#e39608 Pande, Kampung Seribu Nisan (Bag. 1) - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

Pande, Kampung Seribu Nisan (Bag. 1)



Beruntung saya bisa mengikuti Jelajah Budaya Aceh (28-31 mei) tahun ini. Kegiatan empat hari ini  diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Aceh setiap tahunnya. Sebelumnya telah ada beberapa kabupaten/kota yang telah dikunjungi untuk melihat lebih dekat cagar budaya serta mengetahui sejarahnya. Untuk kali ini konsentrasi kegiatan berpusat di Banda Aceh-Aceh Besar.

Menjelang siang di hari pertama, saya beserta teman-teman dari berbagai komunitas mengunjungi kampung Pande. Kampung Pande salah satu desa tertua di Banda Aceh. Pande dalam bahasa Indonesia berarti pintar. Dulunya pada masa kerajaan Aceh, kampung ini didiami oleh orang-orang yang ahli pada bidangnya. Kampung yang bersebelahan dengan lautan dan krueng Aceh ini, menjadi jalur strategis perdagangan. Kerajaan Lamuri pun bermula dari sini.

Kampung Pande bersebelahan dengan Kampung Jawa dan Peulanggahan. Daerah ini masih berbenah. Bencana tsunami 8 tahun silam memporak-porandakan kehidupan masyarakat tepi laut ini. Banyak kerusakan terjadi. Termasuk lumatnya beberapa peninggalan kejayaan Kerajaan Aceh dulu.

Menuruni bus yang berhenti di persimpangan kampung Pande, saya menuju ke sebuah komplek makam kuno. Pagar besi melingkari komplek yang tak terlalu luas itu. Ilalang tumbuh semak didekat pintu masuk. Pohon cemara berukuran kecil, belum sempurna menahan terik. Panas. Didalam komplek, tampak beberapa tukang sedang membenahi beberapa makam. Ditaksir ada sekitar 50 makam yang terhimpun dalam komplek tersebut. Termasuk makam Tuan Di Kandang, makam utama yang berdiri ditengah komplek. Beberapa tukang sedang membangun pondok untuk memayungi makam tersebut. Termasuk makam Siti Fatimah, istrinya.

 “Ketika tsunami, tempat ini hancur lebur. Batu nisannya berserak sampai kesana..” ujar Ibu Laila Abdul Jalil, seorang arkeolog dan dosen sejarah yang menjadi tour guide penjelajahan ini.

Disebelahnya, Adian Yahya Abu, seorang sejarahwan juga menimpali, “pasca tsunami saya ambil beko untuk mengangkat kembali nisan-nisan ini..”


Ada banyak nisan terpancang di komplek ini. Dengan berbagai ukiran bentuk yang ternyata menunjukkan pengaruh seseorang itu selama masa hidupnya. Dipintu masuk, beberapa nisan berukuran kecil tersusun berbaris-baris. Ditengahnya makam utama, Tuan Di Kandang Syech Bandar Darussalam dan istrinya, Siti Fatimah, berbatu nisan berukiran plang pling. Beberapa bagian nisan tampak kusam dan rusak patah.


Makam Tuan Di Kandang

“Jenis batunya beda, mudah rapuh. Itu batu pasir…” sahut Ibu Laila, ketika kutanya perihal itu.
Kampung Pande terkenal dengan banyaknya makam kuno para penguasa Aceh dulu. Ditaksir ada ratusan nisan yang terkubur disini. Kawasan kampung ini luas, sebagian telah lenyap dilumat tsunami dan abrasi air laut. Hanya beberapa makam yang baru dipugar. Termasuk makam tempat saya kunjungi kali ini.

Tuan Di Kandang Syech Bandar Darussalam juga bernama Mahmud Abi Abdullah Syech Abdul Rauf Bagdadi. Ia putra dari Sultan Mahmud Syah Seljuq, seorang Sulthan dari Baghdad. Sekitar tahun 1116 M, ketika masa Bani Abbasiyah berkuasa terjadi perang Salib. Baghdad diserang oleh Kerajaan Mongol. Mencari perlindungan, pergilah Tuan Di Kandang ini menuju Aceh. Ada sekitar 500 orang yang ikut serta. Di Aceh mereka menata kehidupan baru. Masuk dalam kehidupan sosial masyarakat. Lantas mengembangkan ajaran Islam pada tahun 1205 M dan mengembangkan system pemerintahan kesultanan dengan Raja pertama Sulthan Abdul Aziz Johan Syah Putra. Konon juga, Tuan Di Kandang lah yang mendesain rencong pertama kali berdasarkan motif bismillah.

