#e39608 Lakon Mak dan Ayah - Ferhat Muchtar - Catatan Seru!

Lakon Mak dan Ayah



Adalah Bu Baedah yang memberi tugas menulis cerita tentang keluarga, sebab itu Cut Ida resah dibuatnya.Teman-teman ramai bersorak sila menyobek kertas di halaman belakang buku, menulis nama di pojok atas,duduk termenung sambil memikir.

Sebagian juga langsung menulis terilham cepat. Cut Ida pandang Fatimah menulis saksama, ketika Cut Ida tanya apa yang ia tulis.Ia bilang sedang menulis tentang Mak.Maknya penjual kangkung di kota. Juga Cut Ida tanya sama Ramli, ia anak paling nakal di kelas Cut Ida.

Bajunya tak pernah bersih ada saja diperbuat sewaktu jam main-main. Ramli menulis tentang ayahnya penarik becak. Siti lain lagi. Ia menulis tentang Mak dan Ayahnya sekaligus. Sungguh mudah hati mereka bercerita. Sesekali bergantian membaca, ada yang terkikik seperti kuntilanak ketika membaca cerita.

Ada yang mengejek sambil berkata, tulisan kamu jelek. Kelas riuh sekali. Bu Baedah diam dan senyum-senyum saja. Tepuk Siti membuat Cut Ida terkejut lalu. Ia tanya, cerita apa yang kamu tulis? Cut Ida diam kala itu. Siti menarik kertas dan melihatnya, ”Cut Ida belum menulis?” Bocah berkepang dua itu menggeleng malu.

Kejap pintas Siti berpindah pergi sila berbisik ke teman-teman lain. Cut Ida dibuat malu olehnya. Cut Ida merasa sulit bercerita. Tak tahu menulis tentang siapa, tentang Mak? Ayah? Dek Bit? Semuanya tak menarik. Cut Ida hanya bisa diam di pojok kelas menunggu bel pulang berdering.Jika siang diberi tugas lalu tak siap, biasanya menjadi PR.

Nyata benar pikirannya, saat bel pulang berbunyi ramai tak bersiap tugas. Bu Baedah menyuruh mereka mengumpul tugas esok pagi. Sesaat lega batin Cut Ida, namun sekejap pula pusing itu datang lagi. Tiba di rumah ia tak bisa memikir sebab Mak dan Ayah kerap ribut.Ada saja dilempar ketika marah.

Kemarin Mak melempar gelas ke dinding. Bunyinya teramat keras hingga berdengung telinga. Dek Bit seperti biasa memeluk Cut Ida kuat. Tubuhnya yang besar tak kuasa Cut Ida menggendong lama. Ia menangis keras lepas itu,mereka berdua lantas hanya meringkuk lama di kamar. Mak dan Ayah masih bertengkar.

Kata Ayah, Mak perempuan lacur. Kata yang tak pernah tahu maknanya oleh Cut Ida.Berulang-ulang Ayah memekik itu, berkali-kali pula Mak kalap. Cut Ida hanya bisa menutup telinga Dek Bit hingga bocah kecil itu tak mampu mendengar. Suara piring pecah menyilang dalam tengkaran Mak Ayah.

Cut Ida dan Dek Bit semakin takut ketika mendengar suara Mak meraung kesakitan, sepertinya Ayah menampar ulang Mak. Saban hari mereka ribut.Kerap Cut Ida malu dengan teman-teman. Mereka sering mengejek Cut Ida jika main di tanah lapang.
“Mak dan Ayah, karue saja!”
Berulang- ulang mereka bercakap seperti itu hingga panas telinga ini.

Cut Ida membaringkan Dek Bit di kasur. Kalau sudah seperti ini Dek Bit enggan tidur bersama Mak Ayah. Ia lebih memilih tidur dengan Cut Ida di kamar belakang.Dek Bit masih terlalu kecil,ia belum bisa berjalan.Masih merangkak sambil berceloteh tak jelas. Selepas membaringkan Dek Bit, Cut Ida mengambil buku dan pensil lantas duduk rapi di depan meja belajar.

