#e39608 Tentang Seorang Teman Penggila Purnama - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

Tentang Seorang Teman Penggila Purnama


Saya mengenalnya pertengahan tahun 2012 silam. Saat itu, tanpa sengaja menemukannya di tumpukan peserta kelas menulis FLP. Perawakannya tinggi besar, wajah keras, dengan dagu sedikit mendongak. Melihatnya, saya teringat dengan pemeran antagonis di sinetron Indonesia. Saya bersyukur, saat berjumpa ia tidak mengenakan jas hitam dengan kacamata gelap. Jika seperti itu, ia akan terlihat seperti penculik anak ketimbang simpatisan FLP.

Berhari selanjutnya, saat kelas menulis FLP, ia datang lagi. Saya mulai tahu, ternyata ia juga gemar menulis. Konon terdengar, ada banyak tulisan yang ia publish di note facebook dan blog rahasianya, yang kemudian satu persatu ia hapus pelan-pelan. Ia menyukai purnama. Maka tulisannya akan muncul saat bulan tepat berbentuk sempurna. Puisi-puisi absurd yang cuma ia dan Tuhan paling tahu. Dan mengenalnya dari barisan kelas menulis, saya menyadari, ia tidak seseram penculik di sinetron. Wajahnya keras tapi hatinya lunak selayak ustadz yang pernah ia cita-citakan saat duduk di bangku SMA.

Saya teringat, kapan kami mulai membaur. Suatu hari, selepas kelas menulis FLP, ia berencana membeli sepatu kantor yang membuat kami harus memutar-mutar Pasar Aceh. Dari sanalah, kebiasaan tak disepakati itu terbentuk. Ia kerap datang ke rumah, untuk membahas hal remeh temeh terkadang penting dan tak penting. Biasanya duduk di teras hingga larut malam, bahkan nyaris pernah hingga subuh. Karena jalur alamat rumah kami berdekatan, ia menjelma jadi tukang antar jemput jika bepergian kemana saja. Dan saya menyadari, ada begitu banyak liter bensin yang terselamatkan dari motor saya.

Ada banyak hal jika sedang berkumpul dan berjumpa. Terlebih lagi, kami berdua cenderung memiliki prinsip sama; anti terjebak pacaran ala anak muda, dan hobi makan bakso atau ayam penyet. Karena kerap berdua, dugaan terdengar pun jadi tidak-tidak. Ah, biasalah orang kita. Berdekatan dengan lawan jenis disebut pacaran. Terlalu dekat dengan sesama jenis dikira hombreng (arrgghh). Dan dugaan terakhir itu paling sering terdengar. Masa bodo’. Karena paling tidak senang mengurusi hal-hal tidak penting, kami anggap itu sama sekali tidak penting.

Selain warung bakso dan gerai ayam penyet, warung kopi juga media tempat kami berkumpul. Bersebab sering nongkrong bersama, tipikal masing-masing pun terbaca. Ia gemar bercerita. Terkadang cerita tak penting dibuat seakan seru sekali menyaingi film action di serial TV, ditambah dengan mimik dan geraknya yang heboh sendiri. Banyak hal dicerita, sampai saya bosan dan menguap mendengarnya. Tentang Yoyong-kucing kesayangannya, video lucu yang ada di youtube, teman kantor, film-film, status facebook orang, tentang bakso, imajinasinya, hingga kucing melahirkan. Dan saya tipikal cepat bosan mendengar orang bercerita jika terlalu standar (hahahahaa), yang ujung-ujungnya gampang ngantuk. Mungkin ceritanya cuma ditangkap di sepuluh menit pertama, selebihnya pura-pura nyimak walau dalam hati mulai ngedumel “ni orang kapan selesai seh, ceritanya.”

Pernah sekali, saat lebaran, ia terlalu banyak cerita yang beberapa bagian diselingi becanda. Seperti biasa, ceritanya biasa aja, tapi diceritakan seakan sangat luar biasa ditambah imajinasinya ala-ala Hollywood. Karena mulai bosan, saya izin pamit numpang shalat di kamarnya. Sebenarnya modus, karena ujung-ujungnya saya numpang tidur di kamarnya sampai maghrib ketimbang nyusul dan mendengar ceritanya lagi di ruang tamu. Lain waktu, jika saya kelewat lama bertamu ia tidak segan-segan mengusir, “pulang Bang, udah lama kali.” Hahahaa… Hal sama juga berlaku, pernah sekali ia berlebaran ke rumah dan agak lama pulang, saya juga mengusir.
Kelewat masa bodo’, akhirnya masing-masing berusaha mahfum. Ia tahu dan pandai membaca karakter orang. Mungkin pekerjaannya yang mengajari hal itu. Maka, saat ngumpul di warung kopi, ia akan paham saat saya lebih cenderung menghabiskan waktu mendengar musik atau sibuk dengan laptop, ketimbang berbicara panjang lebar.

Tapi itu tergantung. Jika pembahasan benar-benar serius, kita akan seperti satpam yang siaga di pos ronda. Mendengar panjang dengan beragam solusi dan ikhtiar. Kadang-kadang menasehati sesama, terkadang juga saling menghina-dina. Maka disitu saya meletakkan ia di atas rata-rata teman kebanyakan. Ada banyak teman di luar sana, namun sedikit patut disebut sahabat. Dan ia berada dalam barisan sedikit itu. Dengan dia, tidak lagi menjadi orang asing atau mempertahankan gengsi. Hal kebalikan juga berlaku darinya.