Berada di makam kuno ini, saya melihat begitu apiknya desain nisan yang berkembang pada masa itu. Teksturnya halus dengan desain beragam. Di Aceh struktur makam itu terbagi dua. Nisan, batu penanda makam yang bentuknya berbeda-beda sesuai pengaruh seseorang ketika masa hidupnya. Dan jerat, batu yang melingkari makam membentuk persegi panjang.

Ketika masa Kerajaan Aceh, batu nisan dan jerat didatangkan dari Pulo Batee, sebuah pulau terluar Indonesia dan juga dari India Selatan. Batunya memiliki kualitas terbaik. Batu-batu nisan itu dipahat di kampung Pande. Batu nisan berbentuk balok persegi delapan diperuntukkan bagi Raja-Raja. Nisan berbentuk bulat polos, diperuntukkan bagi kaum ulama. Sedangakn nisan berbentuk petak panjang bagi orang-orang kaya, keluarga raja, ataupun Meurah-Meugat (pemimpin negara).

Nisan pipih bersayap dengan subang

Saya sempat takjub ketika melihat sebuah nisan berukuran besar. Tingginya berkisar 160 cm. Bentuknya pipih bersayap. Disayap kanan kirinya, terdapat ukiran besar berbentuk subang (anting-anting).  Nisan berbentuk seperti ini biasanya diperuntukkan bagi perempuan. Bentuknya besar dengan ukiran rumit. Ditaksir beratnya mencapai 2 ton.

“Ketika masa dulu, sewaktu pemancangan. Nisan-nisan ini digerek oleh gajah. Makanya dibeberapa nisan dan jerat ada lubang-lubang kecil sebagai pengikat tali...” jawab Ibu Laila menjawab kebingunganku, “pasca tsunami tempat ini rusak. Disusun ulang, baru digerek rame-rame. Hehee…” sambungnya terkekeh.

Menurut pengakuan pak Adian, empat minggu setelah tsunami ia kembali merapikan batu-batu nisan ini yang tercerabut dari makamnya, “kita cocokkan kembali posisi-posisinya sesuai dokumen yang kita punya, agar jangan salah penempatan,” Tapi sayang, hanya sebagian yang berhasil diselamatkan. Sebagian lagi terbawa arus ataupun tertimbun tanah.

Nisan yang selamat belum tentu masih dalam keadaan baik. Di beberapa makam, saya menemukan nisan yang rusak. Terkikis, patah, ataupun berjamur.  Sebagian makam batu nisannya dibalutin kain putih. Kesan mistik menguak. Rupanya menurut pak Adian, kain putih yang melilit batu nisan itu bukan bersifat magic, melainkan untuk menjaga nisan makam agar tetap kuat tak gampang rusak. Kain memperlambat kerusakan nisan dari penjamuran. Bukan sebagai wujud pengkramatan makam. Walaupun akhir-akhir ini makna tersebut mulai bergeser.

“Menggunakan tanah liat basah juga bisa. Batu nisan dilumuri tanah liat, trus didiamkan selama 3 hari. Lalu dibersihkan hingga bersih tanpa sisa. Cara itu bisa memperlambat kerusakan nisan juga,” sambung  Ibu Laila sambil menunjuk batu nisan secara lebih rinci. Saya mengangguk, memahami jika cara tradisional ternyata jauh lebih baik. Pendapat itu semakin dikuatkan oleh Ibu Laila, “Bahkan menggunakan cairan kimia, membuat nisan akan lebih cepat hancur..”

Nisan makam Aceh memiliki kekhasan tersendiri. Selain ukirannya yang rumit. Dibeberapa bagian nisan juga terukir ayat-ayat alquran, nama dan tahun meninggal, serta beberapa potongan puisi sufi. Penyebaran batu nisan Aceh pun sampai ke Malaysia. Hal ini bermula ketika Sultan Iskandar Tsani berkuasa. Ia menyuruh para tukang untuk membubuhkan nisan berukir pada makam Ayahnya, Sultan Pahang. Hingga nisan itu dibawa ke negeri Pahang dan terjadilah penyebaran.

Peradaban di kampung Pande zaman dulu memang terkenal mahsyur. Selain sebagai pusat perdagangan zaman Kerajaan Bandar Aceh Darussalam, kampung Pande juga termasuk dalam tiga tempat pemahat terbaik batu nisan dan jerat makam (selain Deah Geulumpang, dan kawasan Cut Meutia sekarang). Bahkan ada sebagian berpendapat nisan di kampung Pande jauh lebih tua dari nisan di Pasai, yang menunjukkan penyebaran ajaran Islam telah dimulai disini.

