#e39608 Pengemis Masa Kini - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

Pengemis Masa Kini

sumber foto: www.nyunyu.com


UNTUK zaman sekarang, sepertinya makin sulit bedain mana pengemis beneran, dengan orang yang berakting untuk ngemis. Kalau kategori terakhir ini, menurutku semakin ramai akhir-akhir ini. Mungkin beragam alasan. Mudah dapat uang banyak, prosesnya cepat, ditambah juga malas kerja.

Dulu sewaktu masih kerja di bank dan sering ngurusin remeh temeh perbankan di Bank Indonesia, aku kerap ketemu pengemis di counter BI. Tujuan mereka selalu sama: tukar uang.
Kebanyakan pengemis uangnya kecil-kecil. Hasil sumbang orang-orang. Jadi mereka-mereka ini ke BI untuk nukar ke dalam lembaran uang yang lebih gede. Kalau yang nukar nenek-nenek atau kakek-kakek bertubuh uzur yah nggak pa-pa lah. Toh, kondisi mereka pantas untuk dibantu dan dikasihani.
Tapi kalau yang nukar adalah Ibu-Ibu atau Bapak-Bapak berbadan sehat lagi subur, beuuuhhh sering ngedumel jadinya. Hahahahaa..
Kadang-kadang sering bingung, ini orang masih sehat kenapa malah terjun ke dunia pengemisan, bukannya nyari kerja lain?

Aku sendiri cenderung cepat iba jika pengemis datang dengan kondisi memprihatinkan. Tapi sering juga zaman sekarang, rasa iba turun ke nomor sekian dalam hati. Kerap makin telisik penuh curiga. Curiga, ini ibu-ibu beneran nggak punya, atau berakting pura-pura nggak punya. Ini nenek-nenek beneran nggak makan seminggu, atau pura-pura akting kelaparan. Atau ini si Bapak beneran kasihan amat hidupnya, atau pura-pura minta dikasihani?
Jadi terkadang rasa curiga lebih menonjol ketimbang rasa iba. 

Nggak salah juga sih. Mungkin gara-gara pengemis sekarang udah dijadikan hobi dan profesi. Banyak orang yang keenakan ngemis dengan beragam alasan seperti di atas. Lebih hebohnya lagi, mereka-mereka ini punya tim manajemen. Koordinator lapangan yang memantau dari ujung jalan. Bahkan lebih seremnya lagi, ada penampung yang tugasnya tiap pagi antarin mereka (para pengemis) pada satu titik trus sorenya jemput lagi.

Koran-koran pun udah ramai beritakan pekara ini. Beberapa waktu lalu sempat heboh ketika sepasang pengemis bawa uang sampai puluhan juta. Belum lagi dengar desas-desus, kalau berapa orangtua malah nyuruh anaknya ngemis! Trus ortunya malah leyeh-leyeh di seberang sambil mantau. Di Banda Aceh tempo hari malah lebih serem lagi. Sempat kubaca di koran. Ada anak 13 tahun “nyulik” bocah 7 tahun untuk dijadiin pengemis! Trus ortunya anak 13 tahun malah ngedukung tindakan si anaknya. Gile! Macem-macem dah! Udah kayak sinetron di tipi.

Ceritaku, pernah sekali seorang Ibu datang ke rumah. Waktunya selalu sama. Mendekati jam 11 siang. Dan selalu ngetuk pintu halaman samping. Nyebut salam suaranya biasa-biasa aja. Kayak suara tetangga yang lagi mau bertamu. Aku yang nggak berpikir macam-macam langsung buka pintu. Lalu wajah si Ibu itu langsung berubah. Nelangsa dengan suara merintih-rintih.
“Nak, Ibu nggak ada uang. Ibu harus nembus beras di kantor camat. Ada uang nak…” suaranya penuh rintih.
Duh, kasihan amat si Ibu!

Aku langsung balik badan. Merogoh beberapa rupiah dan menyerahkan ke si Ibu. Si Ibu menatap dengan wajah penuh nelangsa.
“Nak, ada lagi? Ini nggak cukup…”
Lha, pake nego! Hahaha…

“Ibu lagi butuh uang” lalu ia nyebut sejumlah nominal yang lumayan besar.
Aku balik badan lagi. Dan menyerahkan uang yang dimaksud. Sempat bingung, ini kok pake tawar menawar kayak di warung.
Dengan suara penuh rintihan dia mengucap ribuan terimakasih. Trus dia ceritain letak kampungnya yang ujung entah dimana itu. Lumayan jauh.

Sempat mikir, kalau memang nggak ada uang ngapain harus jalan segini jauh. Kenapa nggak biaya transportnya dipakai buat nebus beras?
Hmmm… ya sudihlah..

