#e39608 Nestapa Pengrajin Belanga di Ateuk Jawo, Aceh - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

Nestapa Pengrajin Belanga di Ateuk Jawo, Aceh





Banda Aceh terus berbenah. Bersalin rupa dengan bangunan menjulang adalah penanda bergeliatnya pembangunan. Namun ini tidak berlaku bagi para pengrajin beulangong (belanga) di Desa Ateuk Jawo, Banda Aceh. Nestapa terasa merongrong pelan-pelan keberlangsungan usaha yang mereka lakoni sejak berpuluh tahun lalu. Setelah sepetak tanah leluhur tercemar limbah, mereka pun dihadapkan kesulitan mencari bahan baku; tanah liat.

Keluh kesah ini saya dengar dari Nuriah, seorang pengrajin, yang saya temui penghujung April lalu di rumahnya. Ia telah melakoni usaha ini sejak muda, bahkan usaha ini telah berlangsung turun temurun dari leluhurnya. Saat ini ia merasa lingkungan tidak lagi bersahabat. Hal ini dimulai setelah tsunami berlalu. Tanah luas di Desa Ateuk Jawo yang dulunya adalah sumber bahan baku usahanya, kini berubah menjadi barisan perumahan, pertokoan dan usaha lainnya.
“Setelah tsunami kami kesulitan mencari bahan baku. Tanah di sini semuanya dibangun perumahan. Makanya makin sedikit yang mau buat beulangong,” keluhnya.

Desa Ateuk Jawo sejak dulu dikenal sebagai salah satu daerah pengrajin beulangong di Banda Aceh. Desa di kecamatan Baiturrahman ini menghasilkan beulangong dengan kualitas baik jika dibandingkan daerah lainnya di Aceh. Keunggulan ini juga diakui Nuriah, “banyak orang yang ambil beulangong di sini, katanya lebih bagus dan kuat. Bisa jadi karena tanah di sini lebih bagus.”

Seorang pengrajin sedang membuat beulangong

Proses pembuatan beulangong terbilang cukup panjang. Tanah terlebih dulu dicampur pasir dalam takaran seimbang, lalu diinjak-injak hingga keduanya lumat dan siap dibentuk. Tahap selanjutnya, beulangong dijemur hingga kering lalu diwarnai dengan tanah kawie dan digosok dengan batu bulie hingga licin. Beulangong yang telah jadi lantas dibakar dalam tumpukan jerami hingga siap dipakai. Proses panjang ini ternyata dihargai murah, tidak sesuai dengan pengerjaannya yang lama. Untuk beulangong ukuran sedang misalnya, dihargai hanya Rp 12.500 per buahnya.

Geliat usaha ini semakin menurun. Nuriah sadar, usaha turun temurun ini lambat laun akan hilang sebab kurangnya pengrajin dan sulitnya bahan baku. Bahkan saat ini tercatat, di Desa Ateuk Jawo hanya tersisa lima pengrajin beulangong yang semuanya perempuan berusia lanjut. Padahal dulunya, produksi beulangong berkembang pesat di beberapa desa seperti Ateuk Munjeng, Penyeurat, hingga Neusu. Namun miris, ketersediaan tanah dan perubahan lingkungan masyarakat membuat usaha tradisional ini pelan-pelan meredup. Nyatanya hingga kini, hanya Desa Ateuk Jawo yang masih bertahan.

“Kami kesulitan cari tanah sekarang, semuanya berubah jadi perumahan. Dulu cari tanah paling gampang, tapi sekarang kami harus cari dimana orang gali pondasi di situ kami ambil tanah. Sering juga tanah yang kami ambil, kami simpan sampai berbulan-bulan untuk stock,” ujar Nuriah.