Pak Adian mengajak saya menuju kearah rawa-rawa. Katanya, disana juga terdapat beberapa makam. Bahkan jika saya beruntung, bisa menemukan pecahan keramik/gerabah pada masa perdagangan dulu.

Dengan melewati jalan China khuk yang bersebelah dengan makam Tuanku Di Kandang, saya dan  rombongan menuju kearah rawa-rawa yang ditumbuhi pohon-pohon nipah berukuran kecil. Tanggul-tanggul seukuran pinggang membatasi badan jalan dengan rawa-rawa. Air laut sedang pasang. Dibeberapa tempat tergenangi. Ada undakan tanah yang menyembul selebar pematang sawah. Dari sana kami berjalan. Menyelusuri rawa-rawa dengan serakan sampah warga.

“Nah itu, ada makam!” tunjuk Pak Adian kearah rimbunan nipah yang tergenang. Saya melongok, berusaha mencari. Dan benar! Dibalik rimbun pohon dan didalam genangan air, dua batu nisan terpancang segaris membentuk makam. Salah satu nisannya tampak tersungkur hampir mencium tanah. Dari desain nisan yang bulat persegi dan sedikit ukiran diatasnya, ditaksir jika itu makam salah satu ulama pada masa kerajaan. Miris, makam seorang ulama bisa terbengkalai seperti itu.

“Susah untuk dapat memugar semua makam yang berserak seperti ini. Plot dana tersedia kurang, sulit untuk memugar semuanya. Terlebih ini didalam air, siapa yang bisa membendung lautan?”
Saya bergeming. Benar juga, tentu membutuhkan dana yang tak sedikit untuk memugar  makam ini. Harus membangun semacam tanggul untuk menahan pasang air laut. Dan di kampung Pande, makam yang tergerus air pasang bukan hanya satu, tapi banyak. Dengan lokasi berbeda-beda.

“Saya menggunakan dana sendiri ketika memugar makam-makam disana..” sahut Pak Adian merujuk ke komplek makam Tuanku Di Kandang. Pak Adian termasuk dalam garis keturunan sultan kerajaan. Tentu selaku ahli waris, ia punya tanggungjawab untuk menyelamatkan makam-makam yang tersisa pasca tsunami 2004. Tak heran, pasca tsunami ia tergerak cepat untuk merapikan makam.

Salah satu peserta rombongan menemukan pecahan keramik diatas undakan tanah kami berpijak. Sontak kami kaget. Menurut Ibu Laila, keramik yang bercorak biru pekat itu berasal dari China. Dari berbagai Dinasti yang berkuasa seperti Dinasti Han, Ching, Sung, Min, ”disana, kalian pasti lebih mudah lagi menemukan keramiknya,” ia menunjuk kearah tambak yang bersebelahan dengan lautan, jaraknya sekitar 25 meter dari tempat kami berdiri.







Saya dan rombongan lantas bergerak kesana. Siang terik membuat beberapa anggota rombongan tak terjun ke daerah tambak yang lebih jauh.  Sebagian memilih berteduh di teras rumah penduduk. Pak Adian dan Ibu Laila, mengajak kami kearah tambak yang berdekatan dengan laut. Menuju kesana, saya harus menapaki  jalan setapak sepanjang 300 meter. Jalannya kecil. Hanya mampu dilalui satu orang. Kanan-kiri air menggenang tenang. Bau tambak menyeruak khas. Pak Adian berada dibarisan depan sebagai penunjuk jalan. Selama perjalanan, mata saya jelalatan mencari sisa keramik masa kerajaan Aceh dulu. Konon katanya, rawa-rawa yang kami lalui ini dulunya adalah daratan.

Letak geografisnya yang strategis memungkinkan Aceh menjadi pintu masuk perlintasan laut dari barat ke timur, atau pintu keluar dari timur ke barat. Lalulintas yang sibuk, menjadikan kampung Pande jadi lintasan para pedagang dari multi etnis bangsa. Barteran antara komodi para pedagang China, Arab, Eropa dengan komoditas hasil alam Aceh pun berlangsung dalam transaksi ekonomi. Saudagar China, Eropa sering membawa komoditi perdagangan mereka seperti keramik, sutra. Maka tak heran, keramik China-Eropa dengan mudah kami temui.

Saya girang ketika menemukan pecahan keramik berwarna biru dari dalam tambak. Hal sama juga dialami para anggota lain. Pecahan keramik berbentuk mangkuk, gerabah kami temui dari tanah tambak yang basah. Menurut Ibu Laila, corak dan warna keramik menggambarkan muasal keramik tersebut. Warna biru pekat berasal dari China daratan. Warna biru pudar dengan dominasi putih berasal dari Eropa, sedangkan warna coklat dengan ukiran kasar dari kayu dipercaya berasal dari Burma. Ditaksir keramik-keramik ini sudah ada sejak abad keenam.

