#e39608 Belajar Berbeda dari Keluarga - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

Belajar Berbeda dari Keluarga


AKU bersyukur lahir di tengah keluarga yang melek politik. Mungkin ini turun dari alm. Bapak yang memang penggila berita. Ia rutin nonton Dunia Dalam Berita TVRI. Kadang-kadang kami yang kecil ikut duduk. Menyimak berita yang dibacakan Teungku Malinda atau Ussy Karundeng. Sesekali kami sekeluarga juga menyimak Dian Rana atau liputan khusus presiden. Bapak juga penggila koran dan majalah. Ia mengoleksi ratusan majalah seperti Jakarta-Jakarta, Tempo, Gatra, Hai, Intisari yang tersusun rapi dalam satu lemari besar. Ia juga penggila sejarah. Kerap isu-isu menarik di koran ia jadikan arsip kliping. Sedikit banyak kebiasaan ini turun ke kami, anak-anaknya.

Mungkin karena kebiasaan di atas, bahasan politik bukan lagi barang tabu di rumah. Di saat orang lain mungkin lebih cenderung memilih ogah-ogahan, tapi di rumah obrolan politik menjadi hal penting untuk dibahas. Terlebih di saat pemilu.

Setiap pemilu tiba selalu saja jadi obrolan hangat. Tidak di rumah, di grup Blackberry keluarga atau berdiskusi di depan televisi. Beberapa tahun lalu, sewaktu debat kandidat Calon Walikota Banda Aceh, kami berkumpul semuanya di ruang keluarga. Abang kakak yang rumahnya terpisah sengaja datang ke rumah induk untuk nonton bersama. Bisa ditebak, suasana ramai selayak nonton konser. Sesekali memekik girang jika kandidatnya tampil hebat. Atau lemas nelangsa jika dihajar lawan politiknya. Mata akan saksama menatap televisi. Dan jeda iklan menjadi tempat seru untuk diskusi lanjutan.

Di tahun 2004 silam, ketika pemilu berlangsung, rumah adalah tempat belajar politik paling seru. Aku teringat, kami sekeluarga aktif dan giat menjadi simpatisan sebuah parpol. Ingat ya, simpatisan, bukan kader. Walaupun simpatisan, semangatnya melebih para kader sah.  Haaahaha…

Dari kakak tertua, adik, hingga ibu juga terjun langsung. Melipat-lipat kertas selebaran. Tempel ini itu, bahkan giat menyebarkan kartu nama caleg. Tidak cukup memengaruhi tetangga, saudara dekat, teman-teman kantor pun jadi. Masing-masing orang rumah bawa kartu pengenal caleg dan mulai bergerilya selepas itu.

Itu dulu …
Duluu …

Ketika harapan untuk perubahan negeri ini menjadi lebih baik, benar-benar bisa diharapkan/digantungkan bagi orang-orang yang tepat.

Tidak ada istilah sewaktu itu untuk memilih tetangga, teman, atau saudara jika reputasi mereka tidak meyakinkan untuk dipilih. Suara benar-benar mahal untuk dihamburkan ke sembarangan orang. Tidak gampangan juga untuk memberi ke sana sini dengan alasan karena dekat. Sebelum pemilu, masing-masing peghuni rumah benar-benar mencari siapa jagoan mereka.

Itu dulu …
Duluuuu …
Dua pemilu sudah terlewati semenjak tahun 2004 silam. Kejadian perpolitikan berputar ke sana kemari. Antara yang baik jahat menjadi absurd sekarang. Putih dan hitam terlihat abu-abu yang kemudian susah melihat dan kebingungan memihak.

Orang-orang rumah pun mulai kritis terhadap siapa yang dipilih sebelumnya. Itu dimulai pemilu 2009 lalu. Suara penghuni rumah sudah pecah ke sana kemari. Melihat anggota dewan yang ingin maju lagi padahal dianya tak pernah bersuara di parlemen, yang mata duitanlah, hingga yang doyan untuk kawin lagi. Hahahhaa … ini isu paling sensitif di rumah. Alhasil pemilu 2009 silam, kami mulai mencari info tentang caleg-caleg yang akan dipilih. Tidak lagi terpaku dari satu pintu. Kini pilihan bisa muncul dari banyak pintu.