Namun tak semuanya berjalan mulus. Ada suatu masa saya dan ia menjadi ganjil. Ada satu titik kebersamaan ini terhenti. Itu beberapa tahun lalu. Terjebak dalam cerita rumit dan sulit. Terkadang berjumpa, tapi terasa ada sekat dan dinding pemisah hingga jatuh penuh basa-basi. Masing-masing terjebak dalam dugaan. Tahu ada sesuatu yang disembunyikan dan diceritakan di belakang sana. Alhasil, masing-masing memilih mundur. Terkurung dalam dugaan tanpa penjelasan, bermain-main dalam wasangka. Disaat itu, tidak ada lagi ketawa hahaha hihihi, tidak ada lagi nongkrong di warung kopi, tidak ada lagi bercerita remeh temeh, berkeliling mencari sesuatu, hingga absen bertamu di hari baru. Semuanya memilih tenggelam dalam cerita rumit dengan sangkaan masing-masing. Ada jumpa, tapi terlihat penuh basa basi. Entah kenapa, di masa itu saya merasa terpisahkan. Ditinggalkan dalam hiruk pikuk keseruan yang pernah ada dan ikut larut di dalamnya. Seperti murid SD ditinggal istirahat di pojok kelas, tidak terlibat dalam hiburan sekolah.

Hingga suatu ketika, saat itu Jumat. Bertemu di sebuah masjid, singgah sebentar di tempat penjual buah dan berlanjut ke warung makan. Dan keganjilan itu seakan selesai selepas menghabiskan makan siang. Masing-masing mengutarakan hal mengganjal. Dan ternyata benar, kerumitan akan selesai jika ada penjelasan. Mungkin salahnya, saat itu terlalu terjebak dalam satu sisi. Terjebak dalam diskusi satu pintu sehingga bermain-main dengan akal pikiran sendiri. Hari itu, kami menghabiskan waktu hingga menjelang maghrib. Bahkan gara-gara ini, saya harus bolos masuk kantor selepas istirahat siang.

Saya menghela nafas dengan kekonyolan ini. Belajar tentang kesetiaan pada teman, namun terkadang kita lupa bagaimana berlaku adil dalam kesetiaan. Hal ini sempat saya tegur padanya pada suatu malam saat mengendarai motor, hal yang ia sadari di kemudian hari. Lain waktu saya menegur sikapnya yang angin-anginan dan moody-an kelas kakap. Belum lagi tipikal borosnya yang terlalu duniawi. Hal sama juga berlaku, beberapa hal tak ia senangi dari saya juga diutarakan. Berdua kami mengoreksi hal-hal tak baik, dan berusaha menjadi baik. Dan untuk pertamakalinya, kami berdua ikut itikaf saat Ramadhan tiba. Hal yang tak pernah sama sekali kami lakukan sebelum itu.  Walaupun akhirnya, lebih banyak ngobrol ketimbang ngaji, dan menyusun jadwal kapan membeli baju lebaran. Hadeuh!
Lain waktu, kami juga menghabiskan waktu di Masjid. Masjid Oman adalah pilihan terfavorit kami. Terkadang, sambil menunggu adzan, kami berdiskusi bercerita tentang banyak hal di selasar tangga; tentang rezeki, keluarga, persahabatan, kegelisahan hidup, pekerjaan, kematian, hingga tentang jodoh dan perkawinan.

Semakin dekat, semakin banyak hal yang diceritakan. Darinya saya belajar, bagaimana menjadi penjaga rahasia terbaik dan menjaga perasaan orang lain. Ia tak mudah percaya kepada orang lain, ia juga gampang kecewa terhadap orang lain jika tidak sesuai dengan ekspektasinya. Saya teringat, dulu, ia pernah berujar jika ia hanya mempercayai saya 40%. Namun nyatanya, kini, hampir semua kisah hidupnya ia ceritakan. Hal sama juga saya berlakukan padanya. Maka, dalam berbagai momentum hidup, ia adalah orang pertama tempat bercerita dan dikabarkan. Kebalikan juga, untuk beberapa hal dalam hidupnya, saya orang pertama tempat bercerita dan diberitahukan. Dan ini adalah tingginya sebuah kepercayaan. Jika harus menyusun, namanya akan masuk lima besar teman terbaik penjaga rahasia.

Hingga akhirnya, kita akan berhenti pada satu titik kehidupan. Ketakutan yang terus ia ulang-ulang kalau sedang berkumpul, “nanti kalau udah married, udah susah diajak lagi. Udah ada orang lain.”
Hal sama yang juga ia utarakan saat lebaran kedua. “sedih kali aku. Gak percaya sabtu depan abang nikah. Kehilangan besar awak.” ujarnya via BBM sambil mengirim emotion cry..

Dan kita sepakat seperti ungkapan David Tyson Gentry, “true friendship comes when the silence between two people is comfortable”

Untuk teman yang sering traktir makan, yang sering bolak balik ke rumah, yang minta dituliskan note ini.

Terimakasih, Birrul Walidain!

***


                                                                                                                         Banda Aceh, 21 Juli 2015







About Ferhat Muchtar

Ferhat Muchtar
Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker. Teller Sampai Teler.
Suka makan kuaci. Tukang koleksi buku.
email: ferhattferhat@gmail.com
Tulisan yang mungkin kamu suka × +

1 komentar:

  1. Janggal rasanya membaca ungkapan hati seorang pria kepada teman prianya. Memang pandangan masyarakat terlalu kuat terbentuk, bahwa pria yang terlalu intim dengan sahabat prianya diasumsikan macam-macam. Tapi tulisan ini menunjukkan bahwa dalam persahabatan kaum adam ternyata tidak jauh berbeda dengan cerita persahabatan kaum hawa :)

    Selamat memasuki fase baru di hari Sabtu bang.

    Sahabat tidak selalu harus jalan dan bertemu sesering yang sinetron gambarkan, di dunia kita, sahabat terkadang cukup kita 'hidupkan' di hati :D

    BalasHapus