Keramik

Awalnya saya sanksi. Bisa saja pecahan keramik ini berasal dari rumah-rumah yang digerus tsunami akhir tahun 2004. Tapi Ibu Laila meyakini, “Untuk melihat keaslian keramik ini dari masa dulu, bisa dilihat dari ketebalan keramik dan suara lenting keramik ketika dipukul.”

Ibu Laila lantas menjentik jarinya ke pecahan keramik. Suara nyaring terdengar. Lantas ia juga menunjukkan ketebalan keramik masa dulu yang lebih tebal ketimbang masa sekarang.

Setelah melewati rimbunan pohon bakau, sebuah feri penumpang terlihat melintas di kejauhan. Ternyata tempat kami lalui ini hampir berdekatan dengan pelabuhan Ulee Lheue. Air laut menghempas perlahan. Riaknya terpecah di tepi-tepi tambak. Aroma garam makin kentara. Panas semakin terik. Saya merapatkan jaket dan menangkupnya di atas kepala.




Berhadapan dengan gundukkan tanah yang penuh ilalang, kami berhenti diujung pematang. Disebelah kanan kami lautan terbentang. Sedangkan dari jauh terlihat samar pelabuhan Ulee Lheue. Pemberhentian ini awalnya membuat saya kebingungan. Tapi ketika teman-teman berebutan memotret sesuatu dari dalam air dan turun hingga kaki mereka kebasahan, saya tersadar, ada batu-batu nisan yang berserakan di dalam air! Timbul tenggelam dihempas air laut hingga ukiran dan teksturnya mulai pudar. Pak Adian mengaku, ia sering menitikkan airmata jika melihat ini semua. Melihat makam-makam kuno yang mencatat sejarah gemilang Aceh dulu yang tak terurus.

“Saya punya rumah disini..” ujarnya sambil menunjuk kearah kampung Pande, “saya berniat rumah itu ingin saya jadikan museum. Ingin saya kumpulkan batu-batu nisan ini dalam satu tempat, agar sejarahnya nggak hilang,” sambungnya dengan suara sendu.

Ada sekitar 5 batu nisan besar yang tersembul dari dalam genangan air. Dengan bentuk beragam, seperti balok persegi, bulat, dan pipih. Ditaksir nisan-nisan ini milik para ulama dan para Meurah-Meugat (pemimpin). Saya tidak mengerti kenapa hal ini dibiarkan begitu saja. Jika menyangkut dana, seharusnya pemerintah bisa melihat skala prioritas. Dan ini menurut saya termasuk skala prioritas yang harus segera ditangani. Miris, melihat orang-orang berjasa di masa silam dibiarkan seakan terbuang.
Pak Adian juga menjelaskan, diujung sana, dibalik gundukkan tanah di tengah rawa juga terdapat situs bekas mesjid, “kalo airnya nggak pasang, mungkin kita bisa kesana,” air pasang yang meninggi mengharuskan kami mengurung niat untuk kesana.

Siang semakin panas. Saya semakin merapatkan jaket diatas kepala. Tak ada pohon tinggi meneduhkan rawa-rawa ini. Panasnya menusuk hingga ke ubun-ubun. Lantas kami memilih pergi. Menyusuri kembali jalan setapak pematang rawa. Kembali bergabung dengan teman-teman yang tadinya memilih berteduh di rumah warga. Perjalanan dilanjutkan ke pemakaman lainnya. Kali ini kami menuju ke pemakaman Putroe Ijo yang letaknya di belakang masjid kampung Pande.

Selama perjalanan saya masih melirik-lirik kearah rawa-rawa yang dipenuhi pohon nipah dan hutan bakau. Saya berdecak ketika untuk kesekian kalinya menemukan kembali batu-batu nisan dari balik rimbun pepohonan disana. Sungguh, menemukan makam di kampung Pande sangat mudah. Ada begitu banyak nisan makam bertebaran di kampung ini. Sama hal nya ketika saya sampai di komplek Putroe Ijo.

Komplek makam Putroe Ijo

Komplek makam ini tidak begitu luas. Pagar besi melingkar membentuk persegi panjang. Didalamnya terdapat belasan batu nisan berserakan. Sebagian patah menjadi beberapa bagian. Nisannya pun berjamur hingga kehitaman. Sulit untuk melihat lebih dekat ukiran dan teksturnya. Saya hanya singgah sebentar di komplek makam ini. Tidak ada penjelasan rinci siapa Putroe Ijo itu. Tidak ada prasasti keterangan yang menceritakan kisah singkatnya.