Lantas gontok-gontokkan??

Oh, tidak!

Perbedaan menjadi lumrah di dalam rumah. Selagi itu baik menurut ajaran agama dan terbaik dari logika berpikir. Silahkan lakukan. Hal sama juga berlaku ketika Ramadan dan pemilihan hari raya yang kerap berbeda saban tahunnya. Di rumah juga berlaku serupa. Beberapa penghuni rumah mengambil Ramadan lebih awal dan lebaran lebih cepat. Sebaliknya, sebagian lain memilih lebih telat sehari. Ini berdasarkan pemahaman dan keyakinan yang dimiliki. Tak ada yang menghakimi tentang perbedaan ini.


Begitu juga dengan pemilu. Paling terasa saat pemilu kemarin 9 April 2014. Ini sepertinya pemilu paling heboh yang diikuti orang rumah. Dua minggu sebelum hari pencoblosan, masing-masing sudah sibuk untuk memastikan dirinya terdaftar apa tidak sebagai pemilih. Mulai mencari-cari caleg sebagai target yang akan dicoblos ketika hari H.

Aku bersyukur tidak dilahirkan dalam keluarga apatis. Tidak pula dari keluarga yang mengajarkan golput. Seburuk-buruknya yang maju sebagai caleg, pasti masih ada pilihan yang baik. Jika pun tidak, tetap ada yang kadar keburukannya lebih rendah dibanding calon-calon lain. Maka tak ada alasan untuk golput dan memilih bungkam di dalam rumah.

Sering pula beberapa kerabat atau tetangga datang untuk membujuk kami memilih mereka. Mungkin sebab kami ramai, jadi target empuk untuk sasaran jumlah suara. Biasanya mereka akan bertemu Ibu. Berbicara panjang ini itu, memastikan, dan berusaha meyakinkan. Terkadang kami, anak-anaknya, sedikit takut jika Ibu terpengaruh. Lalu selepas si caleg pergi, kami akan berdiskusi panjang mengenai cocok apa tidak dia untuk dipilih. Dan Ibu bukan tipe yang mudah untuk dipengaruhi. Ia punya penilaian sendiri dan kuat pendirian.

Selain berdiskusi panjang menjelang hari H Pemilu, diskusi serius dan lucu-lucuan kerap terjadi di grup BBM keluarga. Ini seakan jadi budaya baik walaupun dalam ruang lingkup kecil. Jika pun ada yang berbeda, sekali lagi, jarang untuk menghina terlebih menghakimi. Silahkan berbeda, jika itu memang terbaik menurut pendapat pribadi. Tak ada kehendak untuk memaksa atau mengikuti orang lain. Setiap orang punya sudut pandang dan rasionalitas yang berbeda melihat sesuatu. Dan itu lagi-lagi aku belajar dari dalam keluarga.

Maka benar, tempat belajar terbaik adalah keluarga. Untuk segala hal.  Ia akan hadir sempurna dan pengawal di saat berada di luar rumah. Ia turut membentengi diri dan menjadi pembungkus sakti atas segala racun di luar sana.

Tak perlu memaksa untuk mengikuti pilihan orang lain. Tak perlu juga menyebar keburukan agar orang-orang gamang dalam pilihan. Tak usah pula mencibir atas segala perbedaan.

Seperti di rumah, banyak perbedaan. Tapi tetap duduk sama rata. Dan tertawa tanpa ada yang tersakiti. Bukankah seperti ini jauh lebih indah? []


Bna, 22 Mei 2014

About Ferhat Muchtar

Ferhat Muchtar
Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker. Teller Sampai Teler.
Suka makan kuaci. Tukang koleksi buku.
email: ferhattferhat@gmail.com
Tulisan yang mungkin kamu suka × +

1 komentar:

  1. Saya jd kangen keluarga ,jadi abg harus bertanggung jawab ini,*belikan tket saya pulang,menuntut hak yg gk jlsa ;-(

    BalasHapus