#e39608 Di Ulee Kareng Ada Masjid Dari Abad 18! (Bag. 2) - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

Di Ulee Kareng Ada Masjid Dari Abad 18! (Bag. 2)




Saya heran, ketika bus yang saya tumpangi beserta rombongan Jelajah Budaya Aceh (JBA) berhenti didepan masjid Baitusshalihin, Ulee Kareng/Ulee Kareung. Dari jendela bus, saya melihat halaman masjid penuh dengan jamaah yang sedang berwudhu. Beberapa menit lagi, waktu shalat ashar akan tiba.
Keheranan saya semakin bertambah, ketika Ibu Evi, ketua rombongan JBA menyuruh kami turun. Saya tak tahu, apa menariknya Masjid Baitusshalihin yang sedang direnovasi itu untuk kami jelajahi. Bangunannya berarsitektur kini.  Beberapa tukang tampak bekerja di sudut-sudut mesjid.  Sejarahnya pun mungkin tak sehebat Masjid Baiturrahman atau Masjid Baiturrahim, Ulee Lheue.


“Bukan masjid ini kita jelajahi…” ujar Ibu Evi seperti tahu akan kebingungan saya. Dengan langkah cepat, pegawai di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata itu memimpin barisan menuju kearah simpang tujuh Ulee Kareung.
Rombongan kami yang ramai, sempat menarik perhatian penikmat kopi disana. Ulee Kareung, salah satu sentral kopi di Banda Aceh. Cita rasanya harum hingga ke mancanegara . Tak pelak, banyak sekali warung-warung kopi berjejer disepanjang jalan T. Iskandar ini.

masjid tampak dari luar


Lalulintas simpang tujuh sedikit lengang sore itu. Menurut jadwal tujuan, hari ini saya dan rombongan akan mengunjungi salah satu mesjid tertua di Ulee Kareung. Saya tak pernah melihat mesjid Ulee Kareung, selain mesjid di tempat pemberhentian bus tadi.
Dengan langkah sigap, Ibu Evi menyeberang perlintasan simpang tujuh yang lengang. Ia menyusuri jalan kecil yang disusul kami dibelakangnya.
“Kalo parkir bus disini, takut nggak muat. Jalannya kecil..”


Saya mengerti, kenapa bus harus diparkir sedikit jauh. Jalan yang kami lalui terbilang sempit untuk lintasan bus. Sebuah papan penunjuk jalan tertancap di sebatang pohon. Jalan Mesjid Tuha.
“Kalian pasti belum pernah kemari kan?” Ibu Evi tersenyum ketika melihat saya memotret papan nama jalan itu. Saya menggeleng. Jujur saya tidak pernah melintasi lorong ini. Padahal jaraknya hanya beberapa meter dari simpang tujuh Ulee Kareung.
Berjalan sekitar 100 meter dari muka lorong, dari kejauhan tampak bangunan tua dengan kayu-kayu kusam. Seng yang memayunginya tampak berkaratan. Sekilas bangunan itu hampir mirip dengan Masjid Indrapuri.

“Itu masjid tuha Ulee Kareung!”
Saya berdecak kagum. Tak pernah sekalipun membayangkan diantara padatnya pasar Ulee Kareung dan penuhnya pertokoan, masih berdiri bangunan tua.
“Ini kali pertama saya kemari. Saya malah nggak tahu kalo ada mesjid tua di Ulee Kareung…” Saya mengakui kealpaan tempat ini.
Ulee Kareung bukan tempat asing bagi saya. Tinggal hampir puluhan tahun di Banda Aceh, saya baru sadar ada Mesjid Tuha yang berdiri kokoh sejak abad 18.

Ibu Laila yang menemani penjelajahan ini bercerita panjang tentang Mesjid Tuha ini. Mesjid ini didirikan oleh Sayyid Al Mahalli, seorang ulama dari Arab. Beliau datang bersama anaknya dan Tgk Di Anjong untuk mensyiarkan ajaran Islam.
struktur masjid yang berkayu dan atap tumpang


Sesampai di Aceh, Sayyid Al Mahalli memilih Lamreung sebagai tempat mensyiarkan ajaran Islam, sedangkan Tgk Di Anjong memilih Peulanggahan. Makanya tak heran, sekilas Masjid Tuha Ulee Kareung ini hampir sama dengan Masjid Di Anjong Peulanggahan.
“Bedanya, masjid Di Anjong punya 3 tingkat. Sedangkan disini hanya satu lantai.” Kisah Ibu Laila di halaman Mesjid yang sempit.
Untuk ukuran sebuah halaman mesjid, tempat ini lumayan sempit. Tangga utama yang hanya 2 pijakan itu, langsung berbatasan dengan badan jalan. Menurut pengakuan Ibu Laila, sekitar tahun 1990-an terjadi pelebaran jalan di kawasan ini, “Akibatnya kolam masjid digusur, cuma tinggal bangunan ini saja…”

Letak mesjid ini berhadapan dengan Sekolah Dasar. Di kanan kirinya rumah penduduk lumayan padat. Padatnya lokasi ini tidak lantas membuat masjid berdenyut. Tak ada aktivitas disini. Ketika saya dan rombongan tiba disaat ashar, tidak ada muazzin ataupun jamaah yang memenuhi masjid. Pintu masjid tertutup. Tidak ada mimbar didalamnya. Bahkan azan ashar pun tidak berkumandang dari tempat ini. Sambil menuju kedalam masjid, Ibu Laila menceritakan jika tempat ini sekarang berubah menjadi Taman Bacaan Alquran. Tapi sore itu, saya tidak melihat seorangpun santri disana.

