#e39608 Melihat Makam Tengku Di Bitai di Kampung Turki Aceh - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

Melihat Makam Tengku Di Bitai di Kampung Turki Aceh


Desa Bitai cukup membuat saya penasaran sejak lama. Nama desa ini makin akrab di telinga saya pasca tsunami. Terlebih banyak situs atau gambar yang berseliweran menggambarkan tentang kondisi desa ini. Penasaran, saya coba mencari di google maps jalur mana untuk menuju kesana. 
Belum cukup di google maps, semalaman saya tweet di twitter. Tanyain kira-kira ke Bitai itu darimana, atau lebih tepatnya “dimana”. Banyak usulan, mulai dari arah Setui, Lamteumen, lewat MAN 2, atau TK Bhayangkara.
Haduh! Dimana lagi itu!
Akhirnya saya memilih jalur termudah dan familiar.
“Lewat jalan Punge PLTD Apung, luruss sampe ketemu Unida. Lurus lagi, langsung ketemu Bitai!” balas seseorang teman via SMS.
Kenapa saya begitu penasaran dengan Bitai?
Sebab desa ini terkenal sebagai Turki-nya Aceh. Bitai adalah salah satu desa di Banda Aceh di kecamatan Jaya Baru.
Banyak makam kuno yang berasal dari Turki Utsmani. Termasuk makam Sultan Salahuddin. Dari desa ini juga, persahabatan Aceh-Turki begitu dekat. Sangking dekatnya, Turki pun jor-joran bantu Aceh ketika tsunami silam.
Rasa penasaran saya akhirnya terbayar tadi pagi. Sejak pagi saya bergegas mengikuti jalur dari Punge. Baru kali ini saya melewati lintasan ini. Mengikuti instruksi teman, saya hanya mengikuti alur jalan tanpa perlu belok-belok. Lurus!
Hingga akhirnya saya bingung ketika menemukan perempatan jalan yang sama besar. Waduh! Harus kemana ini?! Padahal sudah masuk ke kawasan Bitai, tapi  komplek makam yang saya cari belum ketemu juga.
Mencoba pede, saya mengikuti jalan di depan. Lurus lagi.
Tapi... eh, kok makin jauh yak?
Seseorang teman yang ikut serta berinisiatif untuk bertanya ke sebuah warung. Ternyata jalur yang saya tempuh salah! Harus berbelok haluan.
Ternyata untuk masuk ke komplek makam Bitai, harus berbelok kiri dari jalur utama. Jalannya bersemen beton kasar dengan lubang disana sini. Di ujung jalan berdiri sebuah mesjid berkubah hijau.
Nah, itu tempat yang saya cari!!
Jalanan desa ini sepi. Rumah-rumah terlihat seragam dengan bentuk yang sama. Di atas bumbung atap rumah, lambang bulan sabit terukir rapi dengan warna menyala. Beberapa tapal rumah yang tercerabut akibat tsunami masih terlihat jelas.
Ketika saya datang komplek makam sepi. Pagar rendah memagari puluhan makam di dalamnya. Sebagian makam dipugar dengan dua tipe berbeda; tipe batu hitam marmer, dan tipe batu nisan dengan cat merah putih. Di atas tiap makam terukir lambang bulan bintang yang merujuk ke negeri Turki.

Sebuah gapura berbatu hitam melengkung di pintu masuk. Diatasnya bertuliskan “Makam Tengku Dibitay (Selahuddin)”, keterangan serupa juga tertulis dalam bahasa Turki.
Seperti diketahui, Bitai dan Turki seperti tak bisa dipisahkan. Dulunya kawasan ini adalah perkampungan yang ditempati para ulama yang berasal dari Baitul Muhadis dan Turki. Kedatangan mereka bertujuan untuk menyebarkan agama Islam.
Dari catatan sejarah, Bitai didirikan oleh pasukan Turki yang diutus ke Aceh untuk menyebarkan agama Islam. Saat itu khalifah Turki Utsmani berhasil merebut konstantinopel dari tangan kaum salib.
Pasukan Turki dipimpin oleh Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi. Nama Bitai ditambalkan pasukan Turki untuk mengenang asal mereka dari Bayt AL Maqdis, nama lain Yerussalan tempat Masjid Al Aqsa di Palestina. Konon juga di desa ini Sultan Iskandar Muda pernah menjadi murid Teungku Di Bitai. Turki juga membantu persenjataan kepada kerajaan Aceh untuk melawan pejajah Belanda.


