#e39608 Aku Mimpi Ayah - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

Aku Mimpi Ayah

AKU MIMPI AYAH

Aku mencintai mimpi. Mimpi adalah bintang yang bershalawat di badar-badar langit. Itu dulu, tidak kali ini. Ayah mengunjungiku dalam mimpi dan aku tidak senang dibuatnya.
Kerap malam kejadian ini menimpa. Dan aku hanya mampu menyembunyi dengan keringat pertanda ketakutan selepas itu. Ibu tak tahu dan aku merasa tak perlu menceritakan ini padanya. Cukup aku ditegur Ayah dalam mimp sebab ia membenciku. Benci karena kelemahan dan kebodohan diamku yang tak ingin berterus terang, terlebih tak berani mengkhianati Ibu dan menempeleng lelaki itu.


Mulaki, lelaki kukenal dua bulan yang lalu. Dan terang-terangan Ibu mengaku itu selingkuhannya. Hanya kepadaku, dan aku diminta tak perlu mengadu kepada Ayah. Mereka berdua kerap memadu kasih saat Ayah melaut. Lumrahlah hingga akhirnya aku mendengar cakapan mereka hingga pagi menegak.
Aku sebenarnya tak suka dengan laku Ibu seperti ini. Seakan tak pernah sadar, sebagian kakinya telah menyerusuk dalam liang lahat. Ia merasa diri muda. Mengalahkan remaja-remaja desa yang tak kalah genit dibanding polahnya itu. Aku muak. Pernah sekali ku hantam lelaki itu hingga ia terjerembab. Malah aneh kurasa selepas itu. Ibu murka besar. Ditamparnya aku berulang kali hingga jejak telapak tangannya merekam merah dipipiku.

Cukup dewasa Ibu mengetahui apa yang salah, tapi ia tak peduli. Baginya Mulaki lelaki idam-idamnya sepanjang masa. Hingga fajar menyingsing, jendela kamar dibuka tergesa. Mulaki lari dari arah sana. Menyerusuk dalam keremangan fajar dan tenggelam dalam hutan bakau. Ibu tersenyum, merindu segera hari esok.

Dalam lelah aroma garam laut Ayah pulang membawa ikan tak seberapa. Ibu merasa lelah menghadapi lelaki tua itu. Ragam cara dilakukannya. Melakon gaya bak pemain drama, ia bersapa penuh kecut. Kusayangi Ayah dengan keadaan ini.
”Mengapa kamu tak mengusir lelaki itu?”
Masih terngiang ucapan Ayah dalam mimpi malam. Ingin rasanya kujawab sekeras mungkin kalau aku pernah melakukan itu. Namun bibir ini seperti susunan batu bata yang semakin keras dipanggang api. Ingin kucerca dengan segala cerita tentang usahaku menyingkirkan lelaki itu; mendampratnya, mencaci, menendang, mengusir, hingga usahaku yang terlemah melarikan diri dari rumah. Namun lagi-lagi aku kalah.

Tak kuasa hidup dalam pengasingan dengan segala keterbatasan. Aku terlalu tunduk pada Ibu.
Ayah yang pulang tiba-tiba memukul Mulaki yang merangkul Ibu dengan mesra didalam kamar. Selingkuh, kata yang terus diucap Ayah. Mulaki terjerembab, pelipisnya luka tergores segi meja.
Suara Ibu melengking, kemarahan bercampur ketakutan. Ia menghujam Ayah dengan kata-kata tak megah. Seharusnya wanita itu meminta maaf namun urung diucapnya. Ia lantas membantu Mulaki untuk berdiri sigap. Aku berdiri dipojok ruang dan mengambil kesimpulan kalau Ibu membela lelaki kumis itu. Hal yang sudah ku lumrahi jauh sebelum Ayah tahu.

Ayah seperti sapi gila yang terus menyeruduk. Membanting apa yang ada hingga mengambil golok dibalik guci. Hujan berdera-dera diluar sana, ditingkahi deru ombak yang tak putus-putus. Bunyi petir menggelegar selaksa seperti getaran amarah.
Ayah dan Mulaki menegang dengan mata memerah. Silangan tangan mereka layaknya tontonan silat yang sering dipertontonkan di Balai Desa menjelang agustusan. Teriakan Ibu seperti kesurupan, lolongan suaranya merindingkan bulu kuduk. Kutengahi tikaian itu menarik tubuh Ayah hingga ke pinggir. Ayah menepis, meronta-ronta dengan garang. Dihentak-hentaknya kaki hingga berderit-derit lantai kayu.

Seperti tersetrum aku akhirnya. Emosi Ayah mengalir dipikiranku. Kutendang Mulaki sekuat tenaga, tubuhnya terjerembab untuk keduakalinya. Ibu semakin tak karuan. Ditamparnya aku keras, ”Aku tak pernah mengajarimu seperti ini!!”.
”Aku benci dia, Ibu!! Ibu keterlaluan!,”
”Kurang ajar!!” perut buncit lelaki selingkuhan Ibu kutendang lagi. Ia meringis, mundur beberapa langkah sambil memegang perutnya.