Mesjid Tuha Ulee Kareung ini mengikuti arsitektur masjid Nusantara yang beratap tumpang. Desain mesjidnya tidak jauh berbeda dengan Masjid Indrapuri, Masjid Tgk Di Anjong, ataupun Masjid Pancasila yang dibangun di era Soeharto.
Dibandingkan dengan Masjid Indrapuri, masjid ini lebih kecil. Karena bangunanya kecil, atap yang dihasilkan berbentuk rundeng, atap bersusun dua. Atap bersusun dua seperti ini, mengakibatkan adanya rongga besar diantara kedua atapnya. Rongga besar ini didesain sebagai tempat sirkulasi udara hingga mesjid tidak panas, dan terasa sejuk. Sangat cocok untuk iklim tropis. Selain itu, tekhnik seperti ini melindungi kayu dari pelapukan sebab sirkulasi udara yang lancar.
Maka tak heran, walaupun masjid ini sudah ada sejak abad 18 kayu penyangganya masih tetap kokoh. Saya pun masih bisa melihat jelas ukiran-ukiran kayu yang rapi

ukiran kayu


“Di kayu ini juga ada ukiran doa qunut..” Ibu Laila menunjuk sebilah kayu yang melintang ditengah Masjid. Saya memperhatikan ukiran yang masih terlihat nyata itu.
Mesjid ini cukup menggambarkan bagaimana kekhasannya mesjid asli Indonesia. Selain bentuk atap tumpang. Tiang penyangga mesjid juga berbentuk bulat persegi delapan. Hal ini berbeda dengan masjid yang didirikan oleh penjajah Belanda yang tiangnya berbentuk bulat sempurna.

Saya berkeliling ke area mesjid. Tampak mesjid ini tidak terurus dengan baik. Beberapa sampah dan kotoran hewan memenuhi area mesjid. Kayu penyangga juga terlihat lapuk dibeberapa bagian, yang menandakan mesjid kurang perawatan.
Dan Ibu Laila turut menyayangkan penimbunan masjid yang berulang-ulang, “beberapa tahun lalu saya kemari, nggak seperti ini lantai masjidnya,” jelasnya sambil memperhatikan lantai keramik putih masjid. Penimbunan berulang-ulang ini menghilangkan nilai historis. Akibatnya, semen penyangga tiang yang biasanya terletak dibawah tameh, tidak tampak lagi akibat tertimbun.


 Keterasingan dan kurangnya perawatan masjid ini, sudah sepantasnya mendapat perhatian penuh dari pihak terkait. Semoga semangat syiar Islam yang dibawakan oleh Sayyid Al Mahalli sejak ribuan tahun lalu, terus berdenyut di masjid tua ini.

About Ferhat Muchtar

Ferhat Muchtar
Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker. Teller Sampai Teler.
Suka makan kuaci. Tukang koleksi buku.
email: ferhattferhat@gmail.com
Tulisan yang mungkin kamu suka × +

12 komentar:

  1. Ulee kareng sampai sekarang masih penuh misteri bang... Kpan2 kita pergi sendiri yok bang sekalian ngopi...

    BalasHapus
  2. Waw...super skali ya bung ferhat..
    Kapan reuni glugur?

    BalasHapus
  3. akhirnya dapat informasi juga tentang masjid tuha di UK, warga Ulee Kareng juga jarang mempublikasikan pada umum tentang keberadaan masjid tersebut. Semoga saja perhatian pihak terkait dan warga setempat bisa terus melestarikan masjid peninggalan para ulama dulu, menjaga nilai2 estetika masa lalu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mudah2an ada penangann yang baik utk mesjid tuha ini..

      Hapus
  4. Cerita meajid tua akan enak dibahas sembari minum secangkir kopi

    BalasHapus
  5. yg bener penulisannya Ulee Kareung ? Jadi artinya malah: kepala kerang.. :Oyg bener penulisannya Ulee Kareung ? Jadi artinya malah: kepala kerang.. :Oyg bener penulisannya Ulee Kareung ? Jadi artinya malah: kepala kerang.. :Oyg bener penulisannya Ulee Kareung ? Jadi artinya malah: kepala kerang.. :O

    BalasHapus
  6. Mesjid Indrapuri kami apa sudah nggak utuh lagi juga, Hat ?

    BalasHapus
  7. hat.. bisa minta ancar2 jalan kemari?

    BalasHapus
  8. Mungkin lebih tepatnya beliau bernama AlHabib Sayyid Abdurahman Bin Habib Hussein Al-Mahdali.

    BalasHapus