Ingatan Cut Ida kembali ke tugas Bu Baedah.Menulis tentang keluarga. Namun sepanjang ia duduk, Cut Ida masih galau harus menulis tentang siapa. Cut Ida tak tertarik menceritakan Dek Bit yang masih terlalu dini. Tingkahnya hampir sama dengan yang lainnya. Jika Cut Ida menulis tentang Dek Bit, pasti teman-teman mengira Cut Ida menyontek.

Di kelasnya ada sekitar lima anak yang punya adik baru. Mungkin pula mereka menulis cerita sama. Cut Ida tak suka dibilang menyontek, terlebih jika Mala mengejeknya. Suaranya yang besar bisa terdengar semua anak di sekolah.Untuk itu, Cut Ida memilih enggan menceritakan Dek Bit.

Cut Ida ingin sekali menceritakan Nek Balah. Nenek tua penjual sayur di keudee Bang Bulah. Kulitnya keriput, rambutnya putih semua, jika berjalan harus memegang tongkat. Tapi ia masih kuat. Menarik jika Cut Ida menceritakannya. Tapi apa Bu Baedah mau terima karangan Cut Ida? Sebab Nek Balah bukan neneknya? Cut Ida semakin pusing. Dek Bit sudah terlelap.

Suara tengkaran Mak dan Ayah sesekali terdengar namun tak terlalu keras lagi. Walau seperti itu Cut Ida masih sukar menulis cerita. Apa ia harus menulis tentang amarah Mak dan Ayah saban malam? Piring dan gelas yang pecah? Makian? Marahan? Itu tak menarik baginya.

Cut Ida tak ingin nanti teman-teman menertawai. Mereka tak punya Mak dan Ayah yang selalu bertengkar.Mereka semua pasti menceritakan tentang Mak yang baik hati, selalu mengajar mereka mengaji, membeli makanan, tak pernah keluar rumah malam hari, tak pernah memaki, yang selalu mencium kening anaknya jika ingin pergi.

Begitu juga dengan Ayah mereka yang selalu memberi uang jajan yang banyak, tak pernah menampar Mak, mengantar ke sekolah. Pasti temanteman kelas menceritakan hal-hal seperti itu. Cut Ida tak ingin beda seorang diri. Buku itu masih kosong, belum ada garisan pensil.

Cut Ida masih galau menulis apa. Ingin sekali bercerita bohong tentang Mak dan Ayah, tapi baginya itu sama saja sebab temanteman Cut Ida banyak tahu perkara Mak dan Ayah. Di luar Mak dan Ayah ribut lagi. Cut Ida menutup kedua telinganya berusaha tak mendengar. Diliriknya jam menjelang pukul 23.00 WIB.

Cut Ida ingin semuanya membaik segera. Doa kerap dipinta dalam ujung salat. Ia ingin sekali punya Mak seperti Mak Fatimah yang selalu mengantar Fatimah pulang, ingin punya Ayah seperti Ayah Ramli yang selalu memberi jajan yang banyak. Perasaannya menggebu-gebu menginginkan itu.

Cut Ida tak punya saudara dekat, kedua nenek-kakeknya telah meninggal, ia hanya punya Dek Bit yang tak mampu menampung kesedihannya. Kerap tak kuasa membendung tangis, ia membariskan seluruh keinginannya; ingin melihat Mak dan Ayah tak saling memukul, ingin tak ada lagi makian, tak ingin lagi mendengar piring gelas pecah.

Ingin Dek Bit tidur kembali dengan Mak sebab selama ini Cut Ida kesempitan di atas kasur. Tak mau lagi mendengar tanya tetangga, ”Pakeun Mak ngon Ayah kah,Cut Ida?” Ia ingin semua itu hilang dari hidup dan pergi sejauh mungkin. Hingga tersadar lalu pintas buku Cut Ida telah berbaris sekelumit kisah.