Merujuk catatan sejarah yang lain, Sultan Salahuddin Ibn Ali Malik az Zahir merupakan putra sulung Raja Aceh Sultan Mughayat Syah. Denys Lombard dalam buku Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), menyebutkan Sultan Salahuddin memerintah sejak 1528 hingga 1539. Masih menurut Lombard, Sultan Salahuddin ini wafat pada 25 November 1548.
Sultan Salahuddin berteman dengan Muthalib Ghazi yang diutus Sultan Selim dari Turki. Setelah Salahuddin mangkat, Muthalib Ghazi berwasiat agar ia dimakamkan berdekatan dengan temannya itu di Kompleks Makam Tuanku Di Bitai sekarang.
Bantuan Turki juga masih diberikan hingga Aceh mengalami tsunami 2004 silam. Desa Bitai yang berdekatan dengan laut, hancur rata dihempas tsunami. Termasuk juga komplek perkuburan ini.
Dan di tahun 2006, pemerintah Turki berbaik hati merehabilitasi kawasan ini. Rumah-rumah dibangun dengan tipe dan desain serupa. Komplek makam pun turut dipugar lebih rapi. Terdapat puluhan makam yang diyakini adalah tentara kerajaan Turki.


Saya masuk lebih dalam ke dalam komplek. Di tengah komplek berdiri sebuah bangunan tinggi yang memayungi tujuh makam di dalamnya. Tak ada informasi jelas makam-makam siapa saja yang berada di komplek ini. Sebab makam dipugar tidak menambalkan nama dan tahun kematian.


Penasaran, saya mencoba celingukan ke dalam masjid. Mencari info.
Kaget! Rupanya mesjid megah berkubah hijau ini tidak terawat baik. Kotoran memenuhi selasar dan dalam masjid. Beberapa remaja tanggung leyeh-leyeh di dalamnya. Ilalang tumbuh semak di tempat wudhu. Sebagian kaca jendela malah pecah. Waduh!
Kebingungan saya ini akhirnya terjawab ketika seorang wanita tua berdiri di teras dapurnya. Dari dia saya bertanya banyak hal. Ternyata mesjid megah itu tidak digunakan lagi, termasuk ketika ramadhan saat ini.
“Mesjidnya terlalu besar, sedangkan disini orangnya aja nggak ada...” ujarnya memberi alasan.
Saya pun sedikit paham. Soalnya rumah di Bitai ini sedikit berjauhan. Jarang-jarang, makanya sangat sepi, “trus disana juga ada meunasah...” lanjutnya lagi sambil menunjuk mushalla di desa seberang.
Dari dia juga saya tahu, jika komplek ini ada kuncen yang mengurusinya. Ia menunjuk kearah rumah yang bersebelahan dengan makam. Kesana saya pergi. Berteriak-teriak beri salam dari teras depan hingga teras belakang. Tetap sunyi.
Teriak lagi sampai saya merasa bete. Argghhh!! Yang punya rumah kagak ada!
Alhasil saya hanya melongok-longok di ruangan kecil di halaman belakang makam. Seperti museum mini. Saya coba buka pintunya.
Oaallaaaa... terkunci!!
Saya gedor-gedor berharap pintunya terbuka tiba-tiba. Nggak berhasil!
Pantang menyerah, saya celinguk-celinguk ke sela-sela pintu dan ventilasi, kali aja kuncinya disimpan disana kayak rumah kost-kostan. Kagak ada juga!
Hadeuhh!
Kecewa, saya cuma melongok dari jendela. Ternyata dalam ruangan itu terpajang beberapa foto, miniatur kapal, dan sejarah singkat Bitai yang dipapar dalam bingkai kaya.

Hmmm... puas berkeliling ala kadar. Saya pamit pulang. Setidaknya penasaran yang menahun telah terpuaskan hari ini!
Yang penasaran dengan Bitai, mari sesekali datang kemari!

***

About Ferhat Muchtar

Ferhat Muchtar
Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker. Teller Sampai Teler.
Suka makan kuaci. Tukang koleksi buku.
email: ferhattferhat@gmail.com
Tulisan yang mungkin kamu suka × +

6 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. kapan ke sana lagi Bang?
    kapan ikutlah :-b

    udah lama pingin ke situ, tapi gak tau di mana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nazri gk bilang2 mau pigi.. Sesekali kita pigi ke tempat erdamparnya kubah masjid itu yook. di daerah peukan bada. tau nazri??

      Hapus
    2. Halah, Nazri udah di Lhokseumawe..
      Habis lebaran gimana Bang?

      Hapus
  3. bangsa besar takkan melupakan sejarah...

    BalasHapus
  4. Kalau saracen malah mau membingungkan sejarah.

    BalasHapus