengurusinya. Sebuah tugu berbentuk tiang menjulang tinggi di tepi jalan. Itu sebagai tanda ketinggian air di daerah ini sewaktu tsunami dulu.
Perjalananku pagi ini bersama
teman-teman menuju ke tempat yang sudah lama aku incar. Kubah Masjid Al-Tsunami
begitu orang-orang menyebutnya. Kubah ini letaknya di tengah sawah, di sekitar
lereng gunung. Hanya kubah! Tidak ada bangunan utuh selayaknya masjid. Siapapun
yang melihatnya pasti akan mengernyit. Bagaimana mungkin sebuah kubah bisa ada
di tengah sawah. Ini adalah bukti kesekian bagaimana dahsyatnya tsunami menyapu
segalanya.
Aku menjumpai Pak Darmawan ketika
tiba di lokasi. Ia menyambut ramah lalu mempersilahkan kami mengisi buku tamu.
Di meja juga kulihat beberapa souvenir Aceh yang dijajakan untuk pengunjung.
Seperti dompet Aceh, atau kipas rotan. Selemparan batu dari meja, terdapat
celengan besi yang digunakan untuk menampung sumbangan pengunjung.
Pak Darmawan bercerita banyak.
Dulunya kubah ini bagian dari Masjid di desa Lamteungoh yang berjarak 2,5 KM
dari tempat kami berdiri sekarang. Tsunami menghancurkan bangunan masjid. Air
tinggi menyeret kubah hingga terdampar di tengah sawah desa Gurah, Peukan Bada.
Aku mencoba menggali banyak
kejadian saat itu. Rupanya Pak Darmawan tak berada di lokasi ini saat kejadian.
Ia juga mendengar penuturan warga yang selamat.
“Sewaktu tsunami saya di Blang
Pidie,” jawabnya.
Konflik Aceh kala itu
membuatnya terpaksa mengungsi. Dulunya kawasan ini termasuk zona merah. Mungkin
bisa jadi karena dikelilingi lereng gunung, yang kerap dijadikan tempat
persembunyian mereka yang bertikai.
Pak Darmawan bercerita, ia tahu
jika kampungnya dihempas tsunami melalui televisi. “sewaktu itu saya nonton di
warung kopi. Begitu tahu tempat saya rata kena tsunami, saya langsung pingsan,”
Selepas itu pikirannya tak lagi
nyaman. Terus teringat orangtua dan sanak saudaranya. Ia pun memilih kembali ke
desa Gurah. Menyaksikan dengan nyata kerusakan parah. Rumah rata, pohon-pohon
tercerabut, hingga mayat bergelimpangan.
Ada yang menggelitik bagiku apa
yang dilakukan Pak Darmawan ini. Bayangkan kubah ini berada jauh dari hiruk
pikuk pemukiman warga. Tapi Pak Darmawan memberikan seluruh hidupnya untuk
mengurusi lokasi ini. Ia pun terbilang gencar mengumpulkan dana untuk membuat
lokasi ini menarik hingga tidak dilupakan.
“Ibu saya meninggal ketika
tsunami. Sampai sekarang jasadnya tak tahu dimana. Tapi saya sering bermimpi,
jika jasad Ibu tertimbun oleh bangunan masjid yang hancur. Dan saya meyakininya
disini,” cerita Darmawan saat kutanya.
Dan baginya, menjaga lokasi ini
bukan sebatas menjaga situs tsunami. Tapi lebih dari itu: menjaga ‘makam’ Ibu.
Menurut cerita yang ia, saat tsunami ramai warga yang
berpegangan pada tiang-tiang masjid. Bisa jadi di bawah kubah ini masih
tertimbun jasad warga.
Aku melihat lebih dekat. Melongok
ke dalam kubah yang cekung. Setiap kali aku dan teman-teman berbicara, suara
terdengar bergema. Teras kubah yang menjadi altar tiang terlihat samar terkubur
dalam tanah.
Selain kubah, di area tak
luas ini juga ada balee. Semacam
pondok peristirahatan. Balee ini bersebelahan
dengan sumur. Di dalamnya terdapat beberapa foto ketika awal pertama kali kubah ditemukan. Selain itu juga terdapat beberapa foto suasana tsunami di
beberapa lokasi di Aceh.
Walaupun terbilang jauh dari
pusat kota Banda Aceh, ternyata tempat ini kerap disambangi pengunjung.
Pak Darmawan mengaku, wisatawan Malaysia sering datang kemari. Selain untuk
melihat-lihat, mereka kerap menyerahkan sedikit dana untuk perawatan kubah.
“Sepertinya lokasi ini sudah
terkenal di Malaysia. Setiap kali wisatawan Malaysia ke Aceh pasti mereka
singgah kemari” sahutnya.
##
Sudah lumayan terawat lokasi wisata sejarah tsunami ini, semoga semakin banyak informasi yang di dapat dari gampong Gurah ini. Setidaknya masyarakat gampong bisa menjaganya ke depan :)
BalasHapusbener sekali aulia.. tpi sokongan dana juga penting demi kebaikan tempat ini. mudah2n dinas terkait memperhatikannya..
HapusWah, ini situs tsunami paling jarang diliput.
BalasHapusKapan-kapan kita harus jalan-jalan cari yang kayak gini..
8-)
benar sekali dek Nazri...
HapusDengan siapa perginya hat? kulihat ada empat orang itu
BalasHapusada Isni, Junaida, Aslan, Adit jg pergi..
Hapusbang... ajak mirdha lah untuk yg moment seperti ini....
BalasHapusiy,,iy,,,iy,,,,
akan menjadi sejarah akan dipetik oleh anak cucu kita dan bisa mengenang masa masa tsunami yang telah berlalu pergi tanpa sisa
BalasHapusbanyak cerita disana, banyak makna, hal semacam ini menggelitik imaji - apa, mengapa dan bagaimana? Mungkin kalau boleh saya tebak2 manggis he-he (ada persepsi mistis - ciri khas orang Indonesia), itu sah-sah saja---apa yah cerita mistisnya? :)
BalasHapusSungguh cerita yang asyikkk
Salam Saya Ms Ferhat...
hahahaha kubah mesjid al-tsunami, ini nama yg unik :D
BalasHapuslokasi wisata ini jarang kita dengar, monza aja baru tau nih dari blog abg :D
Foto-fotonya menghadirkan pilu, Ferhat!
BalasHapusSekarang kondisinya sudah subur dan rapi ya, masyaallah
BalasHapus[-( belum pernah ke sana
BalasHapusrute untuk menuju kesana lewat mana bg? mungkin bisa dikasih peta atao semacamnya..
BalasHapusAssalamualaikum Encik Ferhat Muchtar. Saya seorang writer novel dari Malaysia. Izinkan saya mengambil sedikit kisah dan maklumat tentang Aceh di blog ini ye. Untuk pedoman semua insan. jika anda keberatan untuk membenarkan, sila beritahu saya di email ukhti1805@gmail.com
BalasHapussalam..
BalasHapusboleh, dengan senang hati..
sila ambil informasi mengenai kisah dan maklumat di blog saye..
semoga berkenan dan membantu encik
--