Hujan semakin berdera-dera. Kerasnya angin membuat jendela rumah berderit-derit tak beraturan.
Mata Ayah memerah seolah ingin melahap lelaki itu bulat-bulat. Amarah seakan menembus tengkorak kepalanya. Ibu berdiri di sudut ruangan. Barukali ini kulihat wajahnya pias. Mungkin ketakutan bila Mulaki tewas ditangan Ayah, sebab Ayah kini menggenggam golok karatan yang lama tak dipakainya. Namun Mulaki lebih layak disebut pendekar, Ayah lawan yang terlalu biasa dimatanya.

Tanpa perlawanan lelaki penuh nafsu itu menghunus Ayah. Ia terkapar seperti ayam dipenggal leher. Aku meraung-raung seperti bocah ketakutan melihat setan. Kugenggam golok yang tertancap diperutnya. Ibu memekik hebat mengundang tetangga berdatangan. Walau hujan suaranya menguasai malam.
Ramai yang datang akhirnya. Dan mata mereka menatap seperti tak yakin. Bertanya sambil menduga mereka menyebut aku sebagai pembunuh Ayah, dan Ibu dengan gilanya membenarkan itu. Mulaki tanpa berdosa
turut menangisi tubuh Ayah walau kulihat ia tak mampu membunuh ketakutan.

Warga menghujat berapi-api. Aku berusaha untuk menjelaskan perkara ini tapi terasa sukar selayak mengurai benang kusut. Aku kesulitan memulai darimana, terlebih muka beringas warga kampung serta hujatan yang tak kunjung reda membuatku kegalapan. Telanjur cepat Ibu berubah sesosok malaikat di mataku. Dengan mata sembab ia meminta agar masalah ini tak diselesaikan secara hukum dan tak perlu diperbesar-besarkan. Ia ingin menyelesaikan secara kekeluargaan, walau alasan itu membuat warga sedikit mengernyit. Namun kelincahan lidah Ibu menggubah cerita indah yang entah kapan ia susun membuat warga mahfum dan berlalu begitu saja.

Dimana petang-petang telah tenggelam dibalik bukit, serta angin yang tak lagi berdepa-depa. Di namaku telah tersemat pembunuh. Sedangkan Ibu dengan leluasa bersama Mulaki, dan mengganggapku seperti angin semilir.

Lepas itu Ayah menjadi momok menakutkan dalam mimpiku. Saban malam mengunjungi dalam mimpi dengan wajah mengerikan. Aku ketakutan. Tidurku tak tenang. Berulang-ulang ia hadir. Dan yang paling memuakkan, aku tak mampu menjelaskan duduk pekaranya kepada Ayah. Bibirku kelu. Sukar untuk berujar.
”Mengapa kau tak mengusir lelaki itu?! Kamu takut…”
”Usir lelaki itu dari rumah ini!!”
”Jangan jadi lelaki lemah, usir dia!!”
Dengan mata kuyu berjubah putih ia selalu hadir. Aku ketakutan. Menjerit dalam mimpi hingga terbawa ke alam nyata. Dan biasanya Ibu menghujatku bahkan ia pernah memercikkan air ke muka hingga aku terjaga, ”Kamu selalu ribut! Apa yang kamu mimpikan?!”

***

Sepi merangkul rumah. Sudah beberapa hari ini Mulaki tak datang ke rumah. Aku tak begitu peduli sebab itu bukan urusanku. Suara cakapan tak kudengar malam ini. Ibu hanya sendiri, hingga kuyakini sebuah suara mengetuk terdengar nyaring.

Ketukan tengah malam yang membuatku bertanya, siapa diluar sana? Malam larut seperti ini jarang yang ingin bertamu. Suaranya semakin menderas keras. Kutunggu beberapa saat berharap Ibu terbangun untuk membuka pintu. Mungkin Mulaki datang setelah berjanji dengan Ibu.

Namun ketukan itu semakin keras membuatku tak sabar. Untuk apa lelaki itu datang tengah malam begini? Kembali terngiang perkataan Ibu sudah-sudah, ”Jika Mulaki datang, lekas buka pintu!! Dan persilakan ia masuk. Tak masalah jika itu malam hari”

Aku tak ingin diguyur amarah atau tempeleng pedas dari tangannya yang tak pernah mengurusi rumah. Bergegas aku memberanikan diri. Ketika ketukannya terdengar semakin keras, aku semakin tergesa.
Tanpa perlu menyibak tirai, cepatku memutar kunci. Kagetku berubah ketakutan. Lelaki yang ingin kuhindari kini hadir didepanku!
Mata kuyu berjubah putih itu hanya diam tanpa ekspresi. Aku mati langkah. Peganganku pada gagang pintu melemah. Aku gemetar.

Perlahan dia berlalu tanpa melirikku. Masuk ke kamar Ibu yang berjarak tak jauh dari pintu masuk. Berselang menit kemudian, kudengar Ibu berteriak tak karuan.
Perasaanku berubah. Dan bersegera ingin tidur.

About Ferhat Muchtar

Ferhat Muchtar
Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker. Teller Sampai Teler.
Suka makan kuaci. Tukang koleksi buku.
email: ferhattferhat@gmail.com
Tulisan yang mungkin kamu suka × +

0 komentar:

Posting Komentar