Akhirnya aku cerita ke Ibu di rumah. Bisa ditebak Ibu heboh tiada tara. Katanya aku kelewat baik ngasih segitu banyak. Hahahhaha.

Eh, tak dinyana si Ibu Beras datang lagi sebulan kemudian. Tetap dengan suara rintihan, wajah nelangsa, dan alasan beras yang belum ditebus di kantor camat. Makin heran lagi, ini Ibu sebenarnya mau nebus berapa karung beras sih??

Nominal yang diminta juga sama kaya kemarin. Hmmm.. langsung jiwa perekonomianku tumbuh, ditambahi jiwa detektif.
“Bukannya bulan kemarin udah ada uangnya untuk nebus beras??” tanyaku.

Si Ibu gelagapan. Mungkin shock kali ya. Dan ia pun beralasan entah apa-apa. Karena kasihan melihat ia udah datang lagi, aku beri beberapa rupiah jauh dari yang ia minta, “ini yang ada Bu.”

Si Ibu mematung. Diam. Trus dengan polosnya berujar, “terimakasih ya.. Ini uangnya nggak cukup. Ibu harus ke rumah lain lagi. Kalau disini dikasih banyak, mungkin Ibu nggak perlu masuk ke rumah-rumah itu…” sahutnya sambil ngelirik beberapa rumah tetangga.

Lha?? Ehm! benerin kerah baju.

Lantas si Ibu Beras berlalu. Ku ceritakan ke beberapa penghuni rumah. Nggak tau sebenarnya Ibu ini beneran butuh uang, atau akting ngemis. Tapi yang pasti beberapa minggu kemudian cerita seperti ini juga ku dengar dari abangku yang lagi nongkrong di warung kopi. Ternyata si Ibu juga hadir disana dengan cerita serupa. Hmmm…

Memang beda dulu dengan sekarang. Kalau dulu setahuku, pengemis itu sedikit sekali pelakonnya. Mungkin dulu orang-orang lebih besar malunya. Malu untuk menjadi tangah di bawah. Karena pegang prinsip kuat, akhirnya bikin giat kerja untuk nyari rezeki. Cerita-cerita begini sering ku dengar dari tetangga-tetangga di kampung.

Tapi sekarang kondisi berbalik. Semuanya kepingin instan dan cepat. Kepingin, sekali jalan dapat uang banyak. Kepingin cuma duduk-duduk aja tapi duitnya segambreng. Mindset mulai berubah. Dinas sosial kayakya mulai kewalahan hadapi pengemis yang makin merajalela. Mereka seperti paguyuban lintas umur. Mulai dari bayi di gedong sampe orang tua. Dari yang sehat sampai yang sakit. Tak tahu lagi mana yang layak untuk dibantu dan dikasihani.


Kalau begini, aku cenderung ambil jalan tengah. Beri seikhlasnya bagi mereka yang membutuhkan. Pekara ia beneran butuh atau akting pengemis jadi-jadian, yah serahin pada yang Diatas. Yang penting niatnya lurus, baik, dan untuk membantu. Karena apapun ceritanya, membantu mereka yang kesusahan serta kesulitan, merupakan keharusan bagi yang memiliki kelebihan. 

Paling senang lagi, kalo selepas memberi diikuti doa panjang dari mereka. Untuk yang satu ini, sebisa mungkin aku amini semuanya. Kita tak pernah tahu, dari sekian banyak doa yang mereka ucap, mungkin ada yang melesat ke langit-langit dan diijabah Pencipta. 
Bukankah setiap kebaikan selalu ada ganjarannya?

About Ferhat Muchtar

Ferhat Muchtar
Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker. Teller Sampai Teler.
Suka makan kuaci. Tukang koleksi buku.
email: ferhattferhat@gmail.com
Tulisan yang mungkin kamu suka × +

3 komentar:

  1. nah.. yg lucu lagi. tu ibu mawu nebus beras. dengan baik hati kukasih 3 mok beras. eehhh malah ditolak.. ckckkcck

    BalasHapus
  2. hehehhe..brtti gara2 b ferhat nien iti ibu jalan2 snpe kerumah ujung. kadang2 yg bikin heran cara ngemis yg maksa itu en dtg tiap bulan. konsistens sekali itu ibu.

    BalasHapus
  3. :-s Yang mirisnya ya Bang, dengar dari kawan yang kerja di Dinsos.
    Para pengemis itu dikasih pelatihan, buat pisgor misalnya. Terus kan, waktu dikasih modal dan jualan hanya tahan beberapa hari. Alasannya kalau jual pisgor paling untung 30ribu sehari. Kalau ngemis bisa 300ribu sehari. @-)

    BalasHapus