Usaha pembuatan beulangong telah berlangsung lama di Ateuk Jawo

Saya bersama beberapa pengrajin beulangong di Desa Ateuk Jawo

Lingkungan sekitar seakan tidak lagi bersahabat dengan usaha turun temurun ini. Berulangkali masalah ini dilaporkan ke Pemerintah Kota. Namun nyatanya tidak ada solusi hingga sekarang.
“Dulu Walikota janji kasih sepetak tanah untuk kami jadi sumber tanah liat. Tapi sampai sekarang tidak ada tanah itu.”
Bagi Nuriah dan pengrajin lainnya, sepetak tanah mampu menjadi penyambung kelangsungan usaha yang telah dilakoni lintas generasi ini. Sebab dulunya, mereka memiliki sepetak tanah yang dijadikan sumber tanah liat sebagai modal pembuatan beulangong. Tanah ini digunakan turun temurun hingga berpuluh-puluh tahun lamanya.
“Kami punya sepetak tanah punya orangtua dulu. Dari sana dulunya kami ambil tanah liat berulang-ulang sampai berlubang dalam sekali. Tapi sekarang, orang-orang malah buang limbah ke sana. Jadi tanahnya tergenang air nggak bisa dipakai lagi. Nggak taulah mau buat gimana lagi...”

Hal serupa juga diakui Mak Ti, seorang pengrajin yang saya temui di rumah berbeda. Mak Ti masih memiliki tali persaudaraan dengan Nuriah. Di rumahnya yang sederhana, Mak Ti melakoni usaha serupa dalam usianya yang mendekati 80 tahun.
“Sekarang susah sekali cari tanah untuk bikin beulangong, nggak kayak dulu...” keluhnya.

Mak Ti lalu mengajak saya ke belakang rumahnya. Ia ingin memperlihatkan proses pembakaran beulangong sekaligus menunjukkan lokasinya. Saya mengikutinya dari belakang, melintasi kandang ayam dan bebek serta melompati parit kecil. Sebuah tanah lapang terbentang dikelilingi rindang pohon nipah. Beberapa bilah kayu bakar tersusun rapi di sudut-sudut pohon. Di bagian lain, jerami terbungkus rapi di dalam karung. Di tengah tanah lapang inilah Nuriah, Mak Ti dan tiga pengrajin lainnya membakar beulangong.
“Ini tanah orang. Saya tidak tahu harus buat apa lagi kalau tiba-tiba tanah ini dibangun ruko atau perumahan juga. Saya dengan kawan-kawan nggak tahu harus bakar beulangong dimana lagi.” keluh Mak Ti yang berharap memiliki mesin khusus untuk membakar beulangong.

Beulangong yang siap dibakar
Tanah ini seakan menjadi saksi bagaimana semangat sekelompok perempuan berusia lanjut meneruskan usaha tradisional beulangong. Tanah adalah permasalahan besar bagi para pengrajin ini. Tidak ada tanah berarti tidak ada kelanjutan usaha. Dan Nuriah yakin, jika ini terus berlangsung, maka usaha ini perlahan akan hilang. Setidaknya tiga desa telah membuktikan itu: Neusu, Penyeurat, dan Ateuk Munjeng yang dulunya dikenal sebagai sentral usaha beulangong dan tembikar kini tidak lagi berproduksi.

Semangat para perempuan beulangong mempertahankan warisan leluhur Aceh digempur dengan beragam persoalan. Bukan hanya minimnya pelakon yang ingin meneruskan produk lokal ini, tapi juga keterbatasan lahan sebagai sumber utama usaha beulangong. Kesulitan memperoleh tanah di tengah modernisasi Banda Aceh menjadi racun tersendiri bagi usaha yang digeluti kaum janda ini. Semangat sekelompok perempuan tua mempertahankan Desa Ateuk Jawo sebagai sentral produksi beulangong, seakan tidak diiringi keberpihakan lingkungan kepada mereka. Sudah semestinya, Pemerintah menyediakan lahan baru bagi mereka sebagai sumber tanah liat. Atau setidaknya, merevitalisasi kembali sepetak tanah warisan leluhur mereka yang kini telah bercampur limbah. 
***








About Ferhat Muchtar

Ferhat Muchtar
Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker. Teller Sampai Teler.
Suka makan kuaci. Tukang koleksi buku.
email: ferhattferhat@gmail.com
Tulisan yang mungkin kamu suka × +

2 komentar:

  1. sampai foto-fotoan sama ibu-ibu, keren :D

    BalasHapus
  2. Maaf kalau boleh taub,di ateuk jawo dimananya admin ferhat muchtar?

    BalasHapus