Saya melihat rombongan kearah berbeda. Penasaran, saya mengikuti dari belakang. Ternyata, hanya berseberangan jalan dan dipisah sebuah rumah, juga terdapat komplek makam kuno! Ketakjuban saya bertambah. Banyak sekali makam-makam kuno di kampung Pande ini. Komplek makam ini lumayan terawat. Walaupun letaknya sangat berhimpitan dengan teras dan dapur rumah warga.

Makam yang saya kunjungi kali ini adalah komplek makam Raja-Raja Pande. Sama seperti komplek makam Putroe Ijo, makam Raja-Raja Pande ini juga tidak terlalu luas. Jumlah makam yang ditanda dengan nisan juga tidak terlalu banyak. Corak nisannya sebagian hampir serupa, walaupun beberapa diantaranya mulai terlihat kusam.

Corak nisan Aceh yang beragam dan estetika yang indah tentu menjadi nilai tersendiri. Namun sayang, hingga kini kita kesulitan mencari pemahat batu nisan. Tidak adanya tukang pahat, dan minimnya permintaan mengakibatkan batu nisan Aceh perlahan melenyap. Keindahannyapun memudar. Konflik berkepanjangan di Aceh pasca kemerdekaan, ditaksir  berperan menggerus sendi-sendi budaya. Ketika konflik terjadi, hal-hal seperti ini tidak lagi terpikirkan dalam kehidupan. Kemasyuran nisan Aceh pun lantas memudar.
“Jangankan mencari pemahat batu nisan Aceh. Zaman sekarang, mencari pemahat kayu ukiran Aceh aja sulit,” Ujar Ibu Laila yang diiyakan sebagian rombongan.

Sayup-sayup suara adzan dhuhur terdengar dari masjid kampung Pande. Saya dan rombongan menyudahi perjalanan menyusuri jejak makam kuno di kampung ini. Belajar akan bukti kegemilangan masa kerajaan dulu. Berharap jika kembali suatu saat nanti, keadaan jauh lebih baik dari sekarang. Setidaknya tidak ada lagi makam dan nisan yang tergenang atau tergerus abrasi laut. Sebab untuk mencari pemahat batu saja kita kesulitan, terlebih menggali makam kuno peninggalan sejarah. Maka tak salah, merawat yang telah ada jauh lebih baik. 

About Ferhat Muchtar

Ferhat Muchtar
Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker. Teller Sampai Teler.
Suka makan kuaci. Tukang koleksi buku.
email: ferhattferhat@gmail.com
Tulisan yang mungkin kamu suka × +

14 komentar:

  1. ternyata kain yang nutup nisan itu gunanya buat mencegah kerusakan toh.. baru tahu saya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Millati batu nisannya mau dibungkus juga nnti? warna putih atau pake brokad? :>)

      Hapus
  2. dlu waktu sekolah mapel favoritnya sejarah ya bg? :>)
    rajin bgt nulis traveller story ke tempat-tempat bersejarah.
    most of all, bravo bg ferhat! (h)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehhehee.. Seru rasanya Isra, sharing catatan perjalanan. Soalnya yang namanya perjalanan bukan sekedar jalan-jalan atau belanja-belanja, pasti ada "sesuatu" yang menarik!

      Hapus
  3. mantap sekali jelajah budaya, semoga ke depan jalan2 budaya ini bisa terus diminat pecinta wisata muda-mudi di Aceh untuk melihat sisi dekat situs2 sejarah :)

    BalasHapus
  4. owh.. kalo gitu pengen coba juga lah nulis catatan perjalanan :-d

    BalasHapus
    Balasan
    1. minggu depan kosongin jadwal yaa. Abang udah hubungi arkeolognya. Minggu depan kita jelajah budaya..

      Hapus
  5. kami udah pernah liputan kesana dulu . Mantap kali memang. Sayang yang makan raja-raja pande itu dilorong rumah orang. Terus ada kandang ayam lagi didepannya. Kasian sekali. Semoga suatu saat akan berubah lebih baik lagi ya :) tulisannya keren bang. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih dek daraa..
      Orangnya ada keren?
      (f)(f)(f)(f)

      Hapus
  6. sayang sekali kalo sampai tidak terurus.. smoga menjadi perhatian dinas terkait. mantap tulisannya bg.

    BalasHapus
  7. Luar Biasa jelajahnya, kalo tambaknya mengering pasti lebih menarik ada wujud sisa bangunan...

    BalasHapus
  8. boleh saya minta nomor pak adian bg?

    BalasHapus