Lepas itu lega batinnya mengetahui tugas Bu Baedah telah selesai. Walau sadar karangannya tak akan sama dengan yang lain. Ia tersenyum kecut ketika hendak menutup buku, namun seraut kemudian tengkaran Mak dan Ayah terdengar semakin hebat.Mak memekik, Ayah berkata-kata keras.

Entah barang apa lagi yang dilempar. Bunyinya sangat gaduh.Suara gesekan dan hentakan kaki saling menyilang dengan gedoran pintu. Sesekali suaranya lenyap sulit ditangkap Cut Ida. Cut Ida semakin risau, perlahan ia menuju pintu dan mengintip lewat celah sempit dari pintu terkuak sengaja.

Mak menangis kuat hingga terisak tubuhnya. Raut Ayah murka. Berulang-ulang mengatai Mak lacur sira berkacak pinggang. Mak berontak berlalu ke kamar dari hadapan Ayah. Gedoran pintu dipukul kuat. Sejenak Cut Ida melirik Dek Bit bersiaga jika ia terbangun. Ketika memastikan Dek Bit masih terlelap Cut Ida kembali menyimak tengkaran Mak Ayah.

Batinnya nelangsa, apa Allah tak mendengar doanya dalam sujud salat? Kali ini dadanya tersentak. Dalam sembab mata Mak keluar dari kamar dengan membawa tas besar. Jaket tebal dierat rapat. Beberapa tas kecil dijinjingnya. ”Mak ke mana?” keluar bocah itu dari kamar. Suaranya bernada parau menahan tangis.

Mak memeluk Cut Ida erat. Tubuh mereka berdua berguncang hebat.
“Mak pergi sebentar saja, Cut Ida dengan Ayah ya? Mak sayang…”
“Istri tak tau di untung! Mau pergi ke mana kamu, ngeh! Mau ke mana?!!” Ayah mengcengkram dagu Mak. Cut Ida mundur beberapa langkah ketakutan. Tangisnya kini membuncah.

”Peu urusan kah!!” sahut Mak keras sambil melepas cengkeraman itu dan berlalu mengambil tas besar.
Jalannya tergopoh-gopoh. Lalu membuka pintu dan larut dalam kegelapan. Mereka tak sempat beradu pandang. Mak juga tak mencium kening Cut Ida.Bergegas dikejarnya ke pintu depan, hanya malam menyambut Cut Ida.Mak tak ada lagi di luar sana.

* * *

Pagi ini Bu Baedah masuk tepat waktu.Teman-teman kelas Cut Ida telah siap dengan karangannya masingmasing. Mereka bertukar gurau di bangku belakang. Cut Ida diam saja, hanya sembab mata pertanda ia menangis keras semalam. ”Ya, sekarang seperti janji kita kemarin,kumpul tugas mengarang…” ujar Bu Baedah di depan kelas. Bergegas suasana berubah gaduh.

Bunyi meja dan kursi digeser berpadu dengan teriakan teman-teman sekelas. Cut Ida membuka tas dan mengambil secarik kertas berisi ceritanya. Sejenak ia membaca ulang. Dadanya sesak tak karuan, tangisnya ingin pecah ketika membaca karangan itu.

Diyakini keinginannya tak akan terwujud. Mak pergi dan belum pulang hingga pagi ini. Hingga kejap kemudian ia dirasuk penyesalan. Jika tahu seperti ini alangkah baiknya menulis tentang Dek Bit saja.
”Ayo, siapa lagi yang belum kumpul? Ayo, cepat! Cepat!”(*)


Dimuat di Seputar Indonesia, 2009


About Ferhat Muchtar

Ferhat Muchtar
Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker. Teller Sampai Teler.
Suka makan kuaci. Tukang koleksi buku.
email: ferhattferhat@gmail.com
Tulisan yang mungkin kamu suka × +

2 komentar:

  1. waah..inii cerpen yang saya baca berulang-ulang pas pertama beli Rumah Matahari Terbit....

